Selesai Ujian Tengah Semester, kini saatnya mengistirahatkan otak meski hanya dua minggu. Setidaknya dua minggu ke depan aku bisa tidur nyenyak dan malas-malasan di kosanku.
“Besok jadi kan ke apartemen Rangga?” tanya Sinta.
Aku melihat ke arahnya. Saat ini kami sedang berkumpul di taman yang terletak di belakang gedung fakultas.
“Ngapain?” tanyaku.
“Bukannya kemarin kita membahasnya. Barbekyu di apartemen Rangga,” jawab Bram.
Aku baru mendengar acara itu, kapan mereka membahasnya, aku tidak menyadarinya.
“Yee, kan kemarin malem di chat kamu oke oke aja,” kata Sinta.
Semalam memang grup chat kami berisik, dan aku hanya membalas iya saja tanpa melihat isi pesan mereka, karena aku terlalu sibuk mempelajari rumus aritmatika.
“Oh!”
“Lupa kan? Masih muda udah pelupa,” ledek Sinta.
“Jangan terlalu fokus pada materi ujian saja, La. Sesekali istirahat di sela-sela belajar,” ujar Bram.
Aku hanya tersenyum canggung.
“Oke deh. Jadi aku harus bawa apa aja nih?” tanyaku.
“Rangga bilang sih dia nyiapin semuanya, kita tinggal dateng aja,” jawab Sinta.
Tidak. Aku tidak percaya laki-laki itu, Rangga mana paham soal daging dan alat panggang beserta bumbu-bumbu lainnya. Lalu nanti apa yang akan ia siapkan.
“Aku harus ketemu anak itu, duluan ya,” kataku pamit.
“Memangnya kenapa. La?” tanya Bram.
“Kalian jangan percaya skill masak Rangga!” kataku sedikit berteriak lalu mencari laki-laki itu yang katanya sedang ada di fakultas.
Sudah sore begini, apa yang Rangga lakukan di fakultas sih?
“Maksud kamu apa bawa-bawa Nila pergi?”
Langkahku berhenti mendadak lalu bersembunyi di balik pintu masuk fakultas. Suara Kang Ikal yang menggema di fakultas yang sudah kosong itu membuatku urung menemui Rangga yang sebelumnya kulihat tengah duduk di kursi fakultas.
Kuintip Rangga ikut berdiri dan memandangi Kang Ikal dengan sengitnya.
“Maksudnya gue biarin Nila buat tidur sama lo?” tanya Rangga dingin.
Aku menunduk mendengarnya, telingaku semakin kupertajam.
“Iya!”
DEG!!!
Aku membeku mendengar ucapan Kang Ikal. Dadaku tiba-tiba saja nyeri begitu mendengarnya.
“Brengsek!”
“Kenapa artis kayak kamu selalu nempel-nempel sama Nila? Dia cuma cewek biasa. Apa yang jadi spesial dari Nila di mata idola kampus kayak kamu.”
Ini kali pertama aku mendengar Kang Ikal berbicara sesuatu yang terkesan merendahkan. Tidak seperti nada ramah yang biasa ia ucapkan di depanku.
“Harusnya aku bisa dapetin Nila dan ngancurin hidup kamu.”
Rangga menarik kerah baju Kang Ikal dengan kasarnya. Tatapan dinginnya itu kian membekukan sekeliling.
“Sekali lagi lo gangguin Nila, bukan cuma beasiswa dan jabatan BEM lo yang gue cabut, tapi juga lo gue usir dari kampus ini,” ujar Rangga lalu melepas genggamannya.
Aku semakin bersembunyi ketika Kang Ikal akan melewati pintu fakultas. Sementara aku membiarkan Kang Ikal dan hal-hal brengsek yang membuatnya terlihat rendahan di mataku, namun tidak kulupakan perasaan sakit dan kecewa atas sikapnya yang baru kuketahui hari ini.
Seseorang selalu memakai topeng untuk bisa menyesuaikan diri di lingkungannya, namun kadang mereka lupa melepaskannya ketika akan meminta sesuatu, hingga kesannya, mereka hanya seorang munafik bermuka dua.
Sepasang sepatu kini muncul di hadapan kaki-kakiku yang mungil. Wangi jeruk dan bunga mawar kini tercium lewat indra penciumanku. Aku masih menunduk, tak berani menatap sosok di hadapanku ini.
“Gak apa-apa, sekarang ada aku,” katanya.
Ia melingkarkan kedua tangannya lalu memelukku yang masih menunduk. Sekali lagi kunobatkan pelukannya sebagai tempat ternyaman untuk bersembunyi ketika aku sedang dirundung duka.
Aku menangis sesenggukkan, rasa sakit dan kecewa akibat kebodohanku sendiri melebihi perasaan benciku pada Kang Ikal.
****
“Tapi, apa gak apa-apa nih kita ke sini?” tanyaku sekali lagi memastikan pada Rangga.
“Kita kan cuma beli bahan-bahan buat besok, lagipula tempat ini banyak di datengin artis-artis kok, gak usah khawatir,” jawab Rangga mendorong troli kosong itu meninggalkanku.
Aku melemaskan bahuku, menyerah dengan keputusannya. Lalu kemudian aku mengikuti Rangga dan trolinya.
Super market besar yang berada di dalam sebuah super mal di Kota Bandung menjadi tempat pilihan Rangga membeli bahan-bahan makanan untuk besok. Kenapa aku sebut super mal? Karena selain luas, merk-merk yang di jual di tempat ini tidak tanggung-tanggung, bahkan harga parkirnya pun sepuluh ribu per jam, bagaimana tidak aku sebut super mal.
Saat kami berada di tempat sayur-sayuran, dengan cepatnya Rangga berjalan melewati deretan-deretan sayur yang tersimpan rapi, dan dengan cekatan aku menahan lengannya.
“Paprika, wortel, selada, tomat. Bawa semua,” kataku menyuruhnya.
“Kita cuma bakar daging, Ta,” ucap Rangga.
“Kita juga butuh salad dan teman-temannya, Ga,” kataku.
Dengan malas Rangga menyimpan sayur-sayuran yang kusebutkan tadi ke dalam troli.
“Paprika merah sama ijo, yang itu simpen aja,” kataku menyuruh Rangga mengembalikan paprika yang dipegangnya.
Di belakang tubuhnya, aku menahan tawa. Meski tinggi badan laki-laki itu sudah jauh di atasku, ditambah kini banyak penggemarnya, Rangga tetaplah Rangga yang benci sekali dengan sayur-sayuran.
Setelah selesai membeli bahan-bahan makanan, Rangga membawaku masuk ke dalam sebuah kafe untuk beristirahat sejenak.
“Chocolate Chip Cream satu sama Caramel Machiato satu,” kata Rangga ketika sedang memesan pesanan kami.
“Cinnamon Roll,” kataku riang melihat makanan yang sangat kusukai itu terpajang di depan etalase khusus untuk makanan pencuci mulut dan kukis.
“Tambah Cinnamon Roll dan Dark Chocolate Cake satu ya Mbak,” ucap Rangga.
Aku berdiri di sampingnya, membuka tasku dan mengambil dompet merahku.
“Berapa semua?” tanyaku.
“Gak usah, udah aku bayar,” kata Rangga.
“Aku bayar punyaku.”
“Gak perlu, selama ada aku, kamu gak perlu ngeluarin uang.”
Yang kubisa hanya memandangi Rangga memberikan kartu ATM-nya. Apapun yang terlihat kini, seperti tak pernah ada perubahan yang kentara dari sikap Rangga, semua tetap sama.
“Yahh, Cinnamon-nya abis.”
Perempuan dengan seragam putih abu-abu yang berada tak jauh dariku terlihat kecewa ketika salah seorang pegawai mengambil Cinnamon Roll terakhir sebagai pesanan kami.
“Waduh, Tasya beli yang lain aja ya,” ucap laki-laki yang memakai seragam yang sama mencoba menenangkan perempuan itu.
“Padahal Davi ngomongin itu dari tadi siang,” kata perempuan itu.
“Gak apa-apa kok. Kan kita bisa makan yang lain, Red Velvet Cheese juga boleh tuh,” kata laki-laki itu menunjuk ke arah Red Velvet Cake yang masih tersisa banyak.
“Anu,” kataku sedikit melangkah mendekati kedua anak SMA itu. “Kalau kalian mau, Cinnamon Roll-nya ambil aja,” kataku.
Kedua anak SMA itu saling bertatapan, lalu sang perempuan menggeleng pelan sambil mengibas-ngibaskan kedua tangannya.
“Gak apa-apa kok, Kak. Itu kan pesanan Kakak,” katanya.
“Nggak kok, gak apa-apa, ambil aja. Aku udah pesan yang lain,” kataku tidak kalah.
“Ada apa?” Rangga menghampiri kami.
“Cinnamon Roll-nya tinggal satu, mending kasih ke mereka aja, aku kan bisa makan kue punyamu,” kataku.
Kedua anak SMA itu saling bertatapan lagi ketika Rangga datang. Mungkin mereka sedikit kaget karena ada seorang artis muncul dihadapan mereka. Dimataku Rangga hanyalah seorang mantan.
“O-oh, kalau gitu makasih deh Kak. Makasih banyak,” kata perempuan itu sambil tersenyum manis.
Aku ikut membalas senyumannya.
“Yuk kita duduk, aku capek,” kata Rangga mengambil nampan berisi pesanan kami, dan ia tinggalkan Cinnamon Roll-nya.
Aku pun mengikuti langkah Rangga. Namun samar-samar aku mendengar kedua anak SMA tadi berbicara.
“Kayak Rangga yang main film itu ya? Yang pernah cover lagu Pergilah Kasih, ya Dav.”
“Emang itu Rangga, Tasya. Udah yuk jangan gangguin orang pacaran, kita juga lagi pacaran.”
Anak jaman sekarang kalau pacaran gak nanggung-nanggung di coffe shop yang lumayan mahal seperti ini. Jamanku dulu sih masih jajan ketoprak di pinggir jalan, bareng si mantan.
“Ada apa?” tanya Rangga.
Aku yang masih berkutat dengan isi kepalaku pun memandangi Rangga.
“Waktu kita SMA, jajan kita di pinggir jalan ya,” kataku.
“Makan ketoprak Pak Haji?”
“Sama Es Jeruk Kelapa, duh jadi kangen sama Pak Maman. Padahal si Pak Maman belum haji, tapi ketopraknya disebut Pak Haji ya.”
“Karena itu doa dia, harusnya kamu aminin.”
“Aamiinnnn.”
“Emangnya kenapa nanya itu?”
“Anak jaman sekarang dikasih uang berapa ratus ribu sih? Perasaan dulu kita gak pernah tuh nongkrong-nongkrong di tempat kayak gini.”
“Namanya juga beda generasi, kamu jangan keliatan kayak nenek-nenek puluhan tahun deh.”
“Yee, malah ngeledek.”
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu