17 bulan yang lalu
Suatu malam di bulan Juni Ibu bertanya dengan sorot mata yang khawatir,”Apa yang sedang kamu kerjakan selarut ini Na? Mengapa kamu tidak beristirahat?” Aku selalu menjawab pertanyaan Ibu dengan senyum simpul. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku sedang berusaha mengejar impianku yang tidak disetujui oleh Ayahku. Impianku menjadi seorang model profesional.
Beberapa hari kemudian, saat aku sedang latihan berjalan dan berpose, tanpa kusadari pintu kamarku sedikit terbuka, padahal aku yakin telah menutupnya rapat-rapat. Aku menjadi resah dan tidak dapat tidur, aku takut Ibu melihatku latihan namun aku juga tidak berani untuk berbicara dengan Ibu dan menanyakannya. Keesokan harinya Ibu tidak membicarakannya. Ibu bersikap seperti biasanya, seakan tidak melihat ada hal aneh yang terjadi semalam. Aku semakin kalut. Akhirnya setelah mengumpulkan segenap keberanian yang kumiliki, aku mengajak Ibu berbicara pada sore harinya, saat Ayah belum pulang ke rumah. “Ibu, apakah Ibu melihat apa yang kulakukan semalam?” tanyaku pada Ibu. Ibu memandangku dengan sorot mata bingung cukup lama lalu tersenyum dan bertanya,”Melihat apa? Ibu bahkan tidak ke kamarmu semalam.” Aku tetap tidak percaya, namun aku tidak mampu bertanya lebih lanjut dan memutuskan untuk mempercayai ucapan Ibu.
Beberapa minggu kemudian aku mendapat tawaran untuk menjadi model di sebuah acara pergelaran busana yang diadakan oleh sebuah brand baru di pusat kota. Aku membohongi keluargaku dengan mengatakan bahwa aku harus melakukan studi lapangan ke pusat kota. Dan aku membohongi guru dan teman-temanku dengan mengatakan bahwa aku harus mengunjungi pamanku yang sedang ditimpa musibah. Ibu, Ayah, dan pihak sekolah tertipu dan mengizinkanku untuk pergi. Akhirnya aku dapat pergi. Berkali-kali aku pergi dengan cara membohongi semua orang. Sampai-sampai lidahku yang awalnya kaku menjadi terbiasa dengan kebohongan, seakan-akan semua kebohongan yang kukatakan merupakan kejujuran.
Pada akhir bulan September, aku resmi menjadi mahasiswa di sebuah universitas di Bandung. Aku tinggal sendiri dan jauh dari keluarga, walaupun demikian kami selalu berkomunikasi. Pada bulan November, Ibu semakin intens mengirimiku pesan teks dan menanyakan kapan aku akan pulang ke rumah, namun aku tidak pernah memberi jawaban pasti. Hingga akhirnya aku menerima panggilan telepon dari rumah sakit saat aku berada di Jakarta. Aku mendapat kabar bahwa darah tinggi ibu kambuh sehingga pembuluh darah di kepala Ibu pecah dan Ibu berada dalam kondisi kritis. Aku menyelesaikan pemotretanku secepat mungkin, dan segera menuju rumah sakit. Akhirnya aku sampai 8 jam kemudian setelah menempuh perjalanan darat dan laut. Namun ketika aku sampai di kamar Ibu, Ibu sudah meninggal. Hati dan pikiranku terasa kosong. Duniaku hancur dalam sekejap. Ini semua salahku. Seandainya aku pulang sekali saja. Seandainya aku dapat merawat Ibu, mungkin hal ini tidak akan terjadi.
*Bersambung ke cahaya peri 3 dan kebangkitan