Sup yang sudah kuhangatkan kembali akhirnya kusuguhkan kepada kedua tamu yang katanya ingin menjenguk Rangga. Ya. Tadinya Bram dan Sinta berniat menengok keadaan Rangga dan bertanya tentang keberadaanku yang ikut menghilang bersamanya. Setelah Bram mendapatkan nomor apartemen Rangga, tanpa sepengetahuanku, Bram dan Sinta muncul tanpa sempat membuatku bersembunyi.
Rangga yang duduk di atas sofa panjang hitamnya menyeruput kuah sup yang masih beruap. Ia menyendoki sup yang kubuat dengan lahapnya. Sementara Bram dan Sinta yang ada di sisiku dan Rangga terus saja memandangi kami berdua dengan pandangan penuh curiga.
“Sejak kapan kalian berdua pacaran?”
Sinta mulai membuka suara. Aku segera menggeleng cepat padanya.
“Kita gak pacaran kok,” jawabku.
Salah satu tangan Sinta menyentuh dagunya. Matanya masih menyipit melihat ke arahku dan Rangga secara bergantian. Aku semakin tidak enak padanya, seperti sudah menusuk Sinta dari belakang. Rasanya itu yang terjadi di pikiranku.
“Kok kamu tau Rangga sakit, La? Sampe bolos kelas segala?”
Aku mengarahkan mataku ke sembarang arah. Berpikir untuk menjawab pertanyaan Sinta agar terkesan masuk akal dan tidak membuatnya semakin curiga pada kami.
“Itu….”
“Kami dulu pacaran, dan sekarang lagi PDKT lagi.”
Sendok yang dipegang Sinta terlepas dari tangannya lalu jatuh di atas meja berlapis kayu jati berwarna putih hingga menimbulkan suara nyaring. Dan Bram kembali melongo memandangi Rangga seakan tidak percaya dengan ucapannya.
“Sejak kapan?” tanya Sinta heboh.
“SMA. Kita dulu pacaran, sekarang lagi PDKT.”
Aku yang sejak tadi tidak percaya dengan ucapan Rangga akhirnya membuka suara. Fakta yang selalu ingin kukubur dalam-dalam dan tidak membuat banyak orang mengetahuinya akhirnya gagal juga.
Aku menyenggol lengan Rangga yang ada di sampingku hingga ia sedikit mengaduh lalu mengusap lengan yang menjadi korban kekesalanku.
“Denger! Sebenarnya aku sama Rangga itu pernah pacaran dan sekarang kita gak lagi PDKT, oke?”
“Jadi hubungan kalian berdua apa?” tanya Bram.
“Kita cuma—“
Rangga memotong ucapanku.
“Mantan yang kebetulan ketemu di Bandung dan berusaha buat menjalin hubungan kembali.”
“Hei!!! Bisa gak sih kamu berhenti omong kosong?!” protesku. “Kita berdua itu mantan yang selamanya akan jadi mantan, oke!”
Detik selanjutnya, Bram dan Sinta tertawa terbahak-bahak karena omelanku pada Rangga.
“Aduh, La. Dari awal aku tuh udah curiga tau gak? Kok kamu sama Rangga lengket banget gitu, padahal kalian baru kenalan.” Sinta masih tertawa di sela-sela kalimatnya. Ia menyeka sedikit air matanya yang keluar karena terlalu berlebihan tertawa.
“Dan Rangga terlihat jelas jika sedang berada di dekat Nila. Menjadi lebih hangat dari sebelumnya.” Bram menambahkan.
Hawa panas kembali menguar di sekitar wajahku.
Kulihat Rangga tersenyum manis. Ia memperhatikan teman-temannya yang terlalu heboh karena pernyataan mengejutkan dariku. Sebuah rasa hangat menjalar di relung hatiku ketika laki-laki ini terlihat lemah dan kesepian, kini berganti dengan rasa hangat dan kebahagiaan yang baru kulihat lagi dari sosoknya. Sosok pribadi Rangga yang selalu ia tunjukkan padaku sejak dulu.
****
Beberapa hari kemudian, Rangga sudah pulih dari sakitnya dan memulai kembali kuliahnya. Tak ada lagi yang kututup-tutupi kepada Bram dan Sinta perihal hubunganku dengan Rangga dulu. Mereka berdua mengerti alasan dibalik sikap menyebalkan Rangga padaku dan bagaimana keras kepalanya aku menolak setiap bujuk rayunya.
Aku melangkah menuju kantin belakang untuk makan siang sembari menunggu Sinta dan Bram yang sedang mendaftar UKM Jurnalis. Kantin di dalam kampus terbilang cukup luas, seperti area foodcourt yang biasa ditemui di setiap mal-mal di lantai teratasnya. Jajaran meja yang menyatu dengan kursi panjang di kedua sisinya itu berjejer rapi di tengah-tengah area. Sementara di sisi-sisinya berbaris gerobak penjual makanan beraneka ragam.
“La!”
Suara asing terdengar di telingaku dan seperti memanggil namaku. Pandanganku menelusuri seisi kantin belakang yang masih ada beberapa mahasiswa yang menikmati santap siangnya. Lalu perempuan yang kuingat karena selalu paling menonjol di antara teman-temannya itu berjalan ke arahku.
Namanya Noni, dia perempuan yang menyukai Rangga garis keras. Kenapa kusebut demikian? Sebab setiap aku mendengar Noni berbincang dengan teman-teman perempuannya, ia selalu tahu perkembangan karier Rangga hingga riwayat hidup Rangga bertahun-tahun lalu. Beruntungnya perempuan dengan suara melengking ini tidak menemukan deretan mantan-mantan Rangga yang kutakutkan salah satunya tertera namaku.
“Noni,” seruku.
“Kamu sama Rangga sebenarnya ada hubungan apa sih? Kok kamu nempel-nempel terus sama dia?”
What the hell?! Siapa juga yang nempel pada si mantan kampret itu. Yang ada, dia sendiri yang cari perhatian di hadapanku.
“Aku gak pernah ya genit di depan Rangga,” kataku membela diri. Tentu saja, aku tidak terima disebut seperti itu.
“Kalau kamu suka dia yang fair dong! Kamu juga tahu kan penggemarnya Rangga di kampus tuh banyak, jangan mengekang dia sendiri.”
Ucapan Noni seperti tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Ingin rasanya aku berteriak di depan Noni dan mengatakan bahwa Rangga itu hanya mantan yang paling aku benci di dunia ini, dan aku jamin Rangga tidak sebaik yang kamu pikir. Tapi aku mengurungkan niatanku itu.
“Denger ya, Non! Percaya atau nggak itu urusanmu. Aku gak suka Rangga, dan Rangga sendiri yang selalu nempel-nempel sama aku kayak permen karet yang udah dikunyah.”
Kulihat Noni sepertinya terganggu dengan perumpamaanku itu.
“Kalau kamu mau sama dia, usaha dong! Buat Rangga jauh-jauh dari aku, aku juga keganggu dia deket-deket aku terus!”
“Nila!!!” Nada bicara Noni sedikit menyentakku.
Lalu dari arah belakang Noni, Kang Ikal datang menghampiri perseteruan kami berdua.
“Ada apa ya ini?” tanya Kang Ikla menengahi kami.
Noni yang sebelumnya hendak berbicara pun kembali mengurungkan niatnya lalu melenggang pergi meninggalkanku dan Kang Ikal. Perasaanku masih kesal padanya, juga pada Rangga yang menjadi sumber keributan tidak jelas dari kami berdua. Lagipula orang seperti Noni tidak mungkin percaya jika aku dan Rangga dulu pacaran, bisa-bisa aku di bilang orang banyak menghayal olehnya.
“Ada apa lagi sama dia?”
Pertanyaan Kang Ikal membuatku kembali pada kenyataan. Di hadapanku kini ada Kang Ikal, secara tidak langsung Kang Ikal membantuku.
“Gak tau, Kang. Gak jelas,”
“Soal Rangga?”
Aku menampilkan ekspresi terkejut saat Kang Ikal menyebut nama Rangga, tebakannya benar sekali.
“Noni itu setiap orang yang ngomongin Rangga sikapnya jadi begitu. Kayaknya dia terlalu suka sama Rangga.”
Menurutku Noni lebih mirip perempuan yang terlalu terobsesi pada Rangga.
“Gitulah Kang, tiba-tiba ngamuk gak jelas. Lagian kenapa juga dia nanyain Rangga ke aku, aku kan gak ada hubungannya sama dia.”
“Gitu ya? Akang juga sebenarnya pingin tau sebenarnya Nila ada hubungan ya sama Rangga? Kalian keliatannya deket banget.”
Ada sebuah rasa tak terdefinisikan ketika Kang Ikal terus saja bertanya soal Rangga. Kejadian di perpustakaan beberapa hari lalu membuatku sedikit takut jika Kang Ikal mencurigai hubunganku dengan Rangga. Bisa-bisa aku gagal PDKT dengannya.
Untuk itu, aku mengajak Kang Ikal untuk makan siang bareng dan menjelaskan semua hal padanya.
“Rangga mungkin orangnya sedikit aneh. Sinta cerita sama aku kalau Rangga itu playboy Kang. Dia suka mainin cewek, mungkin dia sok-sok-an deketin aku biar banyak korbannya,” kataku mengarang hampir keseluruhan cerita dan membuat Rangga terlihat buruk di mata Kang Ikal.
“Hahaha…. Kok Sinta lebih tau sih?” tanya Kang Ikal.
“Iyalah, dia kan fans Rangga juga. Aku tau sifat Rangga kan dari dia semua, gimana coba kalau aku gak tau Rangga itu orang jahat? Aku bisa jadi korban selanjutnya.”
Kang Ikal kembali tertawa, tawa khasnya yang membuatku juga menjadi ikut tertawa walaupun tidak selucu itu.
“Tapi sih emang banyak ya berita soal pergaulan artis-artis. Rata-rata mereka gak bener tuh.”
Aku mengangguk menyetujui ucapan Kang Ikal. Walaupun maksudku hanya setuju soal Rangga semata.
“Hati-hati ajalah sama orang yang gak begitu kita kenal. Kita gak tau sifat dia yang sebenarnya kayak apa kan?”
Kali ini ucapan Kang Ikal membuatku mengingat kejadian tempo lalu saat Rangga perhatian padaku dan semua barang-barang pemberianku yang masih tersimpan rapi di lemarinya. Padahal dulu Rangga begitu hangat dan baik padaku, kini ada alasan yang membuatnya seolah menjadi laki-laki jahat, tapi apa alasan Rangga sebenarnya? Aku semakin gundah ketika memikirkan dua kepribadian Rangga yang saling bertolak belakang itu.
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu