Laki-laki itu berjalan menghampiri perempuan yang masih menangis di tengah lebatnya hujan. Lalu kemudian kedua tangannya terulur ke arah perempuan itu, menarik tubuhnya agar lebih dekat lagi dengan laki-laki itu. Di tengah guyuran, ia memeluk perempuan tadi. Pelukan itu tak mampu menahan derasnya air mata, justru semakin banyak berjatuhan. Perempuan itu, dari belakang tubuhnya, terlihat bergetar sambil terus menangis.
“Perpisahan kita bukan jalan buntu yang mengantar kita pada keputus asaan. Mungkin kamu akan lebih baik bila tidak bersamaku. Selamat tinggal.”
Dan selanjutnya, laki-laki itu melepas pelukannya. Berjalan menjauh dari perempuan itu di tengah guyuran hujan yang seperti enggan menghentikan laju aktivitasnya. Perempuan itu masih menangis, masih memanggil nama dari laki-laki yang meninggalkannya. Kemudian, laki-laki itu perlahan menghilang ditelan derasnya hujan dan layar pun berubah warna menjadi hitam. Dilanjutkan dengan tepuk tangan riuh dan isakkan tangis dari orang-orang yang menonton pemutaran perdana film terakhir yang dibintangi Rangga.
“Aku suka akhirnya,” komentar Sinta. “That’s why I’m so proud of him.”
“Sayang sekali ini film terakhir Rangga,” tambah Bram.
Sementara aku hanya bisa memandangi kedua sahabatku yang begitu tersentuh oleh film yang dibintangi Rangga itu. Bukan, bukan aku cemburu. Atau aku punya pendapat berlawanan dari mereka berdua. Akan tetapi, kenyataannya Rangga tidak akan semanis itu pada orang yang dicintainya, dan tidak pula sekejam itu untuk meninggalkan kekasihnya di bawah guyuran hujan seperti tadi.
“Jangan cemburu, La.”
“Siapa yang cemburu?!”
****
Besoknya, setelah pemutaran film perdana Rangga, sepagi mungkin kami sudah berkumpul di halaman rumahku. Hari ini kami ingin jalan-jalan. Memasuki salah satu taman hiburan yang sudah terkenal sejak dulu. Karena rumahku lebih dekat dengan taman hiburan tersebut, Rangga dan Bram yang sejak Jumat lalu tinggal di rumah Rangga pun menghampiri aku dan Sinta.
“Udah lama nggak liat kamu kesini, apa kabar Ga?” sapa Ayahku.
“Baik, Om. Om gimana kabarnya?”
“Om gini-gini aja. Udah masuk sana, sarapan dulu.”
Setelah basa basi, sarapan di rumahku, bersiap-siap untuk pergi. Kami pun akhirnya berangkat menggunakan mobil Rangga pukul delapan tiga puluh pagi. Karena hari ini hari Minggu, takutnya jalanan Jakarta lebih padat, meskipun belakangan tidak begitu sih.
Selain bermain, kami juga berniat untuk merayakan ulangtahun Rangga di salah satu restoran seafood yang masih berada di kawasan taman hiburan itu. Ada sebuah tas besar berisi hadiah-hadiah dari kami, atau lebih tepatnya Sinta dan Bram, karena hadiahku sudah lebih dulu kuberikan padanya sewaktu aku frustasi karena menunggu kepulangan Rangga dulu.
Begitu kami melewati meja tiket, lagu tema khas taman hiburan itu terdengar hingga membuatku seolah-olah sedang berada pada tahun dua ribuan. Kami berfoto-foto di depan pintu masuk, lalu menaiki komedi putar yang antriannya masih belum terlalu panjang.
Setelah itu kami naik wahana roller coaster, halilintar, kora-kora, dan halilintar. Sungguh! Hal itu membuatku mual dan tak ingin menaiki wahana gila semacam itu lagi.
“Kita duduk dulu yuk,” ucap Rangga.
Ia kemudian memberikanku sebotol air mineral dan kuteguk sebagian. Kulihat Sinta dan Bram masih terlihat antusias ingin menaiki seluruh wahana gila lainnya, membuatku merasa mual seketika.
“Kita naik itu yuk!” Sinta menunjuk sebuah gedung dengan ornamen salah satu film animasi terkenal.
Aku menutup mulutku.
“Kalian aja, kita istirahat di sini dulu,” ucap Rangga.
“Ya udah deh, nanti pas jam makan siang kabar-kabarin ya.”
“Kami duluan.”
Lalu pasangan sejoli itu menghilang diantara kerumunan orang-orang yang sedang mengantri. Rangga kemudian duduk di sampingku, sedikit mengelus punggungku.
“Udah tau kamu gak suka ketinggian.”
“Habis kepo sih.”
“Cuma gara-gara kepo kamu sampe mual begitu.”
“Yaa, namanya juga kepo.”
Panasnya Jakarta, meskipun beberapa kali kami diterpa angin dari kipas angin besar, tak membuat suasana di sekitar kami sejuk, justru makin terasa panas.
“Kita masuk rumah boneka yuk. Sambil ngadem,” ajak Rangga.
“Yuk! Mumpung sepi.”
Akhirnya, kami menaiki wahana favorit anak-anak yang datang kemari. Lagu tema khas wahana ini tidak berubah, bahkan sama saja dari dulu. Tidak ada aransemen baru atau mungkin versi yang berbeda. Bahkan aku yang tidak berniat menghafal lagu ini pun, tanpa sadar sudah hafal di luar kepala.
Padahal beberapa hari lalu ada seorang gadis yang meronta karena ada rindu yang berkecamuk di dadanya akibat seorang laki-laki. Tapi kini, gadis itu seolah kehilangan rasanya yang beberapa hari lalu membucah. Atau lebih tepatnya, aku kikuk jika membahas kejadian itu. Bagaimana mendeskripsikannya ya? Aku tak mau Rangga jauh-jauh lagi dariku mulai sekarang, di sisi lain, aku malu untuk mengakui itu semua secara gamblang. Sebab, dulu aku satu-satunya orang yang terus saja meminta Rangga jauh-jauh dariku, kini aku seperti menjilat ludahku sendiri.
Dari berulang-ulang tema lagu wahana itu, Rangga mulai membuka suara yang membuatku seratus persen memperhatikannya.
“Kalau aku minta kamu lagi, kamu masih mau gak?” tanya Rangga.
Pertanyaannya sederhana. Bukan soal rumus Matematika atau persamaan kuadrat hingga membuatku harus memakan waktu untuk menemukan jawabannya. Pertanyaan itu seperti sebuah tawaran, dari seseorang yang sepertinya sama ragunya denganku.
Apakah ketika kami bersama, tidak ada lagi yang terluka dan melukai?
****
Hingga beberapa menit menjelang taman hiburan itu ditutup. Kami berempat mengisi sore hari dengan menaiki bianglala. Di dalam sangkar bianglala itu, hanya ada aku dan Rangga yang masih saling diam setelah pertanyaan yang ia lontarkan siang tadi. Hingga kami berada di puncak, aku bisa dengan jelas melihat Jakarta dan pesisirnya, juga beberapa bangunan yang berada di area taman hiburan yang sama. Dan jauh di ujung sana, matahari yang berwarna oranye itu sedang bercumbu dengan segaris hamparan laut yang terlihat indah dan berkilau.
Di tempat ini aku dan Rangga pernah saling cinta, di tempat ini pula kami mengakhiri rasa cinta itu. Dan seperti putaran waktu, kejadian itu kembali terulang dari kami yang saling ragu akan masa depan yang terjadi nantinya.
Seperti matahari yang ditenggelamkan oleh pekat malam, atau seperti malam yang diusir oleh sinar fajar. Semua hal yang terjadi di dunia ini tidaklah selalu kekal. Setiap hal pasti memiliki waktunya masing-masing, Entah itu rasa sakit, rasa kehilangan, rasa rindu, juga rasa cinta yang menguap secara malu-malu. Semua akan terlewati dan akan terus berulang tergantung bagaimana kita menghadapi semua itu, memaknai segala sesuatunya dengan bijak.
Lalu, bagaimana dengan pertanyaan Rangga barusan?
Aku tak ingin kami seperti matahari berwarna oranye itu. Indah sih, tapi ia hanya muncul beberapa jam saja, tak lama dari itu, maka malam datang mengusirnya. Aku tak ingin seperti itu, aku ingin menjadi malam untuk Rangga, juga menjadi fajar untuknya. Terus bergilir sampai kami mati karena kebosanan. Bukan saling mengindahkan tapi waktunya sebentar. Aku ingin selamanya dengannya.
“Ga!” panggilku.
“Apa?”
“Soal pertanyaan kamu tadi.”
“Kalau pusing gak usah dijawab sekarang, Ta.”
Tidak, bukan itu.
“Kalau aku minta kamu harus ada di sisiku selamanya gimana?”
Ini bukan jawaban, tapi bertanya balik.
Kami yang beberapa saat berada di puncak bianglala pun perlahan turun dengan hempasan angin yang sedikit kencang. Suasana sangkar ini pun terasa sepi dan hanya suara hembusan angin yang kian mengencang. Rangga terus memandangiku dengan ekspresinya yang terkejut. Aku berpikir apakah pertanyaanku tadi lebih sulit dari pertanyaannya ya?
Sangkar itu kembali berhenti bergerak. Kini kami tidak lagi berada di puncak. Sebuah pohon besar menghalangi kami sehingga matahari tidak lagi mengganggu kami berdua. Kemudian Rangga mendekatiku lalu memelukku secara tiba-tiba. Aku tidak merespon apapun dan hanya meresapi hembusan nafas Rangga yang tersengal-sengal, dan detak jantungnya yang berdetak gila-gilaan.
Kalau kami berada di sebuah film, pasti sekarang sedang hujan dan Rangga nantinya akan mengucapkan kata perpisahan yang begitu manis. Lalu menghilang ditelan kabut hujan. Tapi kami sekarang berada di dunia nyata, di mana Rangga tidak mungkin melalukan hal semacam itu, dan hujan pun tidak turun sore ini.
“Tanpa kamu minta pun, aku bakal terus di sisi kamu selamanya, Ta. Mulai sekarang.”
Ini bukan pernyataan cinta atau pernyataan untuk CLBK. Ini hanya sebuah kalimat dari dua orang yang sempat ragu untuk melihat ke depan jika bersama-sama. Apa mungkin kami akan saling melukai? Tapi, itu semua tergantung bagaimana kami memaknai luka itu sendiri.
Aku membalas pelukannya. Luka kami, perpisahan kami dulu, semua terasa seperti matahari oranye yang sedikit demi sedikit terusir oleh pekat malam. Seperti semua yang terjadi dulu hanyalah jeda agar kami memahami rasa jatuh cinta yang sesungguhnya. Dan itu sungguh lebih indah dari cumbuan matahari dan garis laut.
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu