Nevan berhenti menjabat sebagai ketua OSIS seminggu semenjak kepergian Nessa. Tidak ada lagi senyum yang pernah terpancar dari wajah Nevan, tidak ada lagi semangat yang memburu saat berkelahi dengan teman-temannya. Nevan bahkan terlihat begitu kehilangan, penampilannya kusut dan kini dia suka melamun. Banyak yang heran dengan perubahan sikap Nevan, tapi lambat laun mereka sudah biasa karena idola mereka tak lagi seperti dulu.
Nevan berjalan gontai menuju kelas XI IPA 1, dia meminta Dira, Intan, dan Tari untuk menunggu dirinya di kelas saat pulang sekolah. Benar mereka bertiga tengah menunggu Nevan, mereka juga heran kenapa Nevan bisa mengetahui mereka ada. Nevan menutup pintu kelas, ada rasa cemas terpancar dari wajah ketiga gadis di hadapannya. Kenapa tatapan Nevan sangat mengerikan, apakah mereka akan di jadikan sasaran Nevan untuk meluapkan semua emosinya? Nevan menarik bangku dan menduduki bangku tersebut.
“Kalian benar nggak tahu soal Nessa?” tanya Nevan dengan napas memburu.
Dira, Intan, dan tari saling lempar pandangan. Sudah sebulan Nessa menghilang tiba-tiba tapi guru hanya bilang kalau Nessa pindah sekolah ke luar negeri. Mereka menggeleng, mereka tidak tahu menahu kemana Nessa.
“Hufft, kalian itu sahabat Nessa kan? Kenapa nggak pernah ngeh sama gue dan Nessa? Dia itu saudara gue, kembaran gue. Dia sudah sebulan kabur dari rumah karena gue, gue nggak tahu harus cari dia kemana lagi? Jiwa gue serasa mati, dia nggak pernah sekalipun keluar rumah kalau tidak untuk sekolah atau ke perpustakaan. Kalau kalian tahu tolong beri tahu gue, gue mohon dengan amat. Semenjak kepergian Nessa keluarga kacau, tolong beri tahu gue Nessa di mana.” Nevan benar-benar putus asa, dia menangis dan menundukkan kepalanya kepada Dira dan kawan-kawan.
Mereka syok? Pasti bagaimana mungkin Nessa yang selalu bilang tidak menyukai Nevan malah saudara kembar Nevan. Mereka juga menyadari ada kemiripan antara Nessa dan Nevan tapi karena tidak pernah berfikir sejauh itu mereka hanya beranggapan kalau Nessa dan Nevan akan berjodoh saat dewasa kelak. Ini pertama kalinya mereka melihat sosok idola para siswi menangis di hadapannya, Intan dan Tari juga ikutan nangis. Mereka juga merasa kehilangan sosok Nessa yang dingin tapi mempu menghangatkan itu.
“Nessa itu kabur karena dia beranggapan gue itu bukan saudara kandungnya, mama dan papa bukan orang tua kandungnya. Ini yang salah gue, gue yang merencanakan semua ini tapi gue nggak pernah kepikir Nessa akan menganggapi sejauh ini. Cuman dia yang gue punya, gue nggak bisa bayangkan bagaimana dia bertahan hidup diluar sana.” Lanjut Nevan, dia menyeka air matanya yang tidak banyak itu.
“Kami benar-benar tidak tahu tentang Nessa Van, kami beranggapan kalau yang di katakan guru itu benar. Tapi kenyataannya kalian semua merahasiakan dari kami.” Ucap Intan dengan suara yang bergetar.
“Gue nggak mau berita ini heboh dan malah bikin keluarga gue makin kacau, gue mohon rahasiakan semuanya dari yang lain. Hanya kalian yang gue kabarkan, karena gue yakin kalian adalah sahabat Nessa dan patut tahu soal ini. Siapa tahu kalian bisa bantu, makasih sudah dengerin gue cerita setidaknya beban gue berkurang meski hanya sedikit.” Ucap Nevan dan kembali pergi. Dira, tari dan Intan menatap punggung Nevan yang menjauh, mereka menangis kemana mereka akan mencari sahabatnya yang menghilang?
Nevan tidak pernah mengumpul bersama teman-temannya, dia hanya lewat dan tidak menanggapi mereka ada. Tidak ada yang Nevan inginkan kecuali saudara kembarnya kembali pada pelukkannya. Nevan langsung pulang rumah, memastikan sang mama baik-baik saja.
Nevan berjalan menuju kamar baby El, bayi yang baru lahir sebulan yang lalu. El tengah tertidur yang di temani oleh babysister, tidak ada mamanya di sana. Nevan menaiki tangga menuju lantai tiga, sudah sebulan ini sang mama selalu di sana memeluk foto Nessa saat SMP dan menangis.
Nevan benar-benar hancur melihat kondisi mamanya yang lemah dan selalu menangis. Masih bisa kah Nessa bicara kalau wanita paruh baya tersebut bukan ibu kandungnya? Dia tidak melihat betapa hancurnya perasaan wanita itu, anak perempuan satu-satunya hilang. Nevan melangkah memasuki kamar, dia memeluk mamanya dan berusaha menenangkan diri.
“Mana Nessa Van?” gumam Thifa yang membelai rambut Nevan.
Nevan tak menjawab, jika dia bicara Nessa masih belum ketemu mamanya akan mengamuk dan akan menyalahkan dirinya sendiri. Nevan diam memeluk mama, dia harap kehadirannya bisa mengobati hati yang rindu akan kehadiran Nessa. Tubuh Thifa melemah mungkin karena lelah menangis.
Bagaimana kabar Gibran saat ini? Dia juga harus terkorban dengan keputusan Nessa yang egois. Dia harus kehilangan perhatian dari mama, papa, dan abangnya. Gibran dirawat oleh baby sister yang memang sengaja dihadiri agar dia tidak merasa kesepian. Tapi yang paling kasihan adalah baby El, dia yang baru lahir di dunia harus menerima kalau dia tida bisa di perhatikan dengan lebih oleh kedua orang tuanya seperti bayi yang lain.
Nevan melepas pelukan, dia melihat papanya melintas meminta keluar dari kamar. Nevan mengangguk dan kembali turun kelantai bawah. Alden kelihatan lebih kusut dari Nevan, banyak pekerjaan kantornya yang terbengkalai mencari keberadaan sang putri.
“Apa ada perkembangan dari polisi pa?” tanya Nevan dia duduk di sebelah Alden.
Alden menggeleng lemah, matanya sedari tadi menatap foto Nessa kecil yang terpajang di sana. Nevan mendesah, kemana Nessa? Apakah dia baik-baik saja.
“Aku kira mama harus di bawa ke psikiater deh Pa, aku nggak mau mama nangis terus.” Ujar Nevan dengan nada yang lemah.
“Papa kira begitu Van, tapi mama bakalan marah kalau dia di ajak kesana. Jujur sih asalkan kamu tahu sikap Nessa itu persis banget sama mama kamu. Mama kamu pernah kabur gini, malah empat tahun tanpa kabar. Tapi Nessa beda sama mama kamu Van, mama kamu memang sedari dulu selalu sendiri jadi papa tahu dia bakal baik-baik saja dimana dia berada. Tapi Nessa itu beda, Ya Allah Van papa nggak tahu harus cari adik kamu kemana lagi? Dia itu anak perempuan papa satu-satunya, gimana bisa dia berfikir kalau kami ini tidak orang tua kandungnya. Papa yang nyaksiin sendiri kalian itu lahir, papa yang ngazanin dia sebelum kamu. Papa yang selau gendong dia, papa yang timang dia dan mama timang kamu. Nessa itu sedari bayi nggak serewel kamu tapi nggak pernah lepas dari papa. Dia bahkan tidak mau lepas dari papa.” Ujar Alden dengan suara bergetar, dia menerawang mengingat masa kecil Nessa yang menggemaskan.
“Pa.” Lirih Nevan yang baru kali ini melihat kedua orang tuanya rapuh.
Tidak lama Rafif datang, kakak laki-laki Thifa. Dia selalu memantau keadaan adik nya yang kini makin parah. Rakka menatap Alden yang tertunduk menghusap wajahnya, ada Nevan di sana keluarga ini kacau hanya karena satu orang saja.
“Kakak mohon Alden, lupakan Nessa. Kakak nggak bisa lihat keluarga kalian seperti ini, kamu disini putus asa, Thifa di atas menangis. Nevan, Gibran, dan El butuh kalian, sosok orang tua yang tegar.” Ucap Rafif yang membuat emosi Alden bergejolak.
Alden mengepalkan tangannya, “ Lo bilang gue harus lupain Nessa? Lo nggak mikir hah? Dia itu anak gue! Dia perempuan, aaargh kurang ajar.” Hampir saja Alden melemparkan pukulannya ke wajah Rakka tapi Nevan langsung menahan tangan papanya.
“Sudah pa, jangan emosi gitu.” Ucap Nevan menenangkan.
“Kalau ngomong itu di jaga ya om, memang mudah gitu melupakan orang yang kami sayangi begitu saja? Dia kembaran aku om, dan kami tidak akan pernah pisah.” Bentak Nevan.
Rakka menghelakan napasnya, dia berlari menuju Thifa. Dia juga tidak tahu harus apa, sudah satu bulan keluarga ini berantakan. Polisi sudah mencari keberadaan Nessa melakukan pengecekan dimana saja Nessa meninggalkan jejak tapi sayang gadis itu begitu lihai kabur. Rafif menatap Thifa yang masih menangis di kamar Nessa, dia langsung memeluk tubuh adiknya yang bergetar.
“Nessa bang, Nessa kemana dia?” tanya Thifa.
“Thifa kamu jangan begini gue mohon.” Rafif tak tega melihat kondisi sang adik.
“Aku..Akuu nggak mau kehilangan dia.”
“Dengarin abang ya, kita cari Nessa sama-sama ya, tapi kamu harus tegar nggak boleh gini. Kamu sudah dewasa Thifa, anak-anak kamu masih kecil butuh sosok ibu.” Bisik Rafif, dia berusaha menenangkan Thifa.
***
Nevan menatap langit malam, dia berbisik pada bintang. Apa yang dia harus lakukan? Menerima begitu saja kepergian Nessa? Itu bukan perkara mudah bagi Nevan. Tapi sampai kapan dia seperti ini, kehidupan akan terus berjalan tak peduli bagaimana hancurnya hati Nevan saat ini.
Hari ini papa Nevan berangkat ke Amerika, dia tahu jika sang papa berusaha mengalihkan perhatiannya. Dia mengambil kamera, mencari foto Nessa yang terakhir dia jepret secara diam-diam. Disana Nessa tersenyum dia menatap balon milik Gibran yang di beli di mall, air mata Nevan berlinang saat mengingat hari apa ini.
“Happy birthday Nessa, gue harap lo bisa jaga diri di sana dan cepatlah kembali.” Bisik Nevan. Dia melangkah masuk kamar menutup pintu balkon dan menghempaskan tubuhnya ke kasur.
Rumah ini beransur tenang, Thifa sudah bisa mengontrol emosinya. Thifa mengalihkan perhatiannya pada El yang lucu, El yang tak tahu apa-apa sering melihat sang mama menitikkan air mata. Betapa berartinya seorang anak dalam kehidupan mereka? Mungkin begitu berarti dan tidak bisa tergantikan.
“Bang.” Gibran mengigit lengan Nevan yang nyaris tertidur.
“Awww, lo apa-apan sih Gibran.” Nevan meringis kesakitan.
Gibran berusaha naik di atas kasur Nevan yang tinggi, tapi karena masih kecil usahanya selalu gagal. Nevan akhirnya membantu Gibran naik, kenapa dia bisa naik kelantai dua? Gibran tersenyum menatap Nevan, dia menampakkan deretan giginya yang masih ompong.
“Kakak Nessanya napa nggak urun-urun sih bang dari lantai iga? Kan ibran masih ecil nggak boleh naik tangga.” Ucapnya dengan unyu.
Yang Gibran tahu Nessa suka mengurung diri di kamar, dan keluar saat makan malam. Tapi karena sudah lama tidak melihat Nessa keluar kamar akhirnya dia membangunkan Nevan untuk bertanya.
“Kak Nessa lagi sakit nggak bisa turun ke atas.” Ujar Nevan yang mengarang.
“Kak Nessa cakit? Kenapa Ibran nggak boleh ihat?” tanyanya penasaran.
“Duhh kenapa ya? Nanti kamu ketularan sakit. Kakak Nessa nggak mau lihat kamu sakit.” Ucap Nevan yang membuat Gibran menangis.
Gibran tidak bisa menahan tangisnya, suaranya yang cempreng menghiasi malam nan sunyi ini. Dia tersedu-sedu baru hampir dua bulan dia baru menyadari tak ada Nessa lagi. Nevan mengelus rambut Gibran yang lurus, bola matanya mirip dengan milik Nessa yang hitam pekat.
“Memang kamu ngapain sih?” tanya Nevan
“Kakak Nessa sekarang ulang tahun bang,” ucap Gibran yang membuat Nevan kaget, bagaimana bocah ini ingat ulang tahun Nessa sedangkan ulang dirinya sendiri saja tidak tahu.
“Loh kamu tahu darimana Gibran?”
“Tadi kakak Nessa masuk dalam impi aku, katanya ulang tahun.” Ucap Gibran cemberut.
Nevan memeluk tubuh munyil Gibran, tidak ada harapan lagi mereka akan bertemu. Mungkin Nessa sudah bahagia di sana, jika saja tidak mungkin dia akan kembali pulang. Gibran masih saja menangis, dia kangen dengan sosok kakaknya yang begitu cuek dan tidak peduli dengan dirinya.
“Gue sekarang juga ulang tahun loh, lo nggak mau ngucapin?” tanya Nevan pada Gibran yang memanyunkan bibirnya.
“Nggak mau, abang jahat sama aku.”
“Loh gue nggak pernah jahatin elo Gibran.”
“Bohong, abang kan yang bikin aku malu di depan stepi.” Ucap Gibran.
Nevan tertawa, dia ingat kemarin dia menjahili Gibran dengan melorotkan celana Gibran di depan Stefi anak tetangga sebelah. Hanya itu saja, tapi Stefi yang malu jadi tidak ingin berteman dengan Gibran. Tawa Nevan yang makin pecah membuat Gibran cemberut dan mengigit lengan Nevan kembali.
“Awwww, sakit tahu ah Gibran. Jadi anak nakal banget.”
“Abang yang nakal, kenapa abang jahatin aku. Aku kan tak pernah nyakitin abang.” Ucap Gibran kesal.
“Ada lo sering nyakitin gue!”
“Kapan coba?” Gibran menantang mata Nevan.
Nevan terdiam dia tak tahan menatap bola mata Gibran yang hitam pekat, ada bayang-bayang Nessa di sana.
“Kan abang nggak bisa jelaskan.”
“Setiap hari lo ngegigit tangan gue, lo kira itu nggak nyakitin?” ucap Nevan yang tersadar.
“Wleeekk.” Gibran menjulurkan lidahnya kemudia menggigit kembali tangan Nevan dengan sekuat tenaga.
“GIIIIBBBBRRRAAANNNNNNN.” Teriak Nevan kesakitan, jika saja Gibran sudah besar dia akan membalas secara jantan. Tapi sayang Gibran masih kanak-kanak, dan belum mengerti apa yang kini tengah terjadi.
***
Nevan berjalan gontai memasuki perkarangan sekolah, matanya menatap lurus di depan. Dia tidak menghirau orang yang menyapanya, meski mulai menerima kenyataan yang ada dia tampaknya tak akan menjadi Nevan yang dulu. Teman-teman Nevan mencegat jalannya, mereka bingung dengan perubahan sikap temannya yang berubah begitu saja.
“Kalau lo ada masalah ngomong, siapa tahu kita bisa bantu.” Alan membalas tatapan tajam yang Nevan berikan, sampai kapan Nevan seperti ini?
“Nggak ada yang bisa bantu kalau masalah hati.” Nevan menghelakan napasnya, dia menatap dengan penuh kebencian.
“Lo patah hati?” Fatur menyerngitkan alisnya.
“Ini melebihi patah hati, ah awas deh gue nggak mood ngomong.” Nevan mendorong tubuh Fatur sampai terjatuh, untuk saat ini jangan pancing emosi Nevan.
Mereka menatap punggung Nevan, cowok itu tak lagi berjalan tegap. Apa masalah yang membuat Nevan benar-benar putus asa begini? Mereka berencana menyelidiki masalah apa yang yang tengah Nevan hadapi. Mereka juga tidak terus-terusan melihat Nevan tak berdaya.
“Nevaaan tunggu.” Suara lebay memanggil Nevan dari kejauhan.
Langkah nevan berhenti, dia menunggu sang pemilik suara berada di hadapannya. “Kamu kemana aja sih? aku chat nggak di balas aku telfon nggak di angkat.” Ucapnya bete.
“Apaan sih De, lo jangan lebay.” Ucap Nevan ketus.
“Loh kok lo bilang gue lebay sih?”
“Emang lebay kan? Kebanyakan tingkah lo.” Bentak Nevan.
“Oh gini ya lo sekarang, oke kita putus!!”
“Oke dari dulu gue nggak pernah cinta sama lo.” Umpat Nevan dan kembali berjalan menuju kelas.
Dea menghentakan kakinya ke lantai, sebal dengan kelakukan Nevan yang jutek pada dirinya. Lagi pula Dea sudah ada pengganti Nevan yang lebih tenar dan pastinya tidak memalukan. Dea kembali kekelasnya, dia menatap sinis semua yang memperhatikan perbincangannya dengan Nevan.
Sepulang sekolah Nevan langsung menuju rumahnya, berdiam diri di kamar atau menemani Gibran bermain. Mama Nevan duduk di kursi dia tengah menggendong El yang sedari tadi rewel. “Van kenapa tangan kamu luka-luka gitu?” tanya Thifa pada anaknya.
“Biasa ma Gibran suka banget gigitin tangan aku.” Nevan melihat tangannya, banyak bekas gigi Gibran di sana.
“Kamu cari Gibran gih, dari tadi mama nggak ngelihat dia.” Suruh Thifa dan mendapat anggukan dari sang anak.
Nevan pergi ke rumah tetangga menanyakan ada Gibran di sana atau tidak, tapi Stefi langsung menolak kedatangan Nevan yang menurutnya tidak sopan. Nevan mencari Gibran ke setiap sudut rumah tapi bocah itu masih tidak ada. Ada perasaan yang tidak enak saat Nevan mengingat kalau Gibran ingin menemui Nessa di kamarnya.
Nevan bergegas menaiki tangga, dia takut jika Gibran mengetahui tidak ada Nessa di sana. Benar tebakan Nevan, ada Gibran yang menangis. Dia terlihat bingung mendapati kamar kakak perempuannya kosong.
“Gibran?” Nevan melangkah mendekati Gibran perlahan-lahan.
“Mana kakak Nessanya bang? Hikss, hiikss.” Dia mengusap air matanya dengan lengan tangan.
Nevan tidak tahu harus jawab apa lagi, dia tidak bisa membohongi Gibran karena bocah ini terlalu pintar. Nevan menarik Gibran duduk di pangkuannya, menghapus air mata adiknya yang lugu itu. Lagi-lagi Nevan diingatkan dengan masa lalunya dengan Nessa yang begitu akur.
“Kak Nessa sudah nggak ada lagi.” Ucap Nevan dengan air mata berlinang.
“Maksud abang gimana?” tanya Gibran tak mengerti.
“Kita nggak bakalan ketemu kakak Nessa Gibran, sudah jangan nangis mulu. Nanti Kak Nessa sedih.” Nevan mengangkat senyumnya, dia memeluk tubuh Gibran.
Kakak yang dia sayangi telah kabur dan tidak ingin kembali. Maka hapuslah ingatan mu tentang dia, bukalah lembaran baru dan terima kenyataan kalau tidak ada lagi perempuan diantara kalian. Bukankah saat dia di rumah tidak ada yang peduli, tapi kenapa dia menghilang baru semuanya bergerak tuk mencari.
Bagus banget siihh...
Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)