Bram tengah mengatur kabel-kabel untuk presentasi kami. Satu per satu teman-teman sekelas kami masuk dan duduk di bangku yang masih kosong. Dosen yang biasa mengajar mata kuliah Ekonomi Makro pun sudah duduk di kursi putar yang sengaja Bram simpan di sudut ruangan, agar dosen tersebut tidak terganggu oleh presentasi kami.
Layar laptop Bram kini sudah terlihat di papan tulis berbahan kaca. Aku menelusuri setiap orang-orang yang melewati pintu, namun orang yang kumaksud tak juga aku temukan. Rangga yang biasanya datang tepat waktu, kali ini ia tidak muncul bahkan ketika dosen sudah meminta kami memulai presentasi kami.
Kemarin malam, Rangga masih muncul di ruang obrolan kami berempat. Ia pun masih menanggapi beberapa hal, bahkan hal yang tidak penting sekali pun. Tapi sejak tadi pagi Rangga mulai menghilang. Kemana dia?
“Assalamu’alaikum.”
Bram memberi salam melalui mikrofon yang ia pegang. Aku masih menatap pintu yang hampir tertutup sepenuhnya. Lalu, perawakan tinggi sempurna dengan menenteng ransel abu-abu berjalan melalui ambang pintu lalu duduk di sampingku yang sedang berada di depan kelas.
Wajahnya penuh keringat, dan samar-samar matanya sedikit memerah pun wajahnya lebih pucat dari biasanya. Aku melihat ke arah Bram dan Sinta yang sepertinya terlihat lega karena Rangga akhirnya muncul juga. Nafasnya sedikit tersenggal-senggal juga tak beraturan itu terasa ganjil di telingaku.
****
Begitu kelas berakhir, Bram merapikan laptop dan kabel-kabel yang menghubunginya dengan dibantu oleh Sinta. Sementara itu aku merapikan kertas-kertas yang sudah kami corat-coret saat menjawab beberapa pertanyaan, dan Rangga yang terlihat lemah meski sikapnya seolah-olah baik-baik saja. Ia bahkan menjawab baik-baik saja ketika beberapa teman sekelas kami bertanya perihal keterlambatannya tadi. Perempuan-perempuan yang selalu menjadi penggemar Rangga pun menampilkan ekspresi dan tingkah laku seolah-olah mereka kuatir ketika Rangga hampir telat masuk kelas.
Aku menghampiri Rangga yang masih mengemas buku-bukunya ke dalam ransel abu-abu. Ia masih duduk di bangku dengan wajah yang sedikit menunduk. Peluh di sekitar wajahnya masih belum juga menghilang, padahal ruang kelas tidak sepanas itu.
Punggung tanganku menyentuh keningnya yang berkeringat. Rasa panas seperti menjalar juga ke punggung tanganku. Rangga melihat ke arahku dengan ekspresi terkejut, sementara aku melihatnya dengan rasa kesal.
“Lo sakit,” kataku sedikit pelan.
“Nggak,” jawabnya.
“Itu bukan pertanyaan.”
Aku menarik lengan Rangga agar berdiri, ia sedikit terhuyung saat berdiri dan aku menahan lengannya agar tubuhnya tidak benar-benar jatuh ke lantai.
“Kita pulang.”
“Kita masih ada kelas nanti sore.”
“Kamu sakit Rangga!” Aku sedikit meninggikan suaraku, memanggilnya seperti aku memanggil orang lain.
Aku mengenal Rangga cukup lama, ketika ia sakit atau sedang ada masalah, aku tak akan diberitahu kecuali jika aku mencaritahunya sendiri. Ia selalu menutupi semua yang membuatnya lemah dan seolah-olah semua baik-baik saja, lalu berdalih agar aku tidak merasa kuatir padanya. Justru dengan menutupinya, Rangga semakin membuatku merasa kuatir lebih dan lebih. Sama seperti keadaannya kini.
****
Rangga duduk di kursi penumpang, kini aku yang membawa mobil hitamnya. Rangga yang sedang sakit seperti ini harus selalu dijaga, sebab ia tak pernah mau meminta bantuan orang lain dan memilih merasakannya sendiri. Dan itu adalah hal fatal ketika suhu tubuhnya sepanas ini.
“Jangan salah paham, aku cuma gak suka liat kamu sakit sendirian.”
Kali ini saja, kali ini egoku sengaja aku singkirkan dulu. Ada hal lain yang menggerakanku untuk membantunya. Kutebak tidak ada seorang pun yang tahu tentang watak laki-laki ini di sini. Rangga sendiri yang mengatakan jika ia sendirian di Kota Bandung.
Sepertinya Rangga sedikit meracau akibat suhu tubuh yang terlalu panas, hingga aku mendengar Rangga bergumam lemah.
“Aku juga gak mau, kamu liat aku sakit.”
Lalu kuabaikan ucapannya dan terus mengendarai mobil Rangga menuju apartemennya.
Setelah kami sampai, aku segera menggenggam tangan Rangga yang terlihat semakin lemas itu. Bergegas masuk ke dalam lift dan menekan nomor sebelas diantara deret-deret angka yang ada di sisi lift tersebut.
Pintu bernomor 1105 adalah nomor apartemen Rangga. Kunci dengan nomor-nomor yang berjajar di sisi pintu membuatku kebingungan.
“Nomor PIN-nya berapa, Ga?” tanyaku.
“2904”
Nomor acak yang sebenarnya mengandung arti tertentu. Dua puluh sembilan April, hari ulangtahunku. Atau mungkin itu hanya kebetulan saja.
Aku menekan angka-angka tersebut dan suara pip menandakan pintu sudah terbuka. Kemudian kami masuk, aku terburu-buru membawa Rangga masuk ke dalam kamarnya dan membaringkannya di atas kasur. Membuka sepatumya dan menyimpan ranselnya di samping kaki ranjang. Aku segera pergi ke arah dapur. Mengambil beberapa buah es batu di dalam kulkas ke dalam sebuah wadah berwarna putih dan mengacak-acak lemari baju Rangga untuk mengambil handuk kecil.
Rangga yang terlihat lemah itu tak menjawab apapun yang kulakukan padanya. Ia diam dengan mata yang sesekali terbuka lalu tertutup. Handuk yang terisi beberapa balok es kecil sudah mendarat di keningnya.
“Biar aku aja.”
Rangga mencoba mengambil kompresan yang sedang kupegang, namun aku menginterupsinya.
“Biar aku aja, kamu diem. Pasti pusing kan.”
Rangga menuruti ucapanku. Ia diam dan kali ini matanya benar-benar tertutup rapat dalam waktu yang lama. Aku yang duduk di sisinya memandangi setiap penjuru kamar Rangga. Seperti dugaanku, warna hitam dan putih mendominasi ruangan minimalis ini. Ada sebuah gitar klasik menggantung di dinding, juga foto keluarga Rangga di bagian dinding lainnya.
Aku kembali memandangi wajah Rangga yang terlihat kesakitan. Lalu menghela nafas pelan.
“Kamu udah makan?” tanyaku.
Sepertinya Rangga tidak benar-benar terlelap tidur. Ia menggeleng lemah. Bahkan ia melewatkan sarapan meski pun badannya sedang demam. Harusnya Rangga tidak perlu masuk kuliah.
“Harusnya kamu gak usah masuk kelas. Kan bisa ijin,” kataku menggerak-gerakkan kompresan yang sejak tadi kupegang.
“Aku gak mau kamu nanti kesusahan.”
“Susah apanya, cuma presentasi.”
“Tetep aja nanti kamu susah.”
Pasti karena demamnya, Rangga terus-terus saja meracau dengan mata yang masih terpejam. Aku tatap lekat-lekat wajahnya, tidak ada yang berubah dari Rangga. Ia masih sama seperti dulu, mungkin rahang tegas dan garis wajahnya semakin membuat Rangga lebih dewasa dan, tampan.
“Kalau demammu turun, aku bikinin bubur ya.”
Yang kupikirkan saat itu hanyalah membuat bubur. Setidaknya perut Rangga harus terisi sesuatu sebelum ia makan obat pereda panas.
****
Rangga benar-benar tertidur pulas. Kompresan yang sejak tadi kupakai sudah kusimpan di atas nakas di samping ranjangnya. Panas tubuhnya pun sudah sedikit menurun. Aku membiarkan Rangga sedikit beristirahat lalu beranjak pergi ke dapur. Membuka kulkasnya yang hanya terisi mi instan dan minuman kaleng. Aku menghela nafas, Rangga yang tidak pandai memasak mungkin menjadi alasan kenapa dapurnya tidak terisi penuh makanan.
Layanan ojek online menjadi pilihanku untuk membeli beberapa bahan makanan dan juga obat di salah satu super market yang tak jauh dari apartemennya. Sementara aku selesai memesan ojek online, aku mengambil beberapa alat masak di dapurnya.
Selama menunggu pesananku tiba, sesekali aku menengok kamar Rangga dan melihat laki-laki itu masih tertidur pulas, kali ini ia terlihat tenang. Selanjutnya aku menelusuri apartemennya yang lebih luas dari kosanku.
Aku duduk di atas sebuah sofa berwarna hitam panjang yang menghadap ke arah sebuah TV LCD yang sama besarnya dengan ruangan ini. Perhatianku beralih pada sebuah lemari buku yang terletak di samping TV LCD. Deretan buku-buku sejarah dan biografi dari orang-orang terkenal tertata rapi di dalam lemari. Juga beberapa buku astronomi favoritnya. Sejak dulu Rangga memang pintar, apalagi mengenai sejarah dan geografi. Ia penyuka segala sesuatu di alam semesta ini, baik masa lalu pun dugaan di masa yang akan datang.
Ada sebuah laci besar di bawah lemari buku. Iseng aku membukanya, dan pemandangan mencolok yang kulihat selanjutnya. Di dalamnya ada botol minuman berwarna merah muda yang masih terbungkus plastik bening. Juga hoodie berwarna hijau yang terlipat rapi tanpa debu seakan Rangga sering membersihkannya. Topi berwarna merah dengan tulisan ‘UP’ di depannya. Lalu jam tangan sporty berwarna biru muda yang masih tersimpan di dalam kotak kaca tembus pandang. Barang-barang yang sangat mencolok di sebuah ruangan monokrom khas seorang Rangga. Barang-barang yang secara random kuberikan padanya saat kami masih berpacaran dua tahun lalu. Yang sekali lagi, Rangga membuat sekujur tubuhku kaku dibuatnya.
****
Aku membangunkan Rangga untuk menyantap bubur yang kubuat. Ia menegakkan tubuhnya dan bersandar pada kepala ranjang. Aku sedikit membantunya dan menaruh mangkuk berisi bubur di atas nakas.
“Makan dulu,” kataku.
Tak ada nada kesal, tak ada nada acuh. Hari ini aku tulus membantunya, dengan banyak kegundahan dibenakku. Bagaimana Rangga masih menyimpan semua barang pemberianku dengan apik selama itu? Apa ucapannya terhadapku benar-benar tulus? Tapi, kemana dia dua tahun lalu? Menghilang tanpa kabar seolah-olah aku dibuangnya.
Rangga menyuapi sendok demi sendok bubur yang kubuat ke dalam mulutnya. Tidak ada komentar atau candaan tidak seru yang biasa ia lontarkan padaku. Kami berdua bungkam dalam waktu yang cukup panjang. Sebuah prestasi membanggakan bagi kami berdua untuk lebih akur dari sebelumnya.
“Kenapa diem?” tanya Rangga membuyarkan keheningan kami.
Aku yang sejak tadi memandangi selimut yang menutup sebagian kakinya itu akhirnya memandang ke arahnya. Entah dari mana datangnya permukaan wajahku tiba-tiba memanas ketika Rangga memandangiku begitu dalam.
“Habis ini makan obat terus istirahat lagi. Nanti sore aku buatin sup sama nasi ya.”
Rangga terlihat tidak senang dengan jawabanku yang tidak sesuai dengan pertanyaannya. Mangkuk yang sudah kandas isinya itu menjadi perhatianku selanjutnya agar hawa panas itu tidak berkembang lebih jauh lagi. Aku hendak mengambil mangkuk dari tangan Rangga, namun ia justru menangkap tanganku yang sedang memegang mangkuk.
“Aku gak pernah berniat buat nyakitin kamu, Ta. Aku cuma gak punya pilihan.”
Ucapannya membuatku bingung, dan selanjutnya aku bisa menyimpulkan sesuatu. Ada hal yang lebih diprioritaskan oleh Rangga ketimbang diriku. Seperti cubitan yang langsung mengenai hatiku, diam-diam dadaku sedikit sesak oleh pernyataannya.
“Kamu masih demam? Ngomongnya jadi ngaco gitu. Udah ah, aku harus ambil obat sama minum dulu.”
Aku mengabaikan ucapan Rangga, tanpa sadar ada perasaan takut juga yang mengantarku untuk berjalan perlahan keluar kamar Rangga dan membenarkan perasaanku yang bercampur aduk untuk sementara.
Setelah Rangga meminum obatnya, ia menyandarkan kepalanya dan memandangi langit-langit kamarnya. Sementara aku masih duduk di sisinya dan memandangi gelas kosong dengan tatapan yang sama kosongnya.
“Sebentar lagi kelas, Ta. Kamu mending berangkat sekarang,” titah Rangga.
“Gak usah, aku mau jagain kamu,” kataku.
Rangga kini memandangiku dengan ekspresi yang tak bisa kujelaskan. Seperti terkejut, senang, dan tidak menyangka.
“Kenapa?”
“Apa aku sakit setiap hari ya? Biar bisa deket kamu terus.”
“Kayaknya kamu semakin sehat. Ucapan menyebalkanmu akhirnya muncul juga, aku gak perlu kuatir sekarang.”
Aku melenggang pergi, membiarkan Rangga yang tertawa lemah di atas kasurnya. Aku menggeleng-gelengkan kepala, Rangga si mantan kampret akhirnya muncul lagi.
Di hadapanku kini sudah tersimpan beberapa sayur-sayuran untuk dibuat sup. Juga bakso dan sosis makanan favorit Rangga untuk nanti menjadi isian sup yang kubuat. Rangga yang kukenal memang sulit untuk memakan sayur-sayuran. Nasi yang kubuat sudah siap beberapa menit lalu. Dan kini, mengabaikan dering ponsel Bram dan Sinta yang menanyai keberadaanku dan Rangga yang menghilang begitu saja setelah kelas tadi pagi.
****
Kuintip Rangga dari pintu yang kubuka sedikit, ia tertidur pulas dibalik selimutnya. Sup yang kubuat juga sudah selesai dan Rangga hanya tinggal memanaskannya. Bukan hanya itu, ada beberapa bahan makanan yang sengaja kusiapkan untuknya di kulkas. Pasti Rangga terkena demam karena ia memintaku mengenakan hoodie-nya kemarin Sabtu di tengah dinginnya Kota Bandung malam itu. Aku cukup merasa bersalah, meskipun dia adalah si mantan kampret, ada sebuah kenangan yang mengalun di kepalaku dan merembes masuk ke sudut hatiku untuk setidaknya mencoba meredakan ego dan membantunya yang sedang terlihat lemah di hadapanku.
Rangga seperti memiliki dua kepribadian. Ia begitu lihai memperlihatkan bahwa semua yang ia lakukan padaku, di hadapanku, memang tulus dari dalam hatinya. Tapi ada kepribadian lain yang begitu misterius, yang penuh tanda tanya dan membuatku ragu untuk mempercayainya kembali. Sehingga sebaik apapun perlakuan Rangga, tetap ada satu yang membuatku ragu, dan peta untuk menemukan misteri yang ada di dalam pribadinya sukar untuk kutemukan.
Suara bel apartemen Rangga menghentikan laju khayalku. Hujan yang kulihat dari balik jendela besar di samping dapur membuatku bertanya mengenai orang yang menekan bel apartemen Rangga. Apakah Rangga punya janji dengan tamunya? Atau keluarganya datang menjenguk karena Rangga sakit? Atau teman—, tidak, Rangga itu cukup anti sosial.
Suara bel sekali lagi membuyarkan khayalku. Untuk mengetahuinya, aku pun pergi ke arah pintu dan membuka pintu apartemen Rangga cukup lebar. Lalu selanjutnya, mataku membulat sempurna melihat siapa pelaku yang menekan bel sebanyak dua kali itu.
“La, ngapain kamu disini?” tanya Sinta terkejut. Begitu pun juga Bram yang terpaku melihatku dengan tangan yang masih mengangkat ke arah bel yang ada di samping pintu apartemen.
Kenapa mereka berdua ada di sini?
Tell Me What to do
441
310
1
Short Story
Kamu tau, apa yang harus aku lakukan untuk mencintaimu?
Jika sejak awal kita memulai kisah ini, hatiku berada di tempat lain?
Teman Hidup
4625
2016
1
Romance
Dhisti harus bersaing dengan saudara tirinya, Laras, untuk mendapatkan hati Damian, si pemilik kafe A Latte. Dhisti tahu kesempatannya sangat kecil apalagi Damian sangat mencintai Laras. Dhisti tidak menyerah karena ia selalu bertemu Damian di kafe. Dhisti percaya kalau cinta yang menjadi miliknya tidak akan ke mana.
Seiring waktu berjalan, rasa cinta Damian bertambah besar pada Laras walau wan...
The Wire
8849
1816
3
Fantasy
Vampire, witch, werewolf, dan guardian, keempat kaun hidup sebagai bayangan di antara manusia. Para guardian mengisi peran sebagai penjaga keseimbangan dunia. Hingga lahir anak yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan hidup dan mati. Mereka menyebutnya-THE WIRE
Looking for J ( L) O ( V )( E) B
2019
817
5
Romance
Ketika Takdir membawamu kembali pada Cinta yang lalu, pada cinta pertamamu, yang sangat kau harapkan sebelumnya tapi disaat yang bersamaan pula, kamu merasa waktu pertemuan itu tidak tepat buatmu. Kamu merasa masih banyak hal yang perlu diperbaiki dari dirimu. Sementara Dia,orang yang kamu harapkan, telah jauh lebih baik di depanmu, apakah kamu harus merasa bahagia atau tidak, akan Takdir yang da...
Cinta Pertama Bikin Dilema
3411
1077
3
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi.
Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya.
"Jangan ...
The Ruling Class 1.0%
1244
519
2
Fantasy
In the year 2245, the elite and powerful have long been using genetic engineering to design their babies, creating descendants that are smarter, better looking, and stronger. The result is a gap between the rich and the poor that is so wide, it is beyond repair. But when a spy from the poor community infiltrate the 1.0% society, will the rich and powerful watch as their kingdom fall to the people?
I'm Growing With Pain
11844
1721
5
Romance
Tidak semua remaja memiliki kehidupan yang indah. Beberapa dari mereka lahir dari kehancuran rumah tangga orang tuanya dan tumbuh dengan luka. Beberapa yang lainnya harus menjadi dewasa sebelum waktunya dan beberapa lagi harus memendam kenyataan yang ia ketahui.
Mars
942
520
2
Romance
Semenjak mendapatkan donor jantung, hidup Agatha merasa diteror oleh cowok bermata tajam hitam legam, tubuhnya tinggi, suaranya teramat halus; entah hanya cewek ini yang merasakan, atau memang semua merasakannya.
Dia membawa sensasi yang berbeda di setiap perjumpaannya, membuat Agatha kerap kali bergidik ngeri, dan jantungnya nyaris meledak.
Agatha tidak tahu, hubungan apa yang dimiliki ole...
Our Different Way
3605
1517
0
Romance
Novel ini mengisahkan tokoh utama bernama Haira, seorang siswa SMA berusia tujuh belas tahun yang baru saja rujuk kembali dengan pacarnya, Gian. Mereka berdua tentu senang karena bisa kembali merajut kasih setelah tidak pernah bertemu lebih dari setahun akibat putus.
Namun, di tengah hubungan yang sedang hangat-hangatnya, mereka diterpa oleh permasalahan pelik yang tidak pernah mereka bayangk...
Sahabat Selamanya
1154
693
2
Short Story
cerpen ini bercerita tentang sebuah persahabatan yang tidak ernah ada akhirnya walaupun mereka berpisah jauh
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu