Di salah satu aula kampusku, berkumpul kerumunan orang-orang yang sedang mengantri entah untuk apa. Aku baru saja tiba di kampus untuk mengembalikan buku-buku perpustakaan karena sudah jatuh tempo peminjaman, tapi kerumunan orang-orang itu sedikit membuatku tertarik.
“Nila!!!”
Suara Sinta yang memanggilku kini menjadi perhatianku selanjutnya. Tak jauh dari kerumunan tadi, kulihat Sinta dan Bram ikut mengantri untuk masuk ke dalam aula. Lantas, aku pun menghampiri mereka.
“Ngapain kalian berdua di sini?” tanyaku.
“Kamu juga ngapain di kampus? Kan gak ada kelas hari ini,” tanya Sinta.
“Atau jangan-jangan, kamu sengaja datang untuk menonton Rangga.” tambah Bram.
“Hah? Rangga?”
“Kamu gak tau ya? Rangga kan jadi bintang tamu acara anak Psikologi tuh.”
“Iya, ada acara talk show sekarang dan Rangga menjadi bintang tamunya. Nila ikut ya?” ajak Bram.
Walaupun predikat Rangga sebagai artis terkenal dan multitalenta itu santer terdengar olehku, tak pernah sekali pun aku benar-benar memperhatikannya ketika di atas panggung. Waktu pertama kali aku bertemu dengannya, saat itu kepalaku hanya dihantui pertanyaan ‘kenapa si mantan kampret itu harus muncul lagi?’. Sehingga, aku tidak memperhatikan Rangga di atas panggung dulu.
Rasanya cukup penasaran, melihat siapa Rangga di atas panggung yang selalu dielu-elukan banyak orang itu. Aku mengenal Rangga sebatas seseorang yang tertutup dan tak tersentuh. Kini ia menjelma dan memamerkan dirinya sebagai sosok Rangga yang lain, yang tak pernah kuketahui sebelumnya.
Satu tahun bersamanya memang tidak cukup untukku mengenal Rangga lebih dalam. Memahami dirinya atau bahkan menjadi bagian dari dirinya. Aku menjadi tersadar, mungkin perpisahan kami tidak sepenuhnya salah laki-laki itu. Dulu aku terlalu mencintainya tanpa dasar. Menganggap bahwa hari-hari yang kulalui akan terus dengannya, padahal harusnya aku bertanya juga padanya, tentang perasaan Rangga sendiri padaku.
Bisa saja dia bosan, atau aku terlalu mengekang hingga membuatnya pergi meninggalkanku. Tak seharusnya perpisahan kami dibebankan atas kepergian Rangga, harusnya aku juga memikirkan bagaimana diriku dulu. Mungkinkan aku terlalu menyebalkan baginya?
“Yuk! Kita nonton dia.”
****
Percayalah sayang, berpisah itu mudah….
Tak ada kamu di hidupku, aku mampu….
Namun menghapuskan semua kenangan kita….
Adalah hal yang paling menyulitkan untukku….
Tangan-tangan itu memetik senar gitar hingga membuat satu pola nada yang enak didengar. Wajah yang biasanya dingin dan minim ekspresi itu kini seolah mengajak para penontonnya untuk ikut mendendangkan lagu yang ia bawakan. Senyuman yang dulu hanya untukku seorang, kini berganti menjadi milik semua orang.
Selesai dengan lagu yang ia bawakan, pembawa acara yang sejak awal acara duduk di kursi yang sama mengajak Rangga untuk berbincang-bincang sebelum menutup acara hari itu. Rangga menyimpan gitarnya di samping, ia mengambil pengeras suara. Orang-orang dari golongan penggemar Rangga garis kelas mulai senyap dan melihat ke arah panggung dengan seksama, berbeda sekali dengan tingkah mereka sebelumnya.
“Oke Rangga, berbicara soal perpisahan. Ada gak sih satu momen perpisahan yang buat kamu gak bisa lupain sampai sekarang?” tanya pembawa acara itu.
“Emm….” Rangga seolah memikirkan sesuatu. “Ada satu-satunya yang gak bisa aku lupain sampai detik ini,” jawabnya.
“Wah! Jangan-jangan gagal move on nih!”
“Hahahaha….”
“Bisa gak Rangga ceritain momen perpisahan itu? Sejak kapan dan apa sih yang kamu rasakan sampai saat ini?”
Rangga mulai bercerita.
“Tadi aku juga ikut mendengarkan diskusi tentang usia dewasa awal. Masa transisi antara remaja yang masih seneng-senengnya maen, tiba-tiba pas masuk kuliah yang beda banget dari lingkungan sekolah pasti bikin kita tertekan kan. Nah, justru di saat-saat seperti itu, aku dibebankan oleh perpisahan dengan cinta pertamaku.”
Sontak seluruh isi aula itu berteriak kegirangan oleh ucapan Rangga. Sementara aku tidak berkata apa-apa, ingin mendengar siapa cinta pertamanya.
“Waktu itu mungkin kita sama-sama lagi jatuh cinta, gak pernah kepikiran sama sekali soal putus. Apalagi waktu itu kita masih sama-sama kelas satu SMA, masih bocah dan pingin seneng-seneng aja tiap hari. Tapi suatu hari, banyak banget masalah yang aku hadapi, sampai-sampai harusnya aku menikmati masa remaja kayak anak-anak pada umumnya, ternyata, setelah hampir setahun kita pacaran, aku harus keluar sekolah dan mulai kerja di umur belasan.”
Seperti ikan yang kehilangan lautannya, aku mulai cemas dan salah tingkah juga meramalkan apa yang akan Rangga katakan selanjutnya.
“Tadinya aku coba untuk tetap berhubungan sama cinta pertamaku itu, tapi kalau semakin aku mengeratkan genggamanku, takutnya dia akan terluka. Jadi akhirnya aku pergi diam-diam dan melepasnya.”
“Bisa dibilang, Rangga yang melepasnya ya? Lalu, cinta pertama itu masih kamu hubungi atau kalian jalan masing-masing aja?”
“Beruntungnya, sekarang aku menemukan kembali cinta pertamaku. Walaupun susah buat dia percaya lagi, tapi pada akhirnya aku memang gak bisa melepasnya. Ingatan tentang dia yang gak bisa aku lupain sama sekali. Persis seperti lagu yang tadi aku bawakan, perpisahan itu mudah, mudah banget, yang susah itu membuang kenangannya. Karena kenangan itu nempel di dalam memori, kita gak akan mungkin lupa, yang bisa kita lakukan cuma menimbunnya.”
“Iya betul sekali. Mendengar cerita soal cinta pertamanya Rangga ini buat saya jadi ikut mengingat-ingat kembali. Baiklah, sebelum kita tutup sesi ini, untuk terakhir kalinya deh, apa yang pingin Rangga katakan buat cinta pertamanya. Mungkin dia ada di sini juga ikut nonton acara ini?”
“Satu yang pingin aku katakan, makasih untuk selalu bisa menguatkanku sampai sekarang. Sekarang kita berjuang sama-sama lagi ya.”
“Wahhhh!!!”
Suara penggemar Rangga semakin memeriahkan acara penutupan hari itu. Selanjutnya, Rangga kembali menyanyikan sebuah lagu untuk menutup acara seminar kali ini.
”Kamu gak perlu susah kalau ada aku.”
“Yang namanya pacaran itu harus berjuang bareng-bareng, Ga. Jangan selalu berusaha sendiri, kan ada aku sekarang.”
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu