Kata-kata Rangga seolah menjadi label yang selalu mengingatkanku ketika sedang berkaca atau melamun. Biasanya kalimat yang terlontar dari laki-laki itu mudah hilang bagai buih, tapi sekarang seperti ukiran di atas sebuah pohon kayu yang kuat.
“La, jadi gak beli hadiah buat Rangga. Aku sama Bram mau beli nih sekarang,” kata Sinta mengganggu lamunanku.
“Oh, gak deh, kalian aja, aku mau ketemu Kang Ikal sekarang.”
“Oke. Hati-hati ya, kalau Kang Ikal macem-macem teriak aja. Kita duluan ya.”
Hari ini aku berencana menemui Kang Ikal untuk mengembalikan buku-bukunya. Bukan karena aku sudah tidak membutuhkannya lagi, tapi semua tentang Kang Ikal hanya menjadi batu kerikil yang tidak nyaman bila diinjak. Terlebih, Rangga dan Bram sudah susah payah mencari buku-buku tersebut, sehingga kupikir lebih baik meminjam dari mereka berdua saja.
"Nila, udah lama?" Tanya Kang Ikal setelah melihatku dan kemudian duduk di hadapanku.
Aku tersenyum, bukan lagi senyum malu, atau bahagia, tapi senyum yang dipaksakan.
"Baru kok Kang. Akang mau beli makan?" Tawarku basa-basi.
"Ah, gak usah masih kenyang. Nila mau makan?"
"Aku udah pesen jus kok."
"Ohh. Ngomong-ngomong ada apa ya?"
Aku menyerahkan setumpuk buku-buku milik Kang Ikal.
"Makasih Kang," kataku.
"Loh udah gak di pake lagi?" Tanya Kang Ikal.
"Bukan Kang, aku udah beli beberapa buku ini. Rangga juga, jadi aku mau balikin aja Kang. Takutnya Akang juga butuh buat skripsi nanti."
Kang Ikal menerimanya, namun sekilas raut wajahnya tidak terlihat senang.
"Padahal gak apa-apa, pake aja."
"Hahaha, aku takut ngerepotin. Lagian ada Rangga sekarang, bisa pinjem dia."
"Kamu udah baikan sama dia?"
"Baikan? Aku?"
"Iya. Dulu keliatannya kamu gak begitu suka sama Rangga."
Begitu ya? Justru aku lebih terkejut karena tidak lagi membenci si mantan kampret satu itu. Aneh!
"Mungkin penilaian aku bisa berubah sama orang lain."
"Oh gitu ya? Hati-hati loh, fansya Rangga kan brutal-brutal. Jangan sampe kamu terlibat sama mereka."
"Iya Kang. Selama ada Rangga di samping aku, semuanya pasti baik-baik aja. Oh iya Kang, udah dulu ya, aku masih ada urusan."
Aku bangkit membawa gelas berisi jusku untuk pergi meninggalkan Kang Ikal. Tak nyaman kini yang aku rasakan jika dekat dengannya.
"Nila." Kang Ikal memanggilku. "Sekarang kamu suka sama Rangga ya?"
Kini senyuman yang kuperlihatkan bukanlah senyuman atas dasar keterpaksaan, melainkan senyuman tulus dan bangga.
"Kayaknya Akang salah deh, Rangga yang suka sama aku, dari dulu."
Iya. Aku mau melafalkannya keras-keras. Laki-laki yang melulu akan ketenaran dan keterampilan luar biasa itu, nyatanya hanya mencinta satu perempuan yang sama sejak dulu.
****
Selain menghadiri premiere film terbaru Rangga, tak jauh dari hari itu, Rangga berulang tahun. Dia termasuk laki-laki yang tak acuh dengan hari lahirnya, mungkin kali ini berbeda, bisa saja Rangga merayakan ulang tahunnya bersama para penggemar. Bukankah hal seperti itu biasa dilakukan para artis?
Lilin aromaterapi menjadi pilihan barang yang akan kubungkus kertas kado untuk diberikan padanya. Super mal yang pernah kudatangi dengan Rangga dulu menjadi tempat pilihanku, waktu itu saat kami berkeliling, Rangga sempat melihat-lihat jajaran lilin aromaterapi dan kupikir tak ada salahnya menjadikan lilin itu sebagai hadiah. Apalagi suasana di dalam apartemennya seperti tidak hidup dan kaku, dengan ini semoga rasanya bisa lebih hidup.
Sehabis itu, aku tak sengaja melihat sosok wanita dan seorang remaja perempuan sedang berada di dalam toko pakaian terkenal. Aku menghampiri mereka karena keduanya tak asing di mataku.
"Tante Yuli," sapaku.
Wanita yang kupanggil Tante Yuni itu memalingkan wajahnya ke arahku. Ia terlihat terkejut dan tersenyum lembut.
"Loh, Nila, kamu ada di sini toh," katanya.
Aku terkekeh dan menyalaminya.
"Kak Lala!" Anak perempuan yang bersama Tante Yuli pun menyapaku dengan panggilan khasnya padaku.
"Luna!!!" Kataku. "Kamu udah gede aja ih!" Kataku lagi sambil mencubit pipinya yang chubby.
"Udah lama Tante gak ketemu kamu. Gimana kabarmu, Nak?"
"Baik Tante. Tante sendiri gimana?"
"Alhamdulillah." Tante Yuli terus saja melihat ke arahku. "Tante kangen, kita makan siang bareng yuk."
"Boleh Tante. Tante belanja aja dulu, aku temenin."
****
Tante Yuli memberondongiku dengan beragam pertanyaan, mulai dari kabar kedua orang tuaku, bagaimana kuliahku, hingga hubunganku dengan Rangga.
"Rangga yang ngotot pingin pindah ke Bandung, kuliah di kampus Kakeknya, Tante juga gak bisa larang dia sekarang," terang Tante Yuli.
Yayasan yang menaungi kampusku itu adalah milik Kakeknya Rangga, bisa dibilang Kakek Tirinya. Ibu dari ayahnya Rangga menikah lagi dengan cinta pertamanya saat SMP ketika keduanya pernah gagal dalam membina hubungan rumah tangga dengan lain orang. Dan kisah cinta keduanya pun abadi hingga Nenek Rangga meninggal.
"Dari dulu Rangga gak pernah deket sama Kakeknya, tapi ya sekarang mau gimana lagi, cuma dia penerus usaha Kakeknya."
Aku menyimak cerita Tante Yuli. Entah apa yang menjadi latar belakangnya, tapi Rangga memang tak dekat dengan Kakek tirinya yang super kaya itu. Dari cerita Tante Yuli, Kakeknya tak memiliki anak bahkan cucu, walaupun bukan dari darah dagingnya sendiri, tapi Kakek Tirinya itu sangat menyayangi cucu-cucunya, meskipun cara beliau mendidik cukup tegas, maklum, beliau veteran.
"Tapi kenapa sekarang Rangga mau Tante?" Tanyaku.
"Masa kamu gak tau?"
Aku menaikkan kedua alisku memasang wajah aku-memang-gak-tau-Tante. Dagu Tante Yuli terangkat lalu mengarah padaku dan tersenyum malu-malu. Hal tersebut membuat kedua mataku hampir saja melompat dari tempatnya.
"Gak mungkinlah Tante." Kataku. Seberapa besar memang pengaruhku pada kehidupan Rangga. Laki-laki itu memang menyukaiku, tapi tidak sebesar itu juga.
"Lalu siapa lagi yang dia cari di Bandung selain kamu? Lagian sekarang kan dia gak akan kerja di dunia entertainmen lagi, mau ngurus perusahaan Kakeknya di Bandung setelah beres kuliah, itung-itung ngegantiin mendiang Papahnya."
Mendiang?
"Maksud Tante apa?" Kataku penasaran.
Wajah Tante Yuli memperlihatkan ekspresi terkejut dan seolah-olah ia baru saja mengucapkan kalimat rahasia.
"Kamu gak dikasih tau Rangga ya?"
Aku menggeleng. Tante Yuli sedikit menunduk, ia menghela nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
"Papahnya Rangga kecelakaan di Bandung waktu mau pulang kerja. Di jalan jantungnya kambuh dan...."
Tante Yuli tak melanjutkan kalimatnya, aku pun sudah tidak fokus dengan ucapan Tante Yuli. Kepalaku tiba-tiba saja berat dan berputar, telingaku berdengung yang semakin kemari, semakin sunyi dan senyap.
Tanpa sadar, ada lelehan air mata mengalir di atas pori-pori wajahku. Mataku kemudian buram dan berat, ada sesuatu yang tercekat ditenggorokanku hingga mulutku hanya bisa terbuka tanpa melontarkan kata-kata.
Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, tentang alasan Rangga menghilang dulu. Mungkinkah karena ini semua?
‘Gak apa-apa, sekarang ada aku,’
‘Gak perlu, selama ada aku, kamu gak perlu ngeluarin uang.’
‘Kamu gak perlu susah kalau ada aku.’
****
Suara panggilan tunggu dari ponsel Rangga masih berbunyi, pertanda laki-laki itu belum juga mengangkat panggilan teleponku. Sudah lima kali kuhubungi, tapi dia tidak membalasnya.
Hingga suara panggilan tunggu itu berakhir dan berganti dengan suara berat seorang laki-laki yang memanggil namaku.
Air mataku lagi-lagi meleleh setelah suara Rangga bisa kudengar via telepon. Bagaimana pun kini rasanya cemas, sedih, marah, dan merindukan laki-laki itu.
"Kenapa Ta?" Tanyanya dengan nada khawatir yang kentara.
"Kamu dimana?" Tanyaku tidak jelas. Suaraku parau akibat tangis yang tak henti-henti seharian ini.
"Aku di Jakarta. Ada masalah apa, Ta? Kamu nangis? Kenapa? Nanti aku pulang cepet ya, kamu tunggu aja."
Iya. Aku tak perlu takut Rangga pergi lagi, katanya ia berjanji akan pulang menemuiku. Iya. Aku pun tak perlu sedih karena Rangga akan datang padaku. Tapi, aku masih marah padanya karena selalu berjuang sendiri di belakangku. Ditambah, kini aku merindukannya.
"Ta!" Kembali Rangga memanggilku.
"Cepet pulang," rengekku. "Aku mau ngomong sama kamu."
"Iya-iya, lusa aku pulang. Kamu tunggu ya."
"Pulang!"
"Iya."
Pulanglah. Aku akan menunggumu, kali ini dengan merindukanmu. Tanpa membencimu atau kecewa padamu. Pulanglah. Karena akupun kini tak bisa melupakanmu.
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu