Pertemuan kemarin memang tak terduga, dan entah bagaimana, semalam Rangga yang mengantarku pulang. Aku tak bertanya perihal tentang dirinya, atau lebih tepatnya aku memang memasang wajah penuh permusuhan padanya. Namun yang paling mengejutkan adalah si mantan kampret itu masih ingat jelas padaku, padahal saat itu aku berusaha mati-matian untuk terlihat cool di hadapannya.
“Bengong aja.” Seseorang duduk di sampingku ketika aku tengah menerawang kejadian kemarin.
Aku menoleh ke arahnya. Seorang laki-laki yang kukenal sedang menatapku. Membuatku hampir salah tingkah dibuatnya.
“Eh, Kang Ikal,” kataku memanggil namanya.
“Ngelamun aja. Pamali,” kata Kang Ikal.
Kang Ikal, atau Haikal ini adalah kakak tingkatku. Dia menjadi fasilitator yang membantuku saat ospek beberapa waktu lalu. Diantara sederet kakak tingkat yang dulu menjadi panitia ospek, hanya segelintir yang masih mau berbincang-bincang dengan adik tingkatnya, salah satunya Kang Ikal ini.
Tidak memungkiri bahwa aku tertarik pada Kang Ikal sejak pertama kali aku mengenalnya. Menurutku ia satu-satunya panitia ospek paling murah senyum ketika hampir seluruh panitia memasang tampang jutek. Dan ia yang paling bersedia membantu adik tingkat. Beberapa hal kudengar mengenai Kang Ikal, ia salah satu mahasiswa yang digadang-gadang akan menjadi calon presiden mahasiswa. Tentu aku akan mendukung Kang Ikal jika ia mencalonkan sebagai presiden mahasiswa, toh, Kang Ikal memang terkenal supel dan termasuk mahasiswa yang aktif dalam organisasi.
“Lagi nunggu kelas?” tanya Kang Ikal.
“Baru keluar, Kang,” jawabku. “Akang sendiri?”
“Mau nunggu kelas jam dua siang,” jawabnya sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangannya.
“Belum masuk materi ya tadi?”
“Belum, Kang. Masih perkenalan.”
“Semangat Nila!”
Aku balas dengan senyuman. Aku benar-benar menyukai kakak tingkatku yang satu ini.
Entah bagaimana, tiba-tiba suara gaduh dari luar gedung fakultas -di mana aku dan Kang Ikal sedang duduk- membuat kami berdua secara otomatis menoleh ke arah kerumunan orang-orang. Beberapa diantaranya berteriak antusias, sehingga membuatku terheran.
Kerumunan orang-orang itu semakin mendekati fakultas dan seseorang tengah keluar dari kerumunan orang-orang tersebut lalu masuk ke dalam fakultas dengan langkah yang percaya diri. Melewatiku yang terus saja mengekori langkahnya hingga ia menghilang dari jarak pandangku.
“Rangga?” gumamku tak percaya.
Jelas mataku tidak bermasalah, dan aku hafal betul perawakannya. Tak mungkin kan aku berkhayal bahwa sosok tadi adalah Rangga, si mantan kampret itu.
“Gila! Rangga kuliah di sini?”
“Parah-parah, ngapain dia di fakultas kita?”
“Dia mahasiswa baru? Atau kakak tingkat sih?”
Beberapa kalimat yang kudengar dari kerumunan orang-orang yang kini perlahan menghilang itu semakin meyakinkan diriku. Bahwa seseorang yang tadi melewatiku adalah Rangga. Tapi, untuk apa dia kemari?
“Kamu kenal Rangga juga?” Pertanyaan Kang Ilham membuatku kebingungan sekaligus menjadi yakin bahwa orang itu adalah Rangga.
“Rangga?” tanyaku membeo.
“Iya. Rangga, si artis itu loh! Dia orang terkenal, pasti kamu juga tau dia kan?”
Bagaimana ya? Jelaslah aku mengenal Rangga, bahkan lebih hafal dari para penggemarnya itu.
“Ya….. begitulah,” kataku sambil menunjukkan cengiranku.
“Padahal Rangga sempet datang waktu acara pembukaan ospek loh. Kok orang-orang baru hebohnya sekarang,” ujar Kang Ikal.
“Dia mahasiswa baru juga?” tanyaku dengan nada sedikit khawatir.
“Iya.”
Aku seakan baru saja dikejutkan dengan suara petir yang teramat sangat keras.
“Yang kudenger sih, dia cuma ikut pembukaan ospek. Sisanya dia absen karena harus beresin syuting film.”
Cukuplah pertemuan kemarin adalah yang pertama juga terakhir bagiku bertemu dengan Rangga. Melihat sosoknya hanya membuatku semakin kesal dan benci padanya, juga mengingatkanku akan rasa patah hati dulu. Lalu sekarang ternyata ia kuliah di sini, satu jurusan pula denganku. Kenapa mimpiku untuk hidup sebagai mahasiswa yang penuh dengan kegembiraan harus sedikit terkaburkan oleh kedatangan Rangga.
“Nila! Nila!” Sinta datang dengan cukup heboh ketika bertemu denganku. “Mana Rangga?” tanyanya.
“Di dalem ruang dosen,” jawabku asal.
“Duh! Beneran itu Rangga yang kuliah di sini? Aku gak mimpi kan?” tanya Sinta berbondong-bondong.
“Ih! Kenapa sih kamu ikut heboh juga?” tanyaku memprotesnya.
“Yaa, habisnya dia Rangga sih. Gimana gak heboh! Waktu kemarin dia bilang mau fokus ke pendidikannya, aku gak nyangka kalau dia mahasiswa di tempat yang sama kayak kita.”
Kapan Rangga mengatakan hal itu ya?
Begitu Rangga keluar dari ruang dosen, beberapa mahasiswi yang masih setia berada di dalam fakultas itu pun kontan berdiri dan menghampiri Rangga, walau tanpa gerakan agresif seperti sebelumnya. Tapi secara tak terduga, Rangga justru menghampiri kami.
“Rangga,” sapa Sinta.
“Halo Sinta,” sapa Rangga. “Halo juga Nila,” katanya padaku.
“Hai,” kataku ketus.
“Kalian udah saling kenal?” tanya Kang Ikal yang sejak tadi hanya menjadi penonton setia.
“Iya, Kang. Kemarin aku sama Nila dapet hadiah buat makan malam bareng Rangga,” jawab Sinta.
“Pantes aja,” kata Kang Ikal.
Kulihat beberapa orang yang menyukai Rangga seakan segan untuk mendekati Rangga seperti yang terjadi beberapa saat lalu. Dan kulihat sekilas laki-laki itu seakan tidak peduli dengan kehebohan yang dibuatnya barusan.
“Aku gak nyangka ternyata kamu kuliah di sini,” ujar Sinta yang masih terlihat antusias.
“Aku pernah datang waktu pembukaan ospek kok,” jawab Rangga. “Gak ada yang sadar sepertinya,” katanya lagi sembari melirik ke arahku.
Maksudnya apa? Aku pun tidak menyadari kehadirannya, begitu? Memang sepenting itu eksistensi si mantan kampret ini di mataku? Tidak juga!
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu