Setelah mengetahui alasan dibalik perginya Rangga, aku menghubungi laki-laki itu lebih intens dari biasanya. Mungkin bisa dua puluh kali dalam sehari selama sepekan terakhir. Aku benar-benar kalut, takut jika Rangga kembali pergi tanpa pamit. Aku belum mengucapkan sepatah kata pun perihal itu semua, aku ingin menanyakannya secara langsung.
Untuk pertama kalinya, aku merasakan rindu pada laki-laki itu. Sekarang, dinding yang sengaja kubangun untuk menahan Rangga sudah luluh lantah, yang kini terjadi justru penyesalan karena membenci dia sepenuhnya. Aku menyesal membencinya, aku menyesal mengabaikannya, aku menyesal membuat dia harus berjuang sendirian.
Rangga bisa saja mencari perempuan lain yang lebih peduli padanya, yang mungkin lebih memahami dirinya. Tapi ucapan Tante Yuli membuatku sadar bahwa laki-laki itu tetap mencintai perempuan yang sama. Yang sempat membencinya sepenuh hati.
Memang apa enaknya melakukan segala sesuatu sendirian? Seolah-olah, eksistensiku ini hanya bayangan bagi Rangga. Apa susahnya bagi dia untuk meminta bantuan padaku? Sesulit itukah dia membagikan bebannya denganku?
Kotak berukuran kecil yang terbalut kertas kado berwarna emas sudah kupandangi berjam-jam lamanya. Kepala kusandarkan pada meja sementara tanganku dengan lihainya memainkan pita merah yang mengikat kotak tersebut. Sekali lagi, aku menghembuskan nafas. Menunggu seseorang itu sungguh menyakitkan.
Sepulang dari jadwal di kampus, aku ingin memasuki apartemen Rangga. Walaupun pemiliknya tidak di sini, tapi semoga semua unsur tentang Rangga bisa menenangkanku.
****
“Ke apartemen Rangga? Dia kan belum pulang, La.” Sinta seolah mengingatkanku bahwa mungkin rencanaku ini aneh
“Emm….”
“Besok kan Rangga pulang. Kamu tunggu saja, nanti dia juga menghubungimu,” tambah Bram.
Tapi rindu itu tidak bisa ditunggu.
“Aku kesana aja, gak apa-apa,” kataku.
“Ya sudah, kita antar ya. Sampai depan apartemen,” ajak Bram.
“Iya. Liat Nila yang galau gitu bikin kita berdua cemas, apalagi tiap hari kamu bawa hadiah buat Rangga, bikin kita berdua tambah khawatir tau gak.”
Sinta dan Bram saja sangat terkejut ketika aku menceritakan semuanya. Bahkan untuk mereka yang baru mengenal Rangga, mereka sangat empati dan prihatin dengan hubungan kami berdua yang seperti itu dulu. Apalagi aku yang merasa seperti orang yang sangat jahat pada Rangga.
Setelah mengantarku hingga di depan apartemen Rangga, aku melihat mobil Bram melaju pergi hingga tak terlihat lagi oleh mataku. Kemudian aku masuk ke dalam gedung tinggi menjulang itu. Pantas saja aneh rasanya Rangga masih memasukkan unsur tentangku dalam hidupnya setelah kami sama-sama menghilang selama dua tahun.
Apartemen ini selalu terasa mati. Bagai tidak ada orang yang menempati. Begitulah Rangga, seseorang yang membebankan segala sesuatu untuk dipikul sendiri. Padahal, bukan sebuah dosa jika ia memintaku untuk menggiring beban itu bersama.
Aku duduk di sofa yang langsung menghadap ke depan layar televisi super lebar itu. Kusandarkan kepalaku pada sandaran kursi. Kotak kado untuk Rangga yang selalu kubawa setiap harinya selalu kutaruh di dalam paper bag. Padahal aku juga tahu Rangga pulang besok, tapi ketakutan jika ia tidak kembali mendorongku untuk selalu membawa kado tersebut. Aku hanya ingin bertemu dengannya secepat mungkin.
Cepat pulang, Ga!
****
“Nila!”
Aku membuka mataku, suasana apartemen Rangga mulai gelap karena hari sudah malam. Berapa lama memangnya aku tertidur pulas? Dan yang membuatku terbangun yaitu Rangga yang sedang membuka pintu apartemennya. Cahaya dari luar menyinariku namun sosok Rangga seperti siluet dari separuh mimpi-mimpiku tadi.
“Rangga!”
Aku memanggilnya, tubuhku secara refleks bangkit dan memandangi sosok siluet yang kuyakini itu adalah Rangga. Rangga menyalakan lampu apartemennya. Dan di saat itulah, sosoknya benar-benar terlihat nyata. Ia menghampiriku dengan gusar.
“Kenapa gak dinyalain lampunya?” tanya Rangga.
Pertanyaan yang terasa asing diucapkan oleh seseorang yang memergoki rumahnya dihuni orang yang tak diundang sepertiku. Tapi memang itulah yang diucapkan Rangga ketika melihatku di apartemennya.
“Kamu udah makan? Kita pesen makan ya.”
Rangga melangkah melewatiku, tapi sebelumnya aku menahan gerakannya dengan memegang ujung kemeja yang sedang ia pakai.
Kepalaku tertunduk, entah bagaimana lelehan air mata mulai menguasai kesadaranku. Ada sepucuk bunga yang muncul di saat aku melihat Rangga sekarang, bukan sebuah bunga mimpi, tapi bunga yang harumnya membawa kelegaan di relung hatiku.
“Kamu kemana aja Rangga?” tanyaku lirih.
“Aku di Jakar—“
“Dimana kamu dua tahun kemarin, Ga?!” tanyaku sedikit menuntut. “Dimana kamu saat kamu lagi sedih?! Dimana kamu saat kamu butuh sandaran?! Dimana kamu di saat aku benar-benar tidak tahu kesedihanmu itu, Ga?! Kamu dimana? Kenapa gak mau berbagi beban sama aku?! Kenapa kamu pergi?!!” kataku di sela-sela isak tangisku.
Dimana kamu dulu, Ga? Kemana kamu pergi memikul bebanmu sendiri tanpa mengabariku sama sekali?
Rangga kemudian memelukku. Ia tidak lantas menjawab pertanyaan-pertanyaanku seperti wartawan handal. Ia hanya memelukku. Yang terisak karena seluruh emosi yang kuketahui, menguar bersama setiap mili air mata yang jatuh hancur membentur lantai apartemen Rangga.
Dan untuk seterusnya, sambil menyeka air mataku yang enggan berhenti, Rangga menceritakan semua kejadian yang terjadi selama dua tahun terakhir. Alasan ia pergi meninggalkanku, alasan ia tak mengabariku, dan alasan ia kembali ke hadapanku. Semua ia jelaskan persis seperti yang pernah Tante Yuli ceritakan padaku. Semuanya, tanpa ada satu pun rahasia yang ia simpan lagi.
“Keadaan ekonomi keluargaku tiba-tiba merosot drastis. Perusahaan Papah yang harus aku selamatkan, pendidikan Luna, dan Kakekku yang terus-terus saja memaksa supaya aku pindah ke Bandung dan ekonomi keluarga kami akan baik-baik saja. Tapi aku gak mau, Ta. Aku gak mau berurusan dengan Kakekku yang otoriter itu, aku ingin megakui bahwa aku juga bisa menyelematkan keluargaku setelah Papah meninggal.”
“Dan kamu terima tawaran casting model itu?” tanyaku.
Rangga mengangguk. Wajahnya seperti membayangkan tahun-tahun lalu yang sangat berat itu. “Mau gak mau itu pilihan yang aku punya, ditambah mereka menjamin pendidikanku juga.”
Aku membelai pipinya yang akan membeku suatu waktu. Rangga memejamkan mata, meresapi perlakuanku padanya.
“Kamu pasti kesusahan ya?” kataku lirih.
Kepalanya menggeleng. Mata hitamnya memantulkan sosokku. “Sekarang udah gak apa-apa. Sekarang ada kamu, kan?”
Ada sebuah hawa panas membekap seisi rongga dadaku. Seolah-olah saat aku menghembuskan nafas, akan ada bara api yang keluar dari mulutku. Tenggorokkanku mengering, tidak sanggup memuntahkan lagi kalimat-kalimat pertanyaan padanya. Yang terjadi kini, aku merasa ingin berada di sampingnya selamanya.
“Aku tahu kamu pasti bilang aku brengsek dan bajingan. Laki-laki yang gak tau malu dan maksa-maksa kamu buat balikan lagi sama aku.”
Aku tertawa getir. “Kalau aja aku gak tau semua ini, kamu tetep brengsek dan bajingan, Ga.” Kedua tanganku memeluk tubuhnya. “Tapi sekarang justru aku merasa jadi cewek yang paling jahat sedunia.”
Rangga memelukku juga. Wangi khas dirinya memang tidak pernah berubah dari dulu. Menarikku pada nostalgia indah kami berdua sewaktu semua ini belum terjadi.
“Kamu bertindak benar kok. Memang itu yang harusnya aku terima karena meninggalkan perempuan yang mencintaiku sepertimu. Kamu pasti juga susah ya?”
Aku tak merespon. Aku hanya meresapi semua peluk yang Rangga berikan di setiap detiknya. Sungguh menenangkan.
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu