Setelah kami berkutat dengan pusingnya soal-soal ujian. Hari ini, sekolah cukup heboh dengan berita Mila yang baru saja memenangkan perlombaan cheersleader tingkat SMA. Itu hal yang sangat membanggakan, dan membuat Mila menjadi lebih populer. Semenjak insiden dulu, Mila jarang bertemu lagi dengan Davi. Dan hari ini, untuk pertama kalinya dia datang ke kelas kami sebagai perwakilan Osis.
“Beberapa bulan lagi Ujian Nasional untuk kelas tiga. Aku sebagai pengurus Osis mau minta dua orang perwakilan kelas ini untuk ikut rapat nanti sore,” katanya. “Oh iya, aku juga mau minta ketua kelas untuk membagikan selebaran ini, dan poster untuk dipasang di kelas.”
Mila memperlihatkan setumpuk kertas juga gulungan poster yang entah apa isinya. Davi pun berdiri menghampiri Mila. Kurasa Mila tidak tahu jika Davi ada ketua kelas kami karena sekilas raut wajahnya cukup terkejut.
“Oke,” kata Davi menanggapi dan mengambil selebaran yang dibawa Mila.
“Makasih, Dav. Kalau gitu aku pamit dulu.”
Setelah itu Mila pergi, ekspresinya tidak dibilang baik-baik saja. Kupikir penolakan secara tidak langsung dari Davi memberikan efek tertentu bagi dirinya. Davi pun lantas membagikan selebaran tersebut, ia juga memasang poster di papan pengumuman yang letaknya di samping papan tulis dekat dengan pintu kelas. Sebagai sekertaris aku sering mengecek perlengkapan kelas, termasuk selotip, gunting, dan hal-hal lain yang kurasa akan berguna di lain hari.
Setelah selebaran itu berada di tanganku. Aku membaca judul di atasnya.
“Pensi,” seruku.
“Pensi buat perpisahan kelas tiga juga ya,” kata Prisil. “Jadi kita diminta buat jadi anggota panitia buat acara ini?”
Aku mengangguk. “Kayaknya sih,”
“Temen-temen, sesuai dengan yang ada di selebaran, aku minta perwakilan buat ikut rapat sore nanti,” kata Davi.
“Ya udah sih, Dav. Kamu aja,” kata Raka.
“Iya, lagian kamu deket juga kan sama ketua Osis,” tambah yang lain.
“Oke deh. Terus siapa yang mau temenin aku, kamu Ka?” tanya Davi pada Raka.
“Urang (aku) ekskul, Dav,” tolak Raka.
“Tasya aja. Dia kan sekertaris,” ucap Mia membuatku terkejut mendengarnya.
“Hah?!” gumamku. “Kok aku terus sih.”
“Yang mau PDKT kan bukan kita, Sya,” gumam Prisil.
“Bukan aku juga,” elakku.
“Oh oke deh. Sya, nanti kita ikut rapat ya?” ajak Davi memanggil namaku.
Aku menoleh padanya. Bagaimanapun kalau aku menolak, semuanya akan lebih lama lagi. Meski berat hati, aku iyakan ajakannya.
Aku memang ingin mengatakannya pada Davi, tentang perasaanku. Tapi bukan berarti aku sedang dalam periode PDKT dengannya. Aku sedang menyiapkan hatiku agar terasa baik-baik saja jika di dekat Davi, namun jika terus-terusan aku bersamanya, hatiku tak akan pernah biasa saja.
~KALA SENJA~
“Tasya mau baca apa buat besok tugas Bahasa Indonesia?” tanya Davi ketika kami akan pergi ke Ruang Osis.
“Kayaknya sih puisi aja. Aku gak jago baca puisi, tapi puisi teksnya sedikit,” jawabku.
“Gak pantun? Teksnya juga lebih sedikit.”
“Tadinya mau sama Prisil. Eh dia udah janjian baca pantun berdua sama Citra. Mia udah berdua sama Raka.”
“Ohh.”
“Davi sendiri?”
“Emm, kayaknya aku juga puisi. Raka udah di ambil sama Mia tuh.”
“Hahaha….”
Tak lama, kami pun sampai di Ruang Osis. Letaknya berada di gedung belakang sekolah, berada di samping lapangan. Gedung ini lebih kecil dari gedung utama, dan sengaja dibangun untuk basecamp setiap ekstrakulikuler di sekolahku.
Ruang Osis letaknya berada di paling ujung dari gedung ini, dan paling luas juga. Ketika aku dan Davi masuk, sudah ada beberapa orang yang datang, beberapa juga aku kenal karena pernah satu kelas dulu.
Setelah semua orang berkumpul. Ketua kelas pun memulai rapat hari ini. Intinya, perwakilan setiap kelas dua di minta partisipasi untuk acara Pensi nanti. Dan beberapa di minta untuk membantu Osis menjadi panitia pensi. Selain dari anak kelas dua, ada beberapa anak kelas tiga yang ikut berpartisipasi sebagai perwakilan.
“Aku masuk divisi logistik pasti butuh banyak tenaga cowok. Kalau Tasya?” tanya Davi begitu rapat selesai dan kami di minta untuk memilih divisi yang akan kami masuki.
“Kayaknya aku dekorasi,” jawabku. “Beberapa temenku waktu kelas satu minta aku bantuin bagian dekorasi.”
“Oke deh kalau gitu. Oh iya, jangan lupa yang tadi dicatat buat dibicarain sama anak kelas.”
“Iya.”
Begitu aku dan Davi selesai berbincang seseorang memanggil namaku.
“Kamu Tasya kan?” tanyanya.
Aku mengangguk. Orang ini yang kulihat tadi sedang berbicara di depan sebagai perwakilan kelas tiga.
“Iya Kak ada apa ya?” tanyaku.
“Kenalin aku Edgar.” Senior yang bernama Kak Edgar itupun mengulurkan tangannya.
“Iya.” Aku menyambut uluran tangannya.
“Anu…. Aku suka sama kamu, Tasya.”
“Hah?!”
Kontan saja seisi ruangan tersebut mengalihkan perhatiannya pada kami. Dan selanjutnya terdengar rius seisi ruangan menyorakiku dan kakak kelasku ini.
“Ciee!!!!”
“Gar, maneh mah tereh lulus oge masih nyekil keneh,” kata salah seorang dari mereka yang artinya ‘Gar, udah mau lulus juga masih aja pdkt.”
“Naon sih (apa sih),” protes Kak Edgar.
Dari semua orang yang berada di sana, hanya akulah yang terpaku saking kagetnya. Jelaslah, sejak aku lahir, baru pertama kali ada orang yang menyatakan perasaannya padaku dengan sangat berterus terang. Apalagi aku tidak mengenalnya sama sekali.
Apa mungkin ini hanya sebuah candaan semata? Atau senja kini sedang memberikan kejutan terhebohnya padaku?
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas