Loading...
Logo TinLit
Read Story - Someday Maybe
MENU
About Us  

            “Nessa kamu kenapa selalu telat?” Bu Susi lagi-lagi memarahiku karena datang terlambat. Aku hanya tersenyum dan menandatangi daftar bagi siswa yang terlambat. Aku melirik Adelio, cowok yang selalu menjadi temanku untuk terlambat.

            “Lama banget sih Sa? Lo nulis apaan?” tanya penasaran, dia memajukan tubuhnya mengintip apa yang aku tulis.

            “Surat cinta untuk Bu Susi.” Jawabku ngasal. Adelio tertawa, dia kini jadi teman baikku.

            “Surat cinta buat gue dong Sa!” ucapnya, aku mengangguk.

            “Oke saat lo mati ya. Hahaha.” Jawabku di iringi tawa.

            “Kurang aja lo, doain gue mati ya?” Adelio menjitak kepalaku,dia sangat suka berprilaku seperti ini.

            “Kalian ini bercanda mulu, cepat tulis nama kalian!” bentak Bu Susi.

            Aku mengangguk begitu pula Adelio, aku begitu dekat dengan cowok yang berpengaruh di sekolah ini. Dia memiliki kepribadian yang hangat dan tentunya buat aku betah berlama-lama. Selesai membuat daftar hadir kami tidak langsung menuju kelas, kami menuju kantin belakang sarapan pagi kesukaan Adelio. Sambal ijo dengan goreng Ayam krispi ala Mbak kantin.

            Adelio yang sering traktirku, ya maklum anak kos sepertiku harus hidup pas-pasan. Aku bekerja sampingan sebagai penjaga toko saat pulang sekolah sampai larut malam, semua ini aku lakukan untuk memenuhi kebutuhan yang sekarang serba mahal itu. Aku sekarang tinggal di kota kecil dan pastinya jauh dari mereka.

            Adelio makan sangat lahap, dia terlihat kelaparan sedangkan aku tidak begitu selera makan, mungkin karena pikiran yang selalu memberatkan kepala ini. Adelio tidak tahu kisah hidupku yang sebenarnya, yang dia tahu kalau aku adalah anak yang sedang mencari orang tua kandung. Setiap hari Adelio menemaniku bekerja di toko, dia juga ikutan bekerja dan uangnya dia berikan kepadaku. Dia sahabat yang aku miliki saat ini, dia bagaikan malaikat yang di turunkan tuhan untuk ku dapat bertahan dalam kepahitan ini. Aku yang sudah biasa hidup pas-pasan tidak canggung saat hidup susah, aku menjalani semua ini dan menerimanya dengan lapang dada. Aku kembali menatap Adelio yang menatap ku bingung, mungkin dia bingung kenapa aku akhir-akhir ini sering melamun.

            “Lo mikirin orang tua lo ya Sa? Jangan khawatir gue bantuin lo kok nyari mereka.” Adelio menyemangatiku, senyumku kembali terlihat. Aku terharu dengan dia.

            Aku masih seperti Nessa yang dulu, susah begaul dan pendiam. Aku masih suka menulis, terkadang aku meminjam komputer sekolah atau laptop milik Adelio. Tapi aku ngesharenya dengan nama samaran karena takut ketahuan.

            “Oh ya Sa, nanti gue izin dulu ya kerja. Bokap sama nyokap gue pulang nih.” Ujarnya saat sudah menghabiskan dua porsi nasi.

            “Wah bahagianya ya Lio, mau dong kenalin sama Bonyok lo.” Ujarku semangat. Adelio selalu menceritakan kalau orang tuanya tipe yang penyayang, meski agak sibuk mereka selalu menyempatkan waktunya untuk bertemu dengan Adelio.

            Sekarang Adelio tinggal bersama neneknya, dia menolak saat di ajak ke Jakarta. Dia kasihan melihat sang nenek yang tinggal sendirian, dan nenek itu menolak meninggalkan tanah kelahirannya. Adelio selalu semangat kalau bercerita tentang keluarga, terkadang aku iri dengan mereka kapan aku bisa tertawa lagi bersama papa dan mama.

            “Boleh, besok kita ke rumah gue. Okey?” ajaknya, aku mengangguk setuju.

            Sepulang sekolah aku bergegas makan dan pergi ketoko. Aku kini menjadi anak buah yang harus bekerja keras, mengangkat barang-barang berat. Aku bekerja di toko sembako, sabagai buruh kasar, awalnya mereka menolak untuk mempekerjakanku karena masih di bawah umur tapi karena aku terus memaksa maka jadilah sekarang.

            Aku mengangkat kardus berisi makanan, memindahkan dari toko ke mobil. Aku tak pernah mengeluh karena ini jalan ku, aku harus berani mengambil resiko saat aku berani memutuskan sesuatu. Aku tersenyum, mungkin kini anak mama sudah lahir karena hari ini tepat sebulan kepergian ku. Aku harap mereka bahagia di sana.

            “Jangan ngangkat yang berat Sa,” tiba-tiba Adelio datang, dia mengambil beras yang aku angkat.

            “Lo katanya nggak bisa sekarang?” tanyaku bingung.

            “Gue lupa ternyata besok, hehehe.” Adelio menggaruk kepalanya, aku tersenyum dengan tingkah Adelio tersebut.

            Oh ya aku lupa menceritakan kisahku saat awal kabur dari rumah. Aku pergi dari rumah saat kondisi rumah kosong, aku membawa sedikit baju dan uang aku tabung. Tidak banyak palingan cukup untuk hidup ku satu minggu, semua telah aku perhitungkan tapi aku lupa memperhitungkan apakah mama dan papa menerima kepergian ku atau tidak.

            Aku menuju terminal, mencari bus yang langsung berangkat. Ah jujur aku hanya asal menaiki bus saja, dimana bus itu berhenti maka tempat tersebut adalah tujuanku. Aku juga tidak membawa media komunikasi seperi handphone, smartphone, ataupun laptop. Aku hanya gadis yang kecewa dengan kenyataan yang lari dari sebuah permasalahan dengan modal yang ala kadarnya dan terpenting juga modal nekat.

            Perjalanan bus ini cukup jauh, kurasa setalah menempuh waktu 36 jam bus yang aku naiki berhenti di terminal kecil. Aku turun dengan tas ransel yang ku bawa, pasar kecil menyambut kedatanganku. Ini pertama kalinya aku keluar Jakarta dan untuk pertama kalinya aku sendirian. Saat itulah Adelio datang, dia menghampiriku yang tengah kebingungan.

            Adelio menyapaku, menanyakan kemana tujuanku. Aku menggeleng tidak tahu menahu, aku mengaku sebagai anak panti asuhan yang tengah mencari orang tua kandung. Dengan senang hati dia membantu mencari tempat untuk tidur, kamar kos yang kini aku tempati. Ternyata Adelio juga baru sampai di sini, dia harus pindah sekolah karena tidak tega melihat neneknya yang tengah sakit di kampung. Lagi-lagi aku beruntung, dia membantuku masuk sekolah di SMA terdekat, entah bagaimana dia bisa membuatku bisa masuk sekolah yang tidak ada satu pun surat identitas.

            “Gue istirahat dulu ya Lio, gue capek.” Ucap yang duduk di lantai.

            Adelio mengangguk, dia masih mengangkat barang-barang pembeli ke mobil pick up. Aku tahu jika Adelio itu orang kaya, punya barang-barang mewah tapi entah kenapa dia malah ikutan kerja bersam ku. Buruh kasar dengan pendapatan tak seberapa. Beberapa saat kemudian pekerjaannya selesai, dia duduk di sebelahku. Keringatnya bercucuran membasahi tubuh.

            “Jadi kapan lo mau cari orang tua lo? Lo punya informasikan yang bisa jadi petunjuk?” tanya Adelio, dia menatap mataku.

            “Huufft, gue nggak tau apa-apa. Cuman modal insting saja.” Jawabku yang kini menunduk, ini hanya perkiraanku jika mama dan papa bukan orang tua kandungku.

            Adelio menghelakan napasnya, sesaat dia langsung tertawa. Mengacak rambutku yang di kucir, senyum Adelio mengingatkan ku bahwa aku tidak sendiri ada dia yang kini menemani sampai neneknya sembuh. Sedangkan aku? Aku mungkin akan menjadi penduduk di sini, menemukan jodoh di sini, dan bisa jadi akan mati di sini.

            Tak lama beristirahat Pak Dika menyuruhku mengantarkan sembako ke rumah pelanggan, aku beranjak mengambil pesanan tersebut. Empat kilo terigu, satu kilo gula, dan beberapa gram bahan untuk membuat kue lainnya.

            “Biar gue yang ngantar ya Ness, itu berat loh.” Adelio berusaha mengambil alih pesanan tersebut, tapi aku langsung mengelak. Bisa-bisa aku tidak digaji karena semua pekerjaan di lakukan oleh Adelio.

            “Gue bisa kok Lio, nggak berat kok sumpah deh. Lagi pula ini alamat juga nggak jauh, bisa jalan kaki.” Tolakku dan buru-buru meninggalkan Adelio.

            Hidup itu keras, aku harus mengangkat  5,5 kg pesanan pelanggan yang jaraknya hampir satu kilo. Batinku kini benar-benar menangis, aku tak pernah bekerja seberat ini dulu di rumah hal yang paling berat yang aku lakukan adalah mencuci piring itu pun tidak banyak. Tapi aku harus kuat, aku masih bersikukuh dengan prinsip gila ku yaitu biarlah fisikku yang tersiksa dari pada batinku.

            Matahari bersinar cerah, panas yang di timbulkan membuat keringatku bercucuran membasahi pelipis dan punggung. Sesekali aku berhenti untuk beristirahat, tanganku pegal mengangkat beban yang berat itu. Ini kota kecil, tidak semua jalur dilalui angkot.

            “Makasih ya neng sudah jauh-jauh ngantar pesanan ibu.” Ucap ibu pembeli saat aku menyodorkan pesanannya.

            “Sama-sama bu.”

            “Kamu kenapa bekerja nak? Kemana orang tua kamu?” tanyanya.

            Aku tersenyum tak menjawab apa pun. Kisah ku terlalu lucu untuk di ceritakan. Mungkin ibu itu mengerti, dia membalas senyumku kemudian memberikan uang lima puluh ribu. Loh kenapa aku di kasih uang? Bukankah semua pesanan ini sudah di bayar sama Pak Dika.

            “Buat jajan sekolah, kalau ada perlu jangan sungkan ke rumah ibu ya.” Ucapnya dengan begitu ramah, hati ku teriris aku teringat mama yang setiap pagi menyambutku dengan senyum indahnya.

            “Makasih bu.” Ucapku dan kembali ke toko tempat ku bekerja.

            Aku menatap langit, bersih tanpa awan yang menutupi. Aku menengadah menahan tidak ada air mata yang tumpah, aku terlalu egois. Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di rumah itu, apa mereka tetap menjalankan hidup seperti biasanya? Atau mencari keberadaan ku sekarang. Aku menyeka keringat yang sempat jatuh ke leher, kenapa cobaan selalu saja datang pada hidupku.

            Kaki ini rasanya sudah kebal untuk berjalan jauh, dia juga tak ingin membuatku kena marah karena terlalu lamban. Aku menatap tanganku, memang sejak kecil aku tak pernah melakukan perawatan yang berarti tapi kini tangan ini sudah kasar dan kotor. Lagi-lagi aku harus tersenyum menghadapinya, bukankah ini yang aku mau?

***

            “Ness lo harus kenalan deh sama teman gue.” Adelio menarik ku menuju meja cewek dengan kacamata besar.

            “Dia Yuka, orangnya ramah dan nggak suka neko-neko.” Adelio memaksa ku berjabat tangan dengan Yuka yang juga malu-malu membalas jabatan tanganku.

            “Yuka.”

            “Nessa.” Ucapku singkat, aku memaksa bibir ini utuk tersenyum karena aku tidak boleh terus menerus menjadi sosok yang dingin dan anti sosial.

            “Nah kan lo punya teman, nggak baik melamun nggak jelas. Gue rasa kalian juga punya kesamaan deh, suka nulis. Kalau punya kesamaankan bisa sharing gitu, saling melengkapi.” Tukas Adelio menyunggingkan senyumnya.

            “Lo juga suka nulis ya Ness?” tanya Yuka, aku mengangguk canggung.

            “Sini duduk sebelah gue, siapa tahu lo bisa bantu gue.” Ajak Yuka, aku rasa dia mulai tertarik denganku seperti saat dulu aku yang tertarik dengan Kak Athala yang juga menjadi penulis.

            Aku mengangguk dan menjatuhkan bokongku ke kursi kayu, Adelio langsung pamit meninggalkanku. Aku tahu ini hanya alasannya saja agar aku bisa berduaan dengan Yuka dan dapat mempunyai teman selain dia. Yuka bercerita dia suka nulis blog tentang masakkan karena hobinya juga masak, dia juga youtubers yang memiliki jutaan pengikut.

            “Kalau suka nulis apaan Nes? Blog juga?” tanyanya.

            “Suka nulis novel sih.” Jawabku.

            “Hah seriusan? Dimana? Kasih tahu dong, gue suka banget novel apalagi tentang cinta-cintaan gitu.” Ucapnya bersemangat.

            Aku mendekatkan mulutku ke telingat Yuka, membisikkan tempat dan nama akun yang ngeshare ceritaku. Yuka mengangguk,aku rasa punya teman dengan sama hobi itu menyenangkan ya kita bisa bercerita dan dia dapat mendengarkan dengan baik.

            “Ness mau nggak ikut gue nge-vlog?” ajak Yuka, aku kaget mana bisa aku ikut begituan kalau sempat keluarga ku tahu mereka bakalan menarik paksa ku pulang, tapi kalau mereka masih peduli dengan diriku.

            “Nggak ah Yuka, aku nggak suka begituan. Lagi pula aku itu nggak ada waktu bikin vlog kan aku harus kerja.” Tolak ku secara halus. Yuka mengangguk dan memahami, semua anak kelas ini tahu kalau aku bekerja sebagai buruh di toko Pak Dika. Mereka tidak pernah mentertawakanku hanya saja mereka sering bilang kenapa gadis cantik seperti aku harus bekerja keras? Dan semua selalu aku jawab dengan senyuman yang indah.

            Aku kembali ke bangku ku, duduk dan memadangi papan tulis hitam. Sekolah di sini begitu sederhana, masih menggunakan kapur sebagai alat tulis. Tangan kananku memijit lengan kiri, pekerjaan kemarin tangan ini sakit.

            “Sini tangan lo biar gue pijit,” Tiba-tiba Adelio datang, dia duduk di sampingku dan memijit tanganku yang sakit.

            “Kan gue sudah bilang, jangan kerja yang berat. Nanti lo bisa nggak konsen belajar kalau sakit ini.” Lanjutnya, aku mengangguk seraya menikmati pijitan dari Adelio. Kenapa dia baik sekali ya sama aku?

            Pijitan Adelio terhenti saat Bu Sari datang, guru matematika yang kebetulan pelajaran kesukaanku. Aku begitu menikmati permainan angka, bagiku angka adalah hal yang pasti dan kita tidak pernah bisa menghindar dari angka-angka tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kalian tahu, sepertinya hanya aku yang bersemangat soal ini. Adelio di sampingku tertidur pulas, dia sering cerita dia harus bergadang menjaga neneknya yang sakit. Sungguh cucu yang berbakti.

            “Nessa kamu sudah kerjakan tugas yang ibu berikan?” tanya Bu Sari saat selesai menjelaskan pelajaran tentang Lingkaran.

            “Sudah bu.” Jawabku, guru-guru di sini begitu ramah tidak ada yang killer-killer banget.

            Tugas tentang Lingkaran ini aku kerjakan tadi subuh jam empat, aku rela-relakan bangun cepat dengan kondisi kurang fit hanya karena itu. Aku tak mau membuat Bu Sari kecewa, mereka berniat mengirimku mengikuti olimpade tingkat kota. Semoga saja aku dapat memenuhi harapan guru-guru di sini.

            Bu Sari tersenyum, dia berjalan menuju bangku ku. Kelas meribut seperti biasanya, tak banyak yang menyukai matematika di sini karena menurut mereka hanya memusingkan kepala saja. Bu Sari yang melihat Adelio tidur menggeleng tak percaya, bagaimana dia bisa tidur senyenyak itu dengan kondisi kelas yang meribut. Adelio ngorok dan ilernya keluar, aku sedari tadi susah menahan tawa.

            Bu Sari mengkoreksi tugas yang ku buat, alagkah senangnya jika beliau memujiku dari semuanya sempurna benar. Aku merasa benar-benar di perhatikan guru, di sekolah lama aku hanya siswi yang hanya jadi pelengkap kelas. Boro-boro dipuji mereka bisa ingat namaku saja aku tak menjamin.

            “Loh kamu belajar dari mana Nessa? Baru kali ini ibu lihat cara carinya seperti ini? Wah kamu hebat ya menyelesaikan soalnya dengan cara mu sendiri.” Puji Bu Sari yang lagi-lagi buatku tersenyum malu.

            “Wah kamu hebat ya Ness, aku aja nggak pernah tuntas selesain ini.” Puji Rahma, semua teman kelas mengerubuni meja ku. Memuji caraku dan mentertawakan gaya Adelio yang tidur pulas.

            “Jangan berlebihan, aku aja bingung kenapa bisa nyelesain dengan cara ku sendiri.” Aku menggaruk kepalaku yang tidak terasa gatal. Bahagianya berada di lingkungan seperti ini.

***

            “Woi tidur mulu, bangung ah Lio. Kalau mau tidur ngapain di sekolah sih? di kasurkan lebih nyenyak.” Gumamku yang mengoncangkan tubuh Adelio.

            Dia terbangun dan segera mengelap air liurnya yang sempat keluar. Mata Adelio menyipit memperhatikan suasana kelas yang sudah sepi, ya jam istirahat seperti ini kantin merupakan tujuan mereka yang utama.

            “Duh mimpi gue asyik sekali deh,” Ucapnya dan aku tak tertarik membahas soal mimpi.

            “Lo tahu nggak gue jadi bajak laut, ngerampas barang-barang berharga milik pelaut lainnya. Terus ada gelombang yang menutupi kapal gue, tapi gue adalah bajak laut yang garang sehingga air laut jadi surut karena takut sama gue. Gue punya banyak peta harta karun, gue sama anak buah gue pergi ke suatu pulau dan lo harus tahu kalau pulau itu bukan sekedar pulau.” Ucapnya berhenti cerita.

            “Pulau apa dong?” tanya ku

            “Pulau para wanita seksi, aduhh gila asyik kali.” Ucapnya.

            Aku mendengus kenapa jadi kesal ya dengar mimpi Adelio yang aneh bin ajaib itu. Aku menarik Adelio menuju kantin, perut ini perlu di isi karena sangat lapar. Aku tidak makan sejak siang kemarin.

            Adelio menguap, dia berusaha mengumpulkan nyawanya kembali. Banyak siswa yang memperhatikan aku dan Adelio ya karena Adelio itu adalah orang terkenal punya paras yang ganteng dan terpenting baik hati. Sesampai di kantin Adelio memesan makanan kesukaannya dan aku memesan sup daging.

            “Ini buat lo, gue punya hp dua. Kan sayang di gantungin mulu.” Ucap Adelio dan menyodorkan smartphone dengan merek beserta seri terbaru.

            “Gue nggak bisa pakai begituan Lio, gue nggak pernah punya hp.” Tolakku, aku malas jadi orang yang selalu Adelio kasihani.

            “Kalau nggak lo ambil gue nggak mau lagi berteman sama lo.” Ujarnya yang membuatku mau tak mau menerima smartphone tersebut.

            “Nanti kalau gue bisa beli sendiri gue balikin ya.” Ucapku.

            “Oke, penting lo pakai itu dulu. Susah ngehubungin orang yang nggak ada alat komunikasinya.” Ujarnya, aku mengangguk.

            “Eh Nessa, foto-foto yuk sambil menunggu si mbak selesai nyiapin makanan.”

            Aku mengangguk, aku membuka smartphone tersebut dan membuka fitur kamera. “Kan katahuan bohongnya lo, sok nggak bisa pakai hp trus tahu ngebuka kuncinya dari mana coba?” Adelio mencubit hidungku sampai merah, aku tersenyum menjejerkan gigi putihku.

            “TEMAN-TEMAN NESSA NGAJAK FOTO NIH, JARANG BANGET KAN CEWEK CANTIK NGAJAKIN KALIAN FOTO?” sorak Adelio yang pastinya membuatku malu.

            Seisi kantin merespon ucapan Adelio, mereka meninggalkan makanan mereka dan mendekat untuk berfoto. Kalian tahu ini pertama kalinya aku berfoto selama SMA, entah kenapa aku begitu nyaman dengan sekolah ini. Aku yang memegang smartphone, tersenyum dan mereka termasuk mbak kantin ikutan tersenyum menatap kamera. Aku jadi terharu, ini akan jadi bukti tentang kisahku yang pernah bahagia.

            Adelio menatapku dengan senyumannya yang menentang, dia kemudian menatap layar smartphone dan mengirimkan foto tersebut ke smartphone miliknya. Tidak satu jepretan saja, ada sekitar sepuluh kali kami berfoto dengan gaya-gaya alay dan pastinya ini foto aib. Adelio memasang walpaper yang sama antara smartphone yang aku pegang dengan yang dia punya. Foto kami berdua, aku merebahkan kepalaku ke pundak Adelio seraya tersenyum dan dia merangkul pundakku. Itu foto yang paling aku sukai dan hasil jepretan salah satu siswa di sini.

            “Lo jangan sedih ya Ness, kami semua ada buat lo. Kita sudah satu sekolah dan pastinya kita itu sudah bersaudara.” Ucap Adelio yang membangkitkan semangatku.

            “Makasih ya Lio, btw lo jangan ngeshare foto ini ke sosmed ya.” Pintaku dengan wajah memelas.

            “Loh kenapa? Biar mereka tahu lo tengah bahagia dia di sini sama gue dan teman-teman.” Ucap Adelio, dia menyerngitkan keningnya.

            “Please Lio, jangan gue mohon.” Ucapku merayu.

            Adelio membuang napasnya kemudian mengangguk, “Oke kalau itu yang lo mau.”

            Aku tersenyum, tak lama mbak kantin datang membawa pesanan kami. Adelio tidak pernah tahan dengan makanan yang ada di hadapannya dan langsung memakannya dengan lahap. Sedangkan aku menikmatinya dengan santai seraya berfikir memanglah kehidupan itu berat tapi semuanya tergantung bagaimana kita menyikapinya. Apa kita akan menjadikan hidup sebagai beban atau sebagai perjalanan yang mengasyikan. Aku tersenyum pudar saat menatap Adelio makan, aku teringat Nevan dia juga sangat menyukai ayam krispi. Bagaimana kabar dia sekarang? Kenapa aku merasa hal yang kurang baik tentang dia. Banyak yang bilang kalau anak kembar itu punya kontak batin yang kuat, jika saja aku benar kembaran Nevan maka apa yang tengah terjadi dengan dia sekarang? Kenapa aku jadi gelisah saat memikirkannya, oh Tuhan aku mohon jaga Nevan jaga senyumnya yang selalu aku lihat setiap hari, jaga senyum mama dan papa yang selalu ku perhatikan dari kejauhan. Aku harap Engkau menghapus ingatan  mereka tentang diriku dan menganggap diriku sudah meninggal.

            “Hoi melamun mulu lo, katanya lapar ya makan lah.” Teriak Adelio yang menyadarkan lamunanku.

            “Eh iya.” Ucapku dan kembali melanjutkan menyantap sup yang ada di hadapan.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • rahmalief

    Bagus banget siihh...

    Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)
Similar Tags
Jingga
5759      1476     2     
Romance
Kehilangan memang sangat menyakitkan... Terkadang kita tak mampu mengekspresikan kesedihan kita membuat hati kita memendam sakit... Tak berakhir bila kita tidak mau mengakui dan melepas kesedihan... Bayang-bayang masa lalu akan selalu menghantui kita... Ya... seperti hantu... Jingga selalu dibayangi oleh abangnya yang sudah meninggal karena kecelakaan... Karena luka yang mendalam membuatnya selal...
Sendiri
442      292     1     
Short Story
Sendiri itu menyenangkan
Sibling [Not] Goals
1126      617     1     
Romance
'Lo sama Kak Saga itu sibling goals banget, ya.' Itulah yang diutarakan oleh teman sekelas Salsa Melika Zoe---sering dipanggil Caca---tentang hubungannya dengan kakak lelakinya. Tidak tau saja jika hubungan mereka tidak se-goals yang dilihat orang lain. Papa mereka berdua adalah seorang pencinta musik dan telah meninggal dunia karena ingin menghadiri acara musik bersama sahabatnya. Hal itu ...
You Can
1146      722     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
Story Of Me
3661      1363     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
When I Found You
2994      1002     3     
Romance
"Jika ada makhluk yang bertolak belakang dan kontras dengan laki-laki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan." Andra Samudra sudah meyakinkan dirinya tidak akan pernah tertarik dengan Caitlin Zhefania, Perempuan yang sangat menyebalkan bahkan di saat mereka belum saling mengenal. Namun ketidak tertarikan anta...
The Yesterday You
350      248     1     
Romance
Hidup ini, lucunya, merupakan rangkaian kisah dan jalinan sebab-akibat. Namun, apalah daya manusia, jika segala skenario kehidupan ada di tangan-Nya. Tak ada seorang pun yang pernah mengira, bahkan Via sang protagonis pun, bahwa keputusannya untuk meminjam barang pada sebuah nama akan mengantarnya pada perjalanan panjang yang melibatkan hati. Tak ada yang perlu pun ingin Via sesali. Hanya saja, j...
Jika Aku Bertahan
12167      2534     58     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
The Reason
10028      1848     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
Memorieji
7207      1462     3     
Romance
Bagi siapapun yang membaca ini. Ketahuilah bahwa ada rasa yang selama ini tak terungkap, banyak rindu yang tak berhasil pulang, beribu kalimat kebohongan terlontar hanya untuk menutupi kebenaran, hanya karena dia yang jadi tujuan utama sudah menutup mata, berlari kencang tanpa pernah menoleh ke belakang. Terkadang cinta memang tak berpihak dan untuk mengakhirinya, tulisan ini yang akan menjadi pe...