Suara musik yang menggema keras, penerangan yang remang-remang, bau asap rokok, dan yang paling menggangguku, bau alkohol yang sangat menyengat. Selamat datang di nerakamu, Nila.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Kang Ikal dengan nada sekencang mungkin.
Aku mengangguk canggung. Orang-orang dengan pakaian minim sedang berdansa di lantai bawah. Mengikuti alunan suara DJ yang aku sendiri tidak tahu memainkan lagu apa. Semua yang kudengar hanya suara tidak jelas yang membuat kepalaku ikut merasakan pusing.
Sejak tadi aku hanya duduk di sebuah sofa berbentuk setengah lingkaran dan ditemani air putih dingin yang kini sudah tidak sedingin sebelumnya. Di samping kiriku, ada Kang Ikal yang sedang menyesap rokoknya dan meminum sesuatu berwarna yang bau alkoholnya cukup membuatku sakit kepala.
Lalu di samping kananku, ada seorang perempuan yang baru kuketahui jika ia teman sekelas Kang Ikal. Menggunakan mini dress berwarna hitam yang kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Sebenarnya ini pesta ulang tahun atau berusaha membuatku mati muda sih?
Berulang kali aku terbatuk karena asap rokok di mana-mana, ditambah aku yang tidak pernah bisa berdamai dengan bau alkohol. Rasanya kepalaku semakin berat seiring lagu-lagu yang dimainkan DJ di atas panggung.
Tak berapa lama, DJ tadi memainkan lagu yang lebih enak di dengar. Orang-orang yang tadi menari seperti kuda balapan itu perlahan menggerakkan tubuh mereka dengan lembut dan damai.
“Kamu gak mau minum?” tanya Kang Ikal menyodorkan segelas minuman beralkohol dengan warna-warna yang cantik itu.
Baunya benar-benar menyengat ketika minuman itu berada tak jauh dari indra penciumanku.
“Gak apa-apa, Kang. Belum haus,” elakku. Seumur hidup aku tak pernah mau minum minuman semacam itu, bisa mati nanti.
Aku menutup sebelah mataku sambil menahan sakit di kepala. Tanganku sengaja menekan daerah keningku agar sakitnya sedikit mereda.
Kang Ikal menyimpan minuman tersebut dan meraih tanganku.
“Kamu mau minum yang anget? Akang ambilin ya, sebentar.”
Aku mencoba menahan Kang Ikal agar lebih baik memulangkanku saja. Pesta semacam ini memang tidak cocok denganku yang cupu dan hobi ketenangan. Apalagi bau alkohol selalu membuatku pusing bahkan pingsan jika aku menghirupnya terlalu lama seperti sekarang.
Mataku mulai tidak fokus, pandanganku semakin kabur dan hanya bayangan tidak jelas ketika aku melihat ke arah Kang Ikal yang kembali dari meja bar. Walaupun aku mulai tidak fokus, setidaknya kini Kang Ikal mulai duduk di sampingku.
“Kang, maaf. Tapi aku pulang aja deh,” kataku tepat sebelum kesadaranku menghilang sepenuhnya.
Tubuhku ambruk di tubuh Kang Ikal. Sebelum benar-benar hilang kesadaran, yang kurasa hanya suara alunan musik yang lembut dan rengkuhan hangat dari lengan Kang Ikal yang melingkar di tubuhku.
Aku benar-benar benci bau alkohol, namun yang paling kubenci adalah perasaanku yang menyukai Kang Ikal karena menganggap ia begitu sempurna. Kupikir standar orang berbeda-beda satu sama lain, tapi bagiku, aku tidak bisa mentolerir hal semacam ini, termasuk kebiasaan Kang Ikal, rasanya ia tidak sempurna lagi di mataku, sama sekali musnah.
****
Bias matahari yang mengganggu tidur nyenyakku membuat kedua mata yang berat ini membuka perlahan. Jendela besar yang terhalang gorden membuat keningku mengkerut. Suasana kamar yang jelas bukan kamarku namun terasa familiar itu membuatku menebak-nebak sekarang aku ada dimana. Selimut tebal berwarna hitam ini masih menyelimuti tubuhku, ranjang besar nan empuk ini rasanya tak asing, ditambah bau khas pemiliknya.
Setelah berkutat dengan kepala yang masih kosong, aku memandangi langit-langit kamar dan lampu yang menggantung di tengahnya. Suasana monokrom cukup kentara di ruangan ini. Aku terperanjat dan segera bangkit lalu melihat sekeliling kamar ketika otakku mulai bekerja dengan semestinya.
Pintu yang tertutup perlahan membuka. Seorang laki-laki berperawakan tinggi sedang memakai apron putih dan spatula di tangan yang lainnya, kini mulai menatapku.
“Udah bangun? Mandi dulu gih, aku udah siapin sarapan. Kalau kamu butuh baju ganti, ada baju baru di lemariku, pakai aja,” kata Rangga yang lalu menutup pintu dan meninggalkanku yang terpaku menatap pintu yang kembali tertutup rapat itu.
Bagian mana yang sebenarnya adalah mimpiku?
****
Rangga menikmati omelet yang ia buat, sementara sejak tadi aku hanya menatapnya. Kaos hitam miliknya menjadi pakaianku kini. Karena tubuhnya yang tinggi itu, kaos ini bahkan menutupi lututku juga. Aku seperti anak kecil yang mencoba pakaian orang tuanya.
“Di makan, Ta,” katanya membuyarkan lamunanku.
“Hah? Apa?” tanyaku.
“Makan, udah dingin tuh,” katanya.
“Oh.”
Rangga menyimpan garpunya lalu mengambil garpu yang kupegang dan menunsukkan sepotong omelet. Ia menyerahkan garpu tadi padaku.
“Makan ya.”
Aku hanya memandangi Rangga. Jika pagi ini aku tidak berakhir di kamarnya, mungkin peristiwa menyeramkan akan menghancurkan hidupku selamanya. Kali ini, untuk pertama kalinya aku bersyukur Rangga muncul kembali di kehidupanku, dan melindungiku dengan caranya.
Pandanganku kembali buram, bukan karena efek alkohol, namun perasaan takut dan cemas yang akhirnya muncul dan membuat air mataku menumpuk.
“Kamu kenapa? Masih sakit?” tanya Rangga penuh kekhawatiran. Ia berdiri dan sedikit membungkuk di sampingku.
Aku tak menjawab, rasa sakit yang kurasakan bukan lagi muncul dari kepalaku, melainkan dari hatiku yang sedang kecewa.
Kedua tanganku memeluk Rangga, memaksanya untuk menjadi tempat aku bersembunyi dari semesta ketika aku tengah bersedih seperti sekarang. Rangga menepuk pundakku pelan, membalas pelukanku sambil berbisik, ‘Kamu udah baik-baik aja sama aku.’
Hal yang cukup menyedihkan ketika kau hampir saja terluka oleh orang yang kau anggap malaikat pelindung. Sayangnya kau selalu keliru, manusia tidak sesempurna para malaikat. Dan tahu apa yang paling menyedihkan? Ketika orang yang paling kau benci menjadi tempat ternyamanmu untuk bersembunyi dari alam semesta.
Setelah rasa sakit itu reda, aku kembali menyantap sarapan yang dibuat Rangga. Rasanya cukup enak karena sejak dulu yang bisa dibuatnya hanyalah omelet, skill memasaknya tidak berkembang sama sekali.
“Nanti kamu minum obat ini ya, satu jam selanjutnya aku bikinin susu hangat atau teh hangat. Kita makan siang di luar sebelum kamu pulang,” kata Rangga yang tengah sibuk di dapurnya.
“Rangga,” kataku lirih. Hidungku tersumbat sehingga suaraku seperti orang yang sedang flu.
“Kenapa?” tanyanya lembut.
“Kemarin kenapa kamu tau aku di sana?” tanyaku.
Rangga menghembuskan nafas. Menaruh segelas air dan obat-obatan di sampingku.
“Aku baru selesai siaran radio deket situ, beberapa orang yang ikut acara pesta ngasih tau aku kalau kamu ada di tempat yang paling kamu benci. Kamu pasti kesulitan ya kemarin?” katanya sambil membelai wajahku.
Tangannya yang hangat membuatku merasa nyaman dan dilindungi.
“Kamu juga tau kebiasaan Kang Ikal?” tanyaku.
“Aku bilang beberapa orang ngasih tau aku, aku juga berusaha buat ngasih tau kamu, dan memang sulit.”
“Maaf aku keras kepala.”
“Perempuan mana yang masih setia ketika hatinya sempat dipatahkan oleh seorang laki-laki.”
Kepalaku sedikit terangkat dan menatap Rangga lekat-lekat.
“Yang penting aku bisa jagain kamu, Ta. Walaupun kamu gak percaya sama aku.”
Rangga kembali membawaku bernostalgia pada momen putih abu-abu kami. Kalimat yang sama sempat ia lontarkan dulu, walaupun aku hanya menganggap omong kosong remaja yang sedang dimabuk asmara. Tapi kini, kalimatnya itu seperti janji untuk menjagaku selamanya.
Aku kembali memeluknya, memeluk laki-laki yang meninggalkanku, mematahkan hatiku, juga melindungiku. Dinding-dinding yang sempat membatasi hatiku dengannya mulai retak dan runtuh secara perlahan.
Tak akan kutemukan laki-laki sehebat Rangga. Dan tak akan pula kutemukan korelasi yang tepat mengenai sikap lembutnya dan alasan ia pernah meninggalkanku. Seandainya aku tahu alasannya, dinding-dinding itu akan runtuh secepat yang ia bisa.
Mungkin ini jawaban atas kebingunganku selama ini. Mungkin, aku kesal pada diriku sendiri karena terus saja mengingkari perasaanku yang masih tetap sama padanya. Mungkin kemarin aku frustasi karena tak bisa mencari tahu alasan Rangga pergi meninggalkanku. Sebab, baik dulu maupun sekarang, yang kutahu ia adalah laki-laki terbaik yang hanya kutemukan sekali dalam rentan hidupku di dunia.
“Ngomong-ngomong, orang-orang yang kamu maksud itu siapa sih?” tanyaku.
“Orang-orang di kampus, mereka selalu manggil aku jeger,” jawab Rangga.
“Je-jeger?”
“Iya, jeger. Setiap aku lewat mereka, mereka manggil gitu ke aku. Aku sih cuek aja, gak peduli.”
“Ga, kamu tau gak arti jeger itu apa?”
“Apa?”
“Preman, orang yang berkuasa di suatu wilayah. Sejak kapan kamu jadi preman Ga?”
“Preman? Kok aku disebut preman? Aku gak per—“
“Kenapa diem?”
“Waktu ospek, aku sempet ribut sama ketua komisi disiplin.”
“HAH?!”
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu