“Lo tuh kenapa sih?” tanyaku begitu kami berada cukup jauh dari Kang Ikal.
“Nila! Kamu bebas temenan sama siapa aja, tapi bukan sama dia,” kata Rangga.
Aku tidak habis pikir. Ucapan Rangga barusan membuatku kebingungan.
“Kenapa lo repot-repot ngurusin gue? Lo punya Noni, dan tugas lo ya urusin pacar lo itu, bukan gue.”
“Pokoknya aku gak suka kamu deket-deket dia. Dia itu laki-laki kurang ajar, Nila.”
Aku menghembuskan napas kasar.
“Gue heran sama lo. Lo selalu jelek-jelekin Kang Ikal, padahal lo sendiri pernah nyakitin gue. Kenapa sih gue ngerasa lo ga ngebiarin orang-orang buat bahagiain gue? Kenapa sih, seolah-olah lo cuma berusaha buat gue terluka dan gak bahagia?”
Rangga terdiam. Sementara aku tak habis pikir dengan laki-laki dihadapanku kini. Bertingkah berbeda dan membuatku menganggap Rangga memang berubah, tak lagi Rangga yang kukenali seperti dulu.
“Mending lo urusin Noni, dia gak suka kita deket-deket kayak gini. Aku jadi di cap cewek ganjen yang godain pacar orang.”
Aku melangkah pergi meninggalkan Rangga. Dan setitik perasaan nyeri yang lagi-lagi menyerang hatiku. Kemunculan Rangga sesekali membuatku bernostalgia, dulu kami begitu dekat tanpa jarak, kini kami seperti siang dan malam yang selalu terhalangi oleh garis jingga bernama senja. Miris memang, bahkan aku sendiri pun terkadang tak pernah percaya jika Rangga pernah ada dalam memori lawasku yang menyenangkan.
****
“Sendiri melulu. Kamu ada masalah?”
Bram tiba-tiba muncul dan duduk di hadapanku. Aku yang tengah mengocek-ngocek jus jambu pun terkejut karena kehadirannya.
“Bram!” sahutku.
“Aku kira kamu bersama Sinta,” kata Bram.
“Dia gak jadi ke kampus katanya, tiba-tiba badannya gak enak,” kataku.
Tak berapa lama, seseorang datang menghampiri meja kami dan menyajikan setumpuk nasi goreng di hadapan Bram.
“Nila tidak makan?” tanya Bram lagi.
“Lagi gak nafsu. Makan aja gih gak apa-apa.”
“Kalau Nila mau, bilang ya. Aku yang traktir.”
Aku hanya bisa tersenyum menanggapi. Bram lalu menyantap nasi gorengnya, sementara aku, dengan raga dan pikiran yang tidak sinkron, memandangi pedagang nasi goreng yang sedang memasak nasi goreng. Wangi khasnya tak membuatku ingin menyantapnya, atau wangi ayam sedang dibakar, atau wangi sambal khasnya.
“Ada masalah apalagi sama Rangga?” tanya Bram yang membuatku memandang laki-laki itu kini.
“Hm?”
“Kamu sama Rangga, kalian ribut karena apa lagi?”
Aku tak menjawab. Pertanyaan Bram memang tepat sasaran, tapi mengenai hal yang kita permasalahkan, itu terlalu ambigu untuk diungkapkan lewat kata-kata.
Menurutku, bukan sekedar Rangga yang selalu muncul dan menggangguku, tapi hal lain yang aku sendiri tidak tahu apa sehingga setiap aku bersama Rangga, kami tak bisa akur dalam durasi yang cukup lama.
“Gara-gara Rangga putus dengan Noni?”
“Apa? Putus?”
Keningku berkerut mendengar ucapan Bram.
“Nila tidak diberitahu ya, kemarin Rangga putus dengan Noni. Dia cerita padaku.”
“Tapi mereka baru seminggu pacaran?”
“Soal itu aku pun tidak tahu.”
“Anak itu kenapa sih? Sinting ya! Anak orang dimainin!”
“Kalau begitu, coba Nila yang ikat Rangga kuat-kuat agar laki-laki itu punya rumah untuk ia pulang.”
“Maksud kamu? Aku balikan sama dia? Kamu tau kan siapa yang ninggalin duluan dan siapa yang hatinya patah duluan?”
Bram hanya menghela napas. Aku bukanlah tipe yang keras kepala, tapi pengecualian untuk yang satu itu.
“Yang jelas, aku selalu berdoa yang terbaik untuk kalian berdua. Jangan sama-sama melukai diri sendiri, kalian bisa saling menyembuhkan satu sama lain kok.”
Aku tidak percaya jika sebenarnya Bram ini anak ekonomi, setiap kata yang ia ucapkan justru terdengar seperti hikayat lama.
Suara notifikasi ponselku berbunyi. Di layarnya terdapat nama Kang Ikal dan pesan yang ia kirim padaku.
“Bram, kayaknya aku duluan deh. Aku mau ketemu Kang Ikal, katanya ada acara ulang tahun temennya gitu. Dia ngajak aku,” kataku riang.
“Oh, baiklah. Sampai bertemu di kelas, La.”
“Yo! Bye!”
****
Setelah bertemu dengan Kang Ikal untuk membicarakan ulang tahun temannya lusa nanti, aku berjalan menuju gedung fakultas. Tepat ketika aku hampir berbelok, aku tak sengaja mendengar percakapan Noni dan teman-temannya mengenai Rangga.
Padahal, aku bisa saja pura-pura tidak mendengar dan berjalan melewati mereka, tapi tidak kulakukan. Sebagai perempuan normal, insting kepoku ini bekerja dengan begitu baik. Tak ada salahnya bukan mendengar cerita Noni dan hubungan singkatnya dengan si kampret itu.
“Gimana gak kesel, setiap aku pingin gandeng tangan Rangga, dia dengan kasarnya nepis tangan aku. Pokoknya dia jauh dari kata romantis deh. Apalagi kalau aku udah chat dia, gak akan pernah di bales sebelum aku telepon dia berkali-kali. Jangan-jangan dia fobia disentuh ya,” ujar Noni panjang lebar.
Aku yang sedari tadi hanya menguping pembicaraan Noni dan tengah memeluk map merahku, entah kenapa semakin kueratkan pegangan padanya. Nyatanya, yang kurasa, Rangga selalu menyentuh kepalaku atau menggandeng tanganku dengan hangat dan selembut mungkin. Dari dulu hingga sekarang.
Setiap yang kulihat dan kudengar tentang Rangga dari orang lain, justru tidak sesuai dengan apa yang kurasakan selama ini. Meski pun ia meninggalkanku, tapi tidak berarti ia laki-laki tak tersentuh seperti yang dikatakan Noni.
Atau, mungkin itu hanya akal-akalan Rangga agar bisa mempermainkan Noni?
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu