Rangga tidak melihat ke arah kami dan segera naik ke atas panggung. Aku dan Sinta pun diminta untuk duduk di salah satu kursi yang paling dekat dengan panggung. Kehadiran Rangga dalam jarak pandangku seakan memutar sebuah gulungan film usang yang berisi semua bingkai-bingkai kenangan sewaktu SMA dulu.
Laki-laki itu menghilang ketika kami naik ke kelas dua. Aku masih ingat rasanya khawatir karena tidak bisa menghubunginya selama berbulan-bulan. Lalu, suatu hari Rangga muncul di layar kaca dan mendapat banyak perhatian orang-orang. Setelah itu, Rangga tak pernah sama sekali mengabariku, atau muncul di sekolah. Ia seperti berubah menjadi sosok lain yang tak lagi kukenali.
Tapi itu dua tahun silam. Cinta pertama memang tak pernah berjalan dengan mulus. Sekaligus patah hati terhebatku yang pertama. Kini semua luka dan perih telah terkikis dengan sendirinya oleh waktu, namun kemunculannya, mengundang butir-butir kenangan dulu.
“Selamat siang!” sapa laki-laki itu riang.
“Siang!!!” balas para penonton yang sebagian besar masih belia, termasuk Sinta yang sangat antusias melihat Rangga.
Kenangan itu tak akan pernah bisa kita hapus, tapi terus merangkak di atas kenangan masa lalu hanya membuat harga diriku sedikit tercoreng. Sehebat apapun Rangga sekarang, aku tak ingin terlihat sebagai perempuan gagal move on. Meski kenyataannya, hanya sisa-sisa patah hati yang menguatkanku hingga detik ini.
Bisa saja Rangga pun melupakanku, si mantan kesekiannya.
Aku mencoba senormal mungkin menghadapi si mantan kampret itu. Yang sejak ia berdiri di atas panggung, ia pandai mengajak para penonton untuk meramaikan acara meet and great tersebut. Walaupun keseluruhan acara tersebut tak membuatku senang atau terpikat oleh pesonanya. Mana mungkin aku masih memiliki rasa suka pada orang yang meninggalkanku.
Lagipula, kemungkinan besar Rangga tidak mengingatku. Terbukti, ketika acara itu selesai, aku dan Sinta akhirnya bisa mengobrol dan berkenalan dengan Rangga.
“Nila,” kataku singkat sambil menerima uluran tangannya.
“Rangga,” kata dia.
Benar bukan? Rangga lupa padaku. Itu merupakan bentuk kebersyukuran sekaligus rasa kesal karena hanya aku yang dibuat patah olehnya. Sialan memang!
Rangga dan seorang pria yang sepertinya manajer Rangga itu pun membawa kami makan malam di daerah Dago. Perjalanan itu diwarnai oleh banyak pertanyaan Sinta pada Rangga, sedangkan aku memilih untuk menikmati deretan mobil-mobil yang berjajar karena kemacetan.
Kami sampai di salah satu kafe jam enam malam, lalu selanjutnya memesan makanan. Aku tak banyak bicara di situasi seperti itu, diam-diam mungkin aku masih merasa tidak terima karena harus bertemu mantan yang sudah melupakanku. Ngenes!
****
Suasana kafe tersebut memang terkesan romantis. Apalagi di tambah sebuah cahaya lilin yang terletak di tengah-tengah meja kami. Tak jauh dari situ, ada sebuah jendela besar yang menampilkan pemandangan Kota Bandung malam hari.
“Saya suka makan di sini,” kata Rangga. “Tempatnya nyaman untuk sekedar santai sejenak di Kota Bandung.”
“Iya, aku juga suka,” kata Sinta untuk kesekian kalinya.
Aku merasa risih melihat Sinta yang begitu senangnya bertemu Rangga, dan makan malam bersamanya.
“Aku ijin ke toilet,” kataku di tengah-tengah makan malam.
Kutinggalkan Rangga, Sinta, dan manajer Rangga. Aku butuh ruang sendiri dan berada jauh-jauh dari Rangga. Sedikit rasa sesak di dadaku seakan memintaku untuk mencari oksigen yang terbebas dari unsur bernama Rangga. Ini bukanlah rasa sesak karena patah hati, tapi bagaimana ya, aku berusaha menghindari hal-hal menyangkut cinta pertamaku setengah mati, lalu setelah semua menjadi normal, ia muncul dan menganggap seolah-olah kami berdua memang asing.
Aku tak mengharapkan Rangga mengenaliku, tapi tetap saja rasanya tidak enak. Pihakku adalah orang yang mati-matian bangkit dari rasa sakit, lalu pihak Rangga adalah orang yang baik-baik saja. Ini seperti dari awal, perasaanku memang tak ada artinya bagi Rangga. Itulah alasan ada sesak di dadaku.
Aku akui, kafe ini memang nyaman untuk dijadikan tempat bersantai. Apalagi malam-malam seperti ini. Pemandangan Kota Bandung yang penuh dengan cahaya-cahaya lampu memberikan kesan damai dan cocok untuk dinikmati berlama-lama. Sensasi itu menyadarkanku bahwa untuk apa aku pusing memikirkan si mantan, toh aku bisa bangkit pada akhirnya, ini hanya kebetulan kami bertemu.
Membasuh wajahku dengan air dingin mampu menyegarkan otakku yang hampir meledak tadi, ditambah, aku sedikit terbuai dengan pemandangan Kota Bandung saat itu. Tak jauh dari situ, kulihat Rangga sedang bersandar di dekat jendela lalu melihat ke arahku. Yang kontan saja aku buru-buru mengalihkan pandangan.
Rangga tetap berjalan menghampiriku. Dan berhenti setelah ia berada tepat di hadapanku.
“Long time no see, Nila Pramusita,” katanya begitu jelas terdengar di telingaku.
Aku memandangnya dengan ekspresi tidak suka yang kentara.
“Ngapain lo manggil-manggil nama gue?!” tanyaku sewot.
Rangga hanya tersenyum. Wangi perpaduan jeruk bergamot dan teh itu menguar ke indra penciumanku. “Apa aku harus pura-pura cuekin pacar sendiri?” katanya yang mengganggu telingaku.
“Hah? Apa? Gak salah lo ngaku-ngaku pacar gue?” kataku masih dengan nada sinis. “Jangan ngaku-ngaku deh lo! Gue gak kenal sama lo!”
Aku melenggang melewati Rangga. Ucapannya membuatku naik pitam dan ingin sekali meremukkan setiap inci tulangnya. Sayangnya, Indonesia mempunyai hukum yang jelas tentang penganiayaan dan pembunuhan.
“Aku kangen kamu!” serunya yang justru membuat bulu kudukku berdiri.
Ada apa sih dengan si mantan kampret itu?!
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu