Loading...
Logo TinLit
Read Story - Someday Maybe
MENU
About Us  

           Aku Nessa Felesia Ardelia, mereka biasa memanggilku Nessa. Tidak banyak yang mengenalku di sekolah karena aku termasuk siswi yang tidak aktif. Aku juga tidak mengikuti semua jenis ekskul yang ada, hanya saja aku dan sahabat-sahabatku termasuk anggota perpustakaan. Jangan kira kalau aku itu anak kutu buku, ah bahkan aku kurang tertarik dengan itu. Alasan aku dan temanku aktif dalam perpustakaan hanya karena ruangan yang tersembunyi di sana.

            Aku mempunyai keluarga yang harmonis, papaku seorang pengusaha yang cukup sukses dan mama ku ibu rumah tangga yang begitu menyayangi anak-anaknya. Setiap malam kami akan berkumpul di meja makan, melepaskan rasa kangen. Ini hanya kau dan keluarga ku yang tahu kalau aku mempunyai saudara kembar, yeah namanya Nevan Fabian Ardhian. Dari sekolah kami merahasiakannya karena aku tidak ingin ikut dalam urusan Nevan yang selalu rumit seperti ayah ku dulu.

            Ini hari pertamaku masuk sekolah dengan status siswi kelas sebelas, jujur setelah lama libur niat ku untuk sekolah jadi menurun. Aku melangkah gontai menuju ruang makan disana sudah ada papa dan Nevan dengan aktifitas mereka masing-masing. Mama masih sibuk memasak, bisa aku tebak jika mama dan papa lagi-lagi bangun kesiangan.

            “Pa aku di kasih sopir pribadi dong.” Ucap ku seraya menarik kursi dan mendudukinya.

            “Tidak boleh Nessa jangan manja ah.” Ucap papa yang selalu itu-itu saja.

            Aku mendesah kenapa permintaanku selalu di tolak, beli handphone baru, beli makanan, dan minta sopir pribadi. Uang papa di kemanain sih? Tapi kenapa permintaan Nevan selalu di turuti sih? Asal kalian tahu kemarin Nevan baru beli motor sport keluar terbaru lagi kan parah.

            Aku menoleh menatap Nevan, dia memandangiku dengan tatapan penuh kemenangan. Aku beranjak mendekati mama yang masih sibuk menggoreng ayam dan membuat segelas susu hangat di sana. Setelah minum susu aku langsung pamit untuk pergi sekolah, yap aku tidak biasa makan pagi.

            Aku lupa untuk memberitahu mu jika aku mempunyai adik, namanya Daffa sikapnya yang tidak jauh beda dengan Nevan. Dia sering bekerja sama dengan Nevan membuatku kesal, tapi aku tak pernah menanggapinya. Mama kini tengah mengandung anak keempatnya, aku berharap dia perempuan agar aku punya teman dan sendiri lagi.

            “Pergi sama papa aja Ness.” Ucap papa saat aku menyalaminya.

            “Nggak Nessa males pergi sama papa, nanti di kira jalan sama om-om.” Tolak ku, papa memang memiliki wajah yang ganteng, awet muda, dan masih menjadi idola para emak-emak di kompleks.

            Papa mengangguk, aku tak melirik Nevan yang menunggu mama selesai memasak. Aku langsung berjalan menuju gang, yang berjarak 500 meter dari rumahku. Mungkin banyak yang berfikir kenapa anak pengusaha kaya sepertiku pulang pergi selalu jalan kaki dan menggunakan angkot? Pasti banyak, tapi papa dan mama mengajarkan ku untuk selalu sederhana, perlu kalian garis besari hanya mengajarkan kepadaku.

            Apa mungkin papa dan mama tidak menghendaki anak perempuan? Sesekali pertanyaan itu muncul di benakku, tapi aku selalu berusaha tidak berfikir seperti itu mereka tetap menyangiku meski tidak menuruti apa mau ku.

            “Hai neng, jalan kayak siput gitu kapan sampainya?” tiba-tiba sosok yang sangat ku kenali berada di sampingku, dia Nevan yang memlambat laju motornya.

            “Apaan sih ganggu mulu.” Jawabku singkat dan mengabaikan kehadiran Nevan.

            Nevan hanya tersenyum atas penderitaan ku, dia menggas motornya dan meninggalkan diriku sendiri. Kalian tahu Nevan bahkan tidak pernah mengoncengkan ku, dan dia selalu mengantar jemput pacarnya.

            Aku tak begitu peduli dengan Nevan, toh kami bicara hanya sesekali. Dia yang hobinya bikin rusuh beda jauh dengan ku yang kalem-kalem saja. Sepuluh menit berjalan akhirnya aku sampai di halte, dan tidak menunggu lama angkot menuju sekolahku akhirnya menjemput. Siapa sih yang tahu diriku di sana, mereka hanya menganggap sebagai siswi biasa dengan pendapatan orang tua tak seberapa, yap penampilanku begitu sederhana seragam lama dan sepatu lama. Duh tuhan, aku sudah biasa dengan kehidupan pas-pasan gini.

            Angkot memberhentikanku di simpang dekat sekolah, aku harus berjalan seratus meter agar sampai di gang sekolah. Banyak orang senasib dengan ku, berjalan memasuki jalan yang tidak begitu besar. Aku tidak bisa memastikan jika mereka di sini menyadari aku sekolah sama mereka atau tidak.

            Ada Nevan dan teman-temannya yang sudah berada di depan pagar, menyambut kedatangan murid baru kelas sepuluh. Dia menjabat sebagai ketua OSIS, tapi sayang dia cukup memalukan nama sekolah karena hobi bikin onar dan berkelahi dengan siswa sekolah sebelah. Nevan sempat melirikku sebentar dan kembali sibuk dengan tugasnya. Aku lagi-lagi tidak peduli, mungkin jika kalian seperti ku pastilah kalian juga merasakan apa yang ku rasakan ada perasaan iri yang menyelinap di hati ini, kenapa mama dan papa membedakan kami berdua sedangkan kami lahir dari rahim dan waktu yang beda 2 menit.

            Aku menunduk dan kembali melangkah memasuki perkarangan sekolah. Sudah ada Dira, Tari, dan Intan di sana. Mereka melambaikan tangannya kearah ku, sudah lama aku tak bertemu dengan mereka. Selama libur aku hanya mengurung diri di kamar, mengetik cerita yang biasa menjadi hobiku.

            “Lo makin cantik aja Ness.” Puji Dira kemudian memelukku.

            “Apaan sih kalian yang makin cantik.” Ucapku malu-malu.

            “Kita satu kelas lagi loh.” Teriak Intan girang.

            Aku tersenyum manis, jujur aku sudah tahu itu sejak lama. Aku yang memaksa papa untuk minta sama kepala sekolah agar aku dan sahabatku satu kelas. Aku anak yang kurang bisa bergaul, mau jadi apa aku jika tidak satu kelas dengan mereka. Mungkin saja aku hanya jadi pajangan yang selalu diam dan menyendiri.

            Kami memasuki kelas, aku duduk dengan Intan dan Dira bersama Tari. Kami selalu duduk berdekatan ya sekaligus bergunjingkan orang. Intan menceritakan kisahnya jalan ke Paris, dia juga membelikan kami oleh-oleh, jam tangan couple berempat. Intan itu anak orang kaya, setiap bulan dia selalu ikut papanya bisnis ke luar negeri. Kapan ya papa ngajak aku gitu?

            Tari juga sama dia menceritakan liburannya keliling Indonesia, mendaki gunung menyebrangi pulau ya dia begitu suka traveling yang berbau alam bersama kakak laki-lakinya yang kini kuliah di Universitas Pajajaran. Sedangkan Dira dia menceritakan kisahnya liburan kekampung, melihat bentangan alam yang indah dan damai. Jangan tanya aku, mereka sudah tahu apa kegiatan ku.

            “Nevan motor baru ya Ra, gila makin cakep aja tuh anak.” Puji Tari yang begitu menggilai Nevan.

            “Namanya juga orang kaya Tar, mau beli apa aja terserah dia.” Jawab Dira yang juga sepaham dengan Tari.

            Hanya aku yang tidak menyukai Nevan di sini, tapi entah kenapa mereka tidak sadar jika aku dan Nevan kembar. Kami tidak begitu mirip, entah akhir-akhir ini aku menyadari perbedaan ku. Nevan lebih tinggi dari aku, dia juga lebih putih, terlebih dia itu memiliki warna mata yang berbeda Nevan cokelat terang sedangkan aku hitam pekat.

            “Tapi gue lebih suka sama Adelio deh, dia lebih ganteng dari Nevan parah deh badboy gitu.” Ujar Intan histeris.

            Siapa lagi Adelio itu, aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya yang selalu di puja-puja oleh Intan. Pembahasan mereka tidak jauh dari Nevan dan Adelio, sedangkan aku yang tak tertarik dengan mereka hanya mengangguk.

            “Nanti lihat Nevan ya, kangen gue dengan wajahnya yang super duper ganteng itu.” Ajak Tari, yang disetujui oleh Dira dan Intan.

            “Gue malas ah, mau ke perpus aja. Ngapain lihatin dia, kayak nggak ada cowok yang lebih ganteng aja.” Ucapku malas.

            “Siapa? Athala maksud lo?” Aku menggeleng, siapa lagi itu Athala kenal juga nggak.

            “Jangan bilang lo nggak tahu ya Ness?” tanya Intan, aku hanya tersenyum.

            “Ini anak, peka dikit kek sama lingkungan lo. Itu kakak ngemos lo yang nembak lo. Ah Ness lo ya bikin kesal.” Ucap Dira.

            Aku baru ingat, dia yang pernah nembak aku waktu mos kelas dan kemudian aku tolak jadi namanya Athala. “Baru tahu gue nama dia Athala.” Ucapku santai.

            Suara Nevan terdengar, dia tengah memberi pengarahan kepada anak murid baru. Dira menarik ku dengan paksa, mereka tidak memperbolehan aku untuk pergi ke perpustaka sendirian. Sudah banyak yang keluar kelas hanya menyaksikan Nevan dan kawan-kawan, aku bisa dengar bisikan mereka yang memuji Nevan. Bukankah aku dan Nevan anak kembar? Kenapa dia yang selalu di kenal banyak orang, kenapa hanya dia yang di puji dan kenapa aku serasa jadi anak pungut. Atau jangang-jangan aku anak punggut ya sehingga aku tak berhak mendapatkan apa yang juga Nevan dapatkan.

            Tiba-tiba Kak Athala datang, dia menghampiri dan mengajak Intan untuk bicara sebentar. Aku sesekali mencuri padangan tumben sekali dia mengajak Intan bicara, dan terlihat sekali kalau Athala sedang membujuk Intan. Diakhir pembicaraan Intan mengangguk, dia kembali dan menarik diriku mendekati Athala.

            “Kak Athala mau ngomong, lo dengarin aja jangan banyak ulah.” Ucap Intan terus meninggalkan ku sendiri.

            Aku melirik Tari dan Dira yang tersenyum menyemangatiku, apa-apan ini?

            “Ness.” Lirihnya, tidak ada yang peduli dengan kami karena yang di sini asik mendengarkan Nevan berbicara.

            “Hmm.”

            “Kamu kenapa dingin banget sama aku?” tanyanya.

            Jujur Kak Athala ini tidak kalah dengan Nevan, dia manis, menarik tapi sayang aku belum tertarik dengannya.

            “Aku memang gini kak, kalau kakak nggak suka ya gimana lagi.” Jawab aku simpel.

            Kak Athala tersenyum, ini pertama kalinya kami bicara semenjak aku menolak cintanya. Apa sih yang Kak Athala suka dari aku? Bahkan orang saja tidak menganggap diriku ada.

            “Kamu maukan berteman sama kakak?” tanyanya, aku mengangguk apa salahnya hanya berteman saja. Toh ini pertama kalinya aku berteman dengan cowok, kakak kelas lagi ganteng pula.

            “Makasih ya Ness, aku bahagia banget.” Ucapnya dengan senyum yang merekah, aku kembali mengangguk.

            Dia pamit permisi, karena masih banyak yang dia urusi selaku mantan ketua OSIS. Aku melirik Nevan, sepertinya dia tahu kalau bicara dengan Kak Athala. Kenapa ekspresinya tiba-tiba aneh gitu ya, peduli apa dia dengan anak pungut seperti ku ini?

            “Ciee yang terima Kak Athala.” Goda Tari saat aku kembali ke sisi mereka.

            “Apaan sih cuman terima jadi teman doang.” Jawabku singkat.

            “Gue dukung banget lo sama Kak Athala, dia orangnya ramah banget cocok buat lo yang kalem gini.” Seru Intan mencolek dagu ku.

            “Gue sih tetap dukung Nessa sama Nevan, biar Nessa jadi terkenal gitu pacaran sama orang kayak Nevan.” Ujar Dira. Dia sangat mendukung diriku pacaran dengan Nevan, ah aku tidak tertarik dengan cowok seperti Nevan yang menganggap kenakalan remaja adalah hal biasa.

            “Bisa nggak sih berhenti ngomongin Nevan? Capek gue, apaan yang manarik sama dia?” ucapku dengan suara lantang.

            Semua yang mendengar menatap diriku, mereka memberikan tatapan yang mengerikan. Terutama pacar Nevan, dia melangkah mendekatiku.

            “Eh cewek udik beraninya lo ngomongin pacar gue.” Bentaknya, kini perhatian mereka teralih kepada ku. Mereka tidak lagi mendengarkan Nevan bicara dan malah menonton aku dan pacar Nevan.

            “Suka-suka gue dong, hak gue lah mau nilai orang.” Jawab ku singkat yang bodo amat dengan mereka.

            Pacar Nevan bernama Dea, wajahnya pas-pasan dengan make up setebal aspal. Aku tidak pernah takut sama orang, apalagi dengan Dea meski dia punya teman yang banyak. Wajah Dea memanas, dia menatap ku seolah ingin menerkam. Tari menarik ku untuk mundur, aku tahu jika dia tidak ingin ada permasalahan antara kami.

            “Lo sadar diri dong, ngaca!” Dea mendorong bahuku dengan sebelah tangan.

            “Jadi cewek jangan kasar dong.” Ucap Intan yang mulai terbakar emosi.

            Dea tersenyum sinis, dia menatap Intan. “Kalian jangan sok berani ngelawan gue, kalian itu cuman sampah di sini.” Ucap Dea dan kemudian mengajak teman-temannya pergi.

            Aku hanya diam karena aku tidak pernah mengambil pusing semua yang menimpaku. Tari terlihat kesal dengan Dea, wajahnya memanas dan tangannya mengepal. “Wajah jelek gitu sok tenar banget sih.” Lirihnya dan langsung ditarik Dira masuk kedalam kelas.

             Semua sahabatku pergi karena harus mengurusi ekskulnya, Dira mengikuti ekskul PMR, Intan mengikuti OSIS, dan Tari mengikuti Pramuka. Kini tinggal aku sendiri, kamu memang sering seperti ini, sahabat-sahabatku juga punya acaranya sendiri dan tidak mungkin selalu menemaniku. Akhirnya aku menuju perpus, tempat keramat bagi kebanyakan siswa. Mereka hanya masuk perpus jika benar-benar terpaksa.

            Bu Rahmi menyapaku, dia bahagia masih ada yang mau mengunjungi tempat kerjanya. “Kamu nggak update cerita lagi ya Ness? Ibu kan kangen.” Ucap Bu Rahmi yang selaku penggemar cerita yang selalu aku share di sosial media.

            “Nggak bu, nggak ada uang buat beli paket.” Ucap ku jujur, aku hanya di beri uang sepuluh ribu perhari dengan ongkos lima ribu jadi di total jajanku hanya lima ribu doang. Dapat apa? Ya kalian bisa pikir sendiri.

            “Loh? Yahh padahal ibu penasaran lo lanjutannya, itu si wulan jadian sama siapa.” Ucap Bu Rahmi dengan penuh kecewa. Wulan adalah tokoh utama yang aku buat dalam cerita, kurang lebih wulan adalah pengganti diriku. Sejujurnya cerita itu merupakan kisah nyata yang pernah aku alami waktu smp.

            “Nanti aku kasih filenya deh bu.”

            “Yah jangan dong, kan kamu bisa gunain wifi di perpustaka ini Ness.” Ucap Bu Rahmi, aku mengangguk setuju kenapa nggak kepikiran sih.

            Aku pamit menuju tempat rahasia, hanya siswa aktif yang mengetahui tempat itu. Biasanya tempat tersebut digunakan untuk ngumpul-ngumpul atau mengasingkan diri dari hiruk piruk kehidupan.

            Kali ini aku akan merenung, apa yang harus aku lakukan. Aku duduk di paling pojok, dan memeluk diriku sendiri. Kenapa hidup ini nggak adil sih? Jika memang papa dan mama ku sekarang bukan orang tua kandung ku maka temukanlah aku dengan orang tua ku yang sebenarnya. Aku kini benar-benar sendiri, hanya terdengar bunyi jam dinding setiap detiknya.

            Napasku terasa tersenggal, sesak sekali sampai membuatku sulit bernafas. Aku harus tegar, apa pun yang tejadi aku harus kuat dan semangat. Pintu terbuka, Kak Athala datang dengan wajahnya yang bingung melihat ku.

            “Loh kamu kenapa di sini Ness?” tanyanya, dia jongkok dan memperhatikan ku.

            “Aku yang tanya kakak kenapa di sini?” tanyaku balik.

            “Aku sering ke sini Ness malah kalau bete selalu kesini.” Jawabnya dengan senyum simpul.

            “Kenapa aku nggak pernah lihat kakak?” tanyaku.

            Dia menggeleng tidak tahu, aku beranjak dan duduk di bangku yang disediakan. Kak Athala juga mengikuti dan duduk di sebelah ku.

            “Kamu pernah baca artikel dia bilang gini kalau kita ada masalah itu maka nyanyilah.” Tiba-tiba Kak Athala bicara seperti itu.

            “Loh kenapa kak?” tanya ku yang mulai tertarik.

            “Ya kita bakalan menyadari bahwa ternyata suara kita lebih parah dari apa yang perah dari masalah yang kita hadapi.” Ucapnya memamerkan deretan gigi yang rapi.

            Aku tersenyum, ternyata Kak Athala sedang menghiburku walaupun receh.

            “Ada cerita lagi nih Ness, kamu mau dengar?” tanyanya, aku yang merasa sepi hanya mengangguk saja.

            “Gini ada orang yang namanya ateng, Ateng yang sedang bermain kelereng dengan teman-temannya merasa kesakitan karena jarinya terluka. Lalu semua teman Ateng membawanya ke rumah dokter yang kebetulan dekat dengan tempat mereka bermain. Sambil merengek kesakitan saat diperiksa dokter,” ucap Kak Athala, aku masih setia mendengar.

            “Terus Si Ateng tanya sama dokter, pak  apa sayang bisa main piano saat jari saya sembuh? Terus si dokter mengangguk dan bicara kamu bakalan bisa bermain piano lagi. Si Ateng tersenyum girang, dia bersorak Yee akhirnya, bapak dokter begitu hebat tadinya saya tidak bisa bermain piano.” Jelas Kak Athala, aku tertawa karena merasa terhibur.

            Kak Athala melemparkan senyumnya padaku, “Senang lihat kamu kembali senyum Ness.” Ucapnya, aku jadi malu.

            “Katanya kamu suka nulis ya Ness?” tanya Kak Athala, aku mengangguk.

            “loh hobi kita kenapa bisa samaan sih?” ujarnya, aku tidak percaya palingan juga bohong.

            “Nggak tahu deh kak.”

            “Kamu suka baca TinLit nggak?” tanyanya lagi.

            “Suka sih kak, tapi paling suka itu baca ceritanya @AthFar ceritanya nyentuh banget.” Jawabku dengan sedikit semangat.

            “Seriusan? Kamu benaran suka? Kamu percaya nggak kalau itu aku?” Kak Athala merogoh sakunya, mengeluarkan iphone X yang sangat aku incar.

            Aku menggeleng tidak percaya, yang aku tahu @AthFar itu penulis yang terkenal, memiliki banyak penggemar dan sudah menerbitkan tiga buku. Tapi @Athfar tetap menggunakan nama penanya, tidak mau menunjukkan identitas asli.

            Kak Athala membuka aplikasi TinLit dan aku terkejut ada akun @AthFar  yang login di sana. Seriusan itu kak Athala, semangatku makin berapi-api, siapa sangka aku bisa bertemu dengan sosok yang tulisannya aku idolakan.

            “Wahh aku nggak nyangka deh kak bisa ketemu penulis aslinya, bisa dong ngajarin aku? Siapa tahu bisa jadi penulis terkenal kayak kakak?” aku tersenyum.

            Kak Athala tersenyum simpul, dia kembali menyimpan ponselnya. “Dengan senang hati.” Jawab Kak Athala membuat ku senang setengah mati.

 

                                                                                                                                              ***

            Aku benar-benar anak yang tertutup, saat di rumah aku mengunci pintu kamar rapat-rapat dan keluar saat jam makan datang. Siapa yang peduli dengan aku? Papa dan mama hanya memperhatikan Nevan yang selalu membanggakan. Setiap pulang sekolah aku selalu menulis semua perasaan ku dalam buku diary, hanya dia yang mengerti perasaan yang aku rasakan.

            Kamarku berada di lantai tiga, tidak ada orang di sana selain diriku. Aku sengaja meminta mama dan papa untuk menyediakan kamar di lantai tiga, karena aku tidak suka keributan yang di ciptakan oleh Gibran ataupun teman-teman Nevan yang sering datang ke rumah. Di sini aku terasa benar-benar hampa, tapi biarlah setidaknya aku bisa tersenyum dan tidak menampakkan kekecewaank ku terhadap mereka.

            Hari ini aku ada janji dengan Kak Athala di perpustakaan nasional, dia bersedia mengajarkan ku menulis. Aku menggunakan dress biru selutut dan pansus yang senada. Ada tatapan aneh dari mama, papa dan Nevan saat aku turun dari tangga. Mungkin karena sebelumnya aku tidak pernah pergi setelah pulang sekolah.

            “Loh kamu kemana sayang?” tanya mama saat aku melalui mereka.

            “Pergi bentar.” Jawabku singkat, jujur saat ini aku sangat sakit hati. Lagi-lagi mereka selalu memperhatikan Nevan.

            Aku sempat melihat Nevan, dia menatap mataku dengan tajam. “Tumben banget lo pergi? Biasanya juga ngurung diri di kamar.” Ucapnya, ternyata dia sadar dengan ketidak hadiranku di keluarga ini.

            “Mau nyari orang tua kandung gue, siapa tahu ketemu di jalan.” Jawab ku singkat dan berlari meninggalkan mereka semua. Aku tahu mama dan papa pasti kaget mendengarnya, bukankah aku anak pungut? Ah sudalah mood ku jadi kacau karena mereka.

            Aku beristirahat sebentar di sebelah rumah mewah berwarna cokelat, aku sadar percuma lari seperti tadi toh nggak ada yang ngikutin. Aku sengaja lewat jalan yang lain, agar jika ada yang nyari mereka tidak menemui ku. Kak Athala sudah menunggu di gang yang jauh dari rumah, dia menggunakan mobil.

            “Lo kenapa kelihat sesak gitu?” tanya Kak Athala saat aku duduk di dalam mobil.

            “Tadi lari kak, takut ada yang ngikutin.” Jawab ku singkat.

            “Bukannya ini komplek perumahan mewah itu ya Ness? Rumah lo di sana?” tanya Kak Athala mulai menjalankan mobilnya.

            Aku menggeleng, kalau aku jujur nanti malah di bilang pamer dan mimpi. Bagaimana mungkin anak yang punya rumah mewah selalu jalan kaki, jajan lima ribu dan punya barang sederhana bahkan bisa di bilang pas-pasan.

            “Nggak mungkin lah kak, rumah aku jauh dari sini.” Jawabku ngasal.

            “Terus kenapa dari sana Ness?”

            “Mama aku kerja di sana kak, sebagai ART.” Jawabku, Kak Athala mengangguk. Maafkan aku ma, aku berbohong dan mengaku mama sebagai ART. Tapi aku rasa aku bukan anak mama.

            Kini ku berharap jika anak yang di kandung mama adalah laki-laki, aku takut nasib dia kelak jika perempuan. Biarlah aku yang menderita seperti ini.

            Akhirnya kami sampai di Perpustakaan Nasional, Kak Athala membawa laptopnya kedalam. Entah kenapa kami seperti orang couple karena memakai baju biru. Kami mencari posisi yang ternyaman dan pastinya dekat dengan buku referensi.

            Kak Athala begitu ramah, dia megajarkan ku dari hal-hal dasar. Entah kenapa aku mulai tertarik dengan dirinya, dia bahkan serasa patut jadi kakak ku pengganti Nevan.

            “Hahaha, aku salah lagi ya kak?” aku tertawa, ah begini rasanya jika ada yang memperhatikan diriku.

            “Nggak apa-apa Ness, coba lagi bikin karakter itu lebih nyata.” Kak Athala memberiku semangat.

            Aku tersenyum, aku berusaha sekuat tenaga. Ternyata punya banyak teman itu asyik ya, aku bisa sharing apa pun dengan mereka. Kak Athala juga tidak pemarah, dia selalu menyikapi dengan senyuman dan membuat hati ku damai.

            “Hahaha kamu ini makin gemesin.” Ujar Kak Athala mengacak rambutku, dia sepertinya tertarik dengan cerita yang aku buat.

            “Hahaha, jangan gitu dong kak. Nanti rambut aku berantakkan.” Ucap ku cemberut, kenapa rasanya ada yang anehnya. Tuhan boleh kak aku pindah keluarga? Ternyata ada yang bisa buat ku bahagia dan melupakan semuanya sejenak. Tidak ada Nevan dalam pembicaraan kami.

            Sore menjelang, Kak Athala mengantarkan ku di tempat dia menjemputku. Kini aku harus berjalan menuju rumah, bagaimana ya tanggapan mereka saat aku pulang sore gini? Ah pastinya mereka akan biasa-biasa saja, masih tertawa dengan cerita Nevan yang tidak menarik itu.

            “Kamu kemana aja sih Nessa? Kenapa jam segini baru pulang?” Papa menghampiriku saat aku melangkah memasuki rumah.

            Ada Nevan, dan mam di sana. Aku menghelakan napas, malas bertemu dengan mereka. “Ketemu nggak orang tua kandung lo?” tanya Nevan membuat hatiku makin panas.

            Aku berusaha sabar, percuma aku sudah kecewa dengan mereka. Aku berlari menuju lantai atas tapi sayang papa mencegat jalan ku. Mama ikut berdiri di samping papa.

            “Apaan sih ma, pa? Aku mau istirahat.” Tanya ku.

            “Kamu kenapa? Nggak biasanya gini? Tadi maksud kamu apaan? Nyari orang tua kandung? Kamu kira papa sama mama ini siapa?” tanya mama yang membuat ku membeku.

            “Harus ya aku jawab?” Rasa sesak membuat ku benar-benar sakit.

            “Sayang?” lirih papa, aku tidak mempan dengan panggilan sayang itu.

            “Sudah lah pa, aku itu bukan anak kandung kalian kan? Kalian selalu bilang aku itu kembaran Nevan? Kembaran apa pa? Memang ada ya anak kembar itu di bedain? Apa yang aku minta selalu kalian tolak, dan anehnya kalian selalu beliin apa yang Nevan minta walaupun ratusan juta. Uang jajan aku juga jauh dari dia pa, kalian juga tega lihat aku jalan kaki pulang pergi sekolah kan? Apa itu tidak cukup sabagai bukti aku bukan anak kandung kalian?.” Tak terasa air mata ku jatuh.

            Mereka terdiam, aku kembali melanjutkan langkah menaiki tangga. Sebelumnya aku tersenyum pada Nevan, mungkin benar dia bukan kembaran ku.

            “Kamu itu anak kandung mama sayang, mama yang lahirin!” teriak mama yang syok mendengar ucapan ku.

            “Iya ma? Aku harap gitu, oh iya semoga anaknya laki-laki ya ma biar dia disayang kan kasihan kalau dia juga bernasib seperti ku.” Ucap ku dengan bibir bergetar, Nevan sempat menahan tanganku tapi aku melanjutkan langkah ini. Aku harap uang tabungan yang selama ini aku kumpulkan cukup untuk pergi dari sini.  

            Aku menggunci pintu rapat-rapat dan menghidupkan musik dengan keras agar apa yang mereka ucapkan dari balik pintu tidak ku dengar. Aku kecewa dan aku rasa aku cukup egois membiarkan mama yang tengah hamil tua menangis dengan sikap ku. Tuhan aku harus apa? Aku tidak bisa menahan semua ini, jika kau berkenan bunuh aku dan semua kisah ini akan berakhir dengan bahagia.

            Aku menatap buku tabunganku, aku rasa dengan uang ini aku cukup untuk ku pergi ke tempat dimana mereka tidak akan menemukan ku. Aku beranjak berdiri, mengambil sehelai kertas dan pena. Kini akan ku curahkan semua isi hati ku agar mereka tahu betapa kecewanya aku selama ini.

Dear Mama dan Papa

Terima kasih atas semua kasih sayang yang kalian berikan kepada ku

Curahan perhatian yang kalian limpahkan pada ku

Terima kasih atas telah memenuhi kebutuhan ku

Mungkin aku bukan anak yang kalian harapkan

Aku hanya seorang gadis yang begitu pendiam, tidak bisa bergaul dan tidak memiliki prestasi yang dapat kau banggakan seperti Nevan.

Mungkin juga aku anak pungut yang kalian dapatkan dari bak sampah yang menangis meminta di kasihani.

Maafkan aku yang selalu menuntut kalian agar selalu memberikan apa yang kalian berikan kepada Nevan.

Kini ku beranjak pergi, benar-benar pergi dari kehidupan kalian.

Jangan cari aku, aku bisa hidup dan bertahan di sisi kehidupan yang lain.

Maafkan aku yang mengecewakan kan kalian

Maafkan aku yang lari dari permasalahan karena aku benar-benar tak sanggup.

Untuk mu Nevan, aku bahagia bisa melihat mu bahagia.

Aku harap kamu selalu mengukir senyum di bibir kedua orang tua mu.

Aku sayang kalian

 

Dari Nessa yang telah pergi dan tak akan kembali lagi.

 

            Aku menunduk, menangis menumpahkan semuanya. Maafkan mungkin aku anak yang tidak tahu diri, jika kalian mengalami semua kejadian seperti aku, aku mohon jangan ikut meniru tindakkan aku yang begitu bodoh ini. Meninggalkan mereka merupakan pilihan yang begitu salah, karena masalah hadir bukan untuk di sesali tapi untuk di selesaikan.

Selamat datang di kisah ku, kisah yang jauh dari ata sempurna. Kini aku mohon jangan kalian tanyakan Mama, Papa, dan Nevan untuk beberapa bulan kedepan karena sungguh aku telah jauh dari mereka dan aku yakin mereka sudah menerima kepergianku.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • rahmalief

    Bagus banget siihh...

    Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)
Similar Tags
Black Envelope
352      240     1     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
My Secret Wedding
1421      638     2     
Romance
Pernikahan yang berakhir bahagia adalah impian semua orang. Tetapi kali ini berbeda dengan pernikahan Nanda dan Endi. Nanda, gadis berusia 18 tahun, baru saja menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Sedangkan Endi, mahasiswa angkatan terakhir yang tak kunjung lulus karena jurusan yang ia tempuh tidak sesuai dengan nuraninya. Kedua nya sepakat memutuskan menikah sesuai perjodohan orang tua. Masin...
Zona Erotis
746      489     7     
Romance
Z aman dimana O rang-orang merasakan N aik dan turunnya A kal sehat dan nafsu E ntah itu karena merasa muda R asa ingin tahu yang tiada tara O bat pelipur lara T anpa berfikir dua kali I ndra-indra yang lain dikelabui mata S ampai akhirnya menangislah lara Masa-masa putih abu menurut kebanyakan orang adalah masa yang paling indah dan masa dimana nafsu setiap insan memuncak....
Astronaut
6518      1691     2     
Action
Suatu hari aku akan berada di dalam sana, melintasi batas dengan kecepatan tujuh mil per detik
Flying Without Wings
945      501     1     
Inspirational
Pengalaman hidup yang membuatku tersadar bahwa hidup bukanlah hanya sekedar kata berjuang. Hidup bukan hanya sekedar perjuangan seperti kata orang-orang pada umumnya. Itu jelas bukan hanya sekedar perjuangan.
THE HISTORY OF PIPERALES
1984      751     2     
Fantasy
Kinan, seorang gadis tujuh belas tahun, terkejut ketika ia melihat gambar aneh pada pergelangan tangan kirinya. Mirip sebuah tato namun lebih menakutkan daripada tato. Ia mencoba menyembunyikan tato itu dari penglihatan kakaknya selama ia mencari tahu asal usul tato itu lewat sahabatnya, Brandon. Penelusurannya itu membuat Kinan bertemu dengan manusia bermuka datar bernama Pradipta. Walaupun begi...
Taarufku Berujung sakinah
6798      1767     1     
Romance
keikhlasan Aida untuk menerima perjodohan dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya membuat hidupnya berubah, kebahagiaan yang ia rasakan terus dan terus bertambah. hingga semua berubah ketika ia kembai dipertemukan dengan sahabat lamanya. bagaimanakah kisah perjuangan cinta Aida menuju sakinah dimata Allah, akankah ia kembali dengan sahabatnya atau bertahan degan laki-laki yang kini menjadi im...
Azzash
291      238     1     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...
High Quality Jomblo
43046      6094     53     
Romance
"Karena jomblo adalah cara gue untuk mencintai Lo." --- Masih tentang Ayunda yang mengagumi Laut. Gadis SMK yang diam-diam jatuh cinta pada guru killernya sendiri. Diam, namun dituliskan dalam ceritanya? Apakah itu masih bisa disebut cinta dalam diam? Nyatanya Ayunda terang-terangan menyatakan pada dunia. Bahwa dia menyukai Laut. "Hallo, Pak Laut. Aku tahu, mungki...
I'll Be There For You
1212      584     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.