Suara daging yang beradu dengan minyak panas kini mulai mendominasi ruangan itu. Juga asap yang menguar melalui jendela dan kemudian membumbung tinggi menghilang seolah menyatu dengan awan putih diantara birunya langit siang itu. Tak lupa, dua orang manusia berbeda gender yang sejak mereka datang sudah beradu mesra seperti anak remaja yang baru pertama merasakan jatuh cinta.
Tunggu!
Aku menolehkan kepalaku ke arah Bram dan Sinta yang sedang menusuk potongan-potongan daging dan sayur-sayuran. Mereka saling menyenggol pergelangan tangan mereka satu sama lain, seolah-olah itu adalah bentuk bercanda yang lucu dan menghibur. Meski yang kulihat tidak sama sekali.
Lalu Rangga datang membawa mangkuk besar berisi salad yang sudah ia aduk-aduk sedari tadi.
“Gosong itu,” kata Rangga menunjuk ke arah panggangan dan daging yang mulai kecoklatan.
Dengan cekatan aku membalikkan daging panggang tersebut.
“Kenapa sih ngelamun aja?” tanya Rangga.
“Lagi kepo,” jawabku asal dengan masih menoleh ke arah Bram dan Sinta.
Rangga ikut mengarahkan pandangannya pada Bram dan Sinta.
“Emangnya seperhatian itu ya kamu sama mereka? Atau kamu gak percaya kerjaan mereka? Cuma nusuk-nusuk daging, Ta. Gak usah protes kalau gak rapi.”
“Ih! Bukan itu, Ga.” Kini aku memandangi Rangga, begitu pula dirinya. “Kamu gak sadar ya? Dari tadi kok dua orang itu gak beres-beres kerjaannya? Malah becanda mulu,” protesku.
“Ya gak apa-apa kali, Ta. Gak usah buru-buru.”
“Bukan gitu juga. Aneh aja, biasanya Bram gak pernah becanda segitunya. Sinta juga kalau becanda gak gitu-gitu amat. Hari ini mereka aneh deh.”
Rangga mengusap pucuk kepalaku.
“Kamu sih yang aneh, gitu aja dipikirin.”
Aku semakin tidak mengerti dengan ucapan Rangga.
****
Setelah makanan-makanan tadi siap, aku dan Sinta menata piring-piring berisi makanan tadi ke atas meja kayu yang menghadap langsung ke arah TV besar di apartemen Rangga. Sementara itu, Rangga dan Bram menyiapkan minuman dan film yang nantinya akan kami tonton.
Aku duduk di samping Sinta, lalu, Sinta justru menggeser duduknya hingga berada persis di samping Bram. Otomatis, Rangga yang berniat duduk di samping Bram mengalah dan duduk di sampingku. Hal yang membuatku semakin bertanya-tanya tentang tingkah laku dua orang itu.
Kemudian, film pun diputar. Kali ini kami menonton salah satu film horor komedi. Sepanjang film itu diputar, aku tertawa terbahak-bahak, begitu pula dengan Rangga yang ada di sebelahku. Meski film itu menyeramkan, tapi menurut kami tidak ada seram-seramnya, bahkan menurutku jumpscare yang muncul tidak sampai membuatku terkejut begitu kentara. Berbeda dengan kedua orang yang tak jauh dari tempatku.
Yang satu bersembunyi di balik tubuh yang lainnya yang lebih besar darinya, dan yang satunya bertingkah seolah-olah dia tameng yang bisa menghalau rasa takut. Kupikir, hubungan Bram dan Sinta tidak sedekat ini kemarin sore.
****
“Dari tadi kamu perhatiin Bram sama Sinta terus, ada apa?” tanya Rangga membuka suara ketika aku sedang mencuci bekas makan kami, dan Rangga bertugas mengeringkannya.
“Gak apa-apa,” jawabku asal walaupun aku masih mencuri pandang ke arah dua insan yang sedang memainkan Plays Station milik Rangga.
Mereka heboh, meskipun sesekali Bram mengajari Sinta cara memainkannya. Ada seulas senyuman di raut wajahku ketika sikap mereka mengingatkanku dulu. Aku pun tidak bisa memainkan permainan semacam itu, lalu Rangga dengan kerennya mengajariku seperti seorang pro.
“Dulu kamu sering bantuin aku maen PS karena aku gak bisa,” kataku.
Rangga sekilas menoleh ke arah Bram dan Sinta lalu kembali mengelap piring-piring yang sudah kucuci.
“Kamu juga heboh kayak Sinta,” kata Rangga.
“Hahaha….”
Kami kembali diam, menfokuskan diri pada pekerjaan kami masing-masing.
“Ga, kenapa dari dulu kamu perhatian sama aku? Waktu aku gak bisa maen game, atau saat aku merhatiin cinnamon roll, atau waktu kamu beliin aku satu kantong plastik coklat bubuk? Padahal aku gak minta, aku juga gak mencoba minta perhatian dari kamu.”
“Karena aku sayang kamu, Ta. Makanya aku perhatian,” jawab Rangga membuatku sanggup mengalihkan perhatian padanya.
Rangga pun ikut menatapku juga.
“Kamu mungkin gak akan bisa percaya aku lagi, tapi aku akan terus perhatian sama kau, karena menurutku itu satu-satunya cara menunjukkan rasa kasih sayang aku buat kamu yang pernah aku lukai.”
Kami larut dalam ucapan mesra bak penyair dan pasangannya yang sudah lama tidak bertemu. Lalu kemudian, tanpa disadari, sang penyair itu terlampau menyayat luka pada sang kekasih hingga berbekas dan tak bisa disembuhkan.
“Kamu sayang aku?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya mantap.
Tatapannya, seperti tak ada setitik kebohongan atau keraguan sama sekali. Berbeda denganku, tatapanku masih ragu walau hanya sekedar menatap penuh ke arahnya, memperhatikannya, layaknya ia memperhatikanku.
“Wahh!!! Akhirnya juara satu!” Sinta berseru cukup nyaring. Aku memandang ke arahnya.
Sementara Bram mengusap pelan pucuk kepala Sinta persis seperti yang biasa Rangga lakukan padaku.
“Ga, elus kepalaku,” titahku pada Rangga tiba-tiba.
“Kenapa?” tanya Rangga yang kemudian mengelus kepalaku seperti biasanya.
“Kenapa kamu selalu kayak gini ke aku?” tanyaku.
“Kamu gak tau ya? Ini tuh simbol perasaan sayang,” jawab Rangga.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
“Kalian pacaran ya?” tuduhku dengan jari yang mengarah pada kedua insan tersebut.
****
Aku melipat kedua tanganku di depan tubuh. Rangga duduk bersandar di sampingku. Sementara Bram dan Sinta duduk di atas lantai menghadap kami berdua seperti orang yang baru tertangkap basah sedang melakukan kejahatan.
“Sejak kapan?” tanyaku.
“Kemarin,” jawab Bram.
“Kok bisa?” tanyaku lagi.
“Aku yang nembak duluan, La,” jawab Sinta.
“Jadi, cowok yang kamu maksud itu Bram? Terus Rangga gimana?” tanyaku membuat Rangga menoleh ke arahku.
“Yee, Rangga mah beda, La. Apalagi sekarang, dia cuma temen buat aku,” jawab Sinta.
“Lagipula, aku juga suka sama Sinta, aku justru terkejut ketika ia mengatakannya padaku,” tambah Bram.
Sejujurnya aku terkejut, tapi maksudku bukan tidak merestui hubungan kedua, aku hanya terkejut.
“Kalian berdua diem-diem aja sih, tau-tau pacaran kan aku kaget,” protesku. “Kode-kodeannya kurang jelas.”
“Kamunya aja gak sadar,” komentar Rangga membuatku menyikut perutnya.
“Jadi nanti aku gak bisa maen bertiga dong? Nanti aku jadi obat nyamuk doang.”
“Lah! Bukannya kamu sama Rangga udah balikan?” tanya Sinta.
“Balikan apaan?!”
Sinta merogoh ponsel yang ada di saku celananya. Lalu memperlihatkan sesuatu padaku. Sebuah foto yang diambil diam-diam saat Rangga memelukku kemarin.
“Hah?!”
Sinta segera menarik kembali ponselnya, menjauh dari jangkauanku.
“Woy! Apa-apaan itu?” protesku.
“Aku dan Sinta terinspirasi oleh kalian berdua. Jika kalian berdua jadian, aku dan Sinta hanya menjadi obat nyamuk,” kata Bram.
“Eh, nggak gitu ya Bram, itu salah paham. Lagian kenapa sih kalian berdua iseng banget kayak admin akun julid di Instagram?”
“Ih bukan julid! Fakta, La, fakta.”
“Sinta! Hapus gak?”
“Nggak! Aku kirim grup ya, biar kalian berdua bisa save foto legendaris ini.”
“Woy! Sin, ngajak berantem ya!”
Dan perkelahian memperebutkan ponsel Sinta itu pun tak terelakkan.
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu