Aku membaca daftar yang ku dapat pagi ini. Jarang sekali aku hanya mendapat tiga tempat yang harus ku datangi dalam sehari. Aku melihat waktu yang tertera di sana.
Oh! 10 menit lagi aku harus tiba di area perkotaan. Dengan itu, aku segera meluncur ke lokasi.
Di sebuah rumah, aku melihat seorang anak tengah mengepel lantai. Sementara itu, ibunya duduk di atas kasur sambil mengamati.
“Yang di sana belum kena,” tunjuk ibunya pada kolong meja. Kemudian anaknya berjongkok mendorong kain pel ke arah yang diperintahkan ibunya.
“Kalau ibu mengepel hasilnya kotor sekali..” cerita ibunya.
Aku merasakan aura yang lain menguar dari tubuh anaknya. Ia sedang kesal dan berpikir bahwa ibunya bermaksud mengatakan bahwa hasil bersih-bersihnya tidak sebaik yang dilakukan ibunya. Lantas aku membisikan sebuah kalimat.
“Kalau begitu besok-besok ibu saja yang mengepel ya?” ujar sang anak.
Aku tersenyum kemudian pergi meninggalkan rumah itu.
Berselang lima menit kemudian, aku melihat suami istri yang sedang makan siang di rumah mereka yang tampak sangat sederhana. Namun itu terlihat kontras dengan cincin emas yang melingkar di jari manis sang istri dan kalung emas berliontin hati yang terpasang di lehernya.
“Nanti aku bantu.” Sang istri berkata sambil mengunyah tempe goreng. Aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakan, sepertinya aku terlambat tiba di sini. Namun secara natural, aku terpikirkan sesuatu, lantas ku bisikan pada sang suami.
“Tak usah. Kau di rumah saja menghabiskan uang-uang yang aku berikan.”
Ku rasa sudah cukup, karena kemudian sang istri bungkam.
Kunjungan terakhir berjarak tiga jam lamanya. Lumayan, aku bisa bersantai cukup lama di rumah sembari menunggu sore hari. Jarang sekali aku mendapat banyak waktu luang seperti ini. Biasanya jadwalku penuh untuk mengunjungi satu tempat, mengamati percakapan beberapa orang, lalu mengerjakan tugasku, dan kembali berpindah ke tempat lainnya. Pekerjaanku baru akan sepi menjelang larut malam, saat dimana orang-orang mulai beranjak tidur.
Kali ini aku datang ke sebuah kantor. Lebih tepatnya ruangan direktur yang bertubuh tambun. Aku diam menunggu sesuatu yang mungkin terjadi, tetapi laki-laki dengan nametag bertuliskan “Mr. Radian” itu hanya fokus pada laptopnya. Hm.. Sepertinya aku akan berhenti lebih lama di sini.
Pintu diketuk, lalu masuklah seorang perempuan berusia sekitar 25 tahun dengan kemeja dan rok hitam selutut. Laki-laki yang tampak obesitas di perutnya ini menghempaskan tubuhnya ke kursi, lantas menyandarkan punggung sepenuhnya sehingga sandaran kursi itu tampak sangat condong ke belakang. Ia melipat kedua lengannya di dada.
“Selamat pagi, mbak,” sapa Mr. Radian dengan senyum. Mantap sekali. Aku berani bersumpah, tumbuhan lamtoro pun tahu jika ini sudah sore lewat adaptasi niktinasinya yang membuat daun-daunnya menguncup.
“Maafkan saya baru datang, pak.” Karyawan perempuan itu menunduk dalam.
“Oh tidak apa-apa kok. Sudah biasa ‘kan telat seperti ini?” Ugh! Sadis sekali. Ya Tuhan, aku tidak mengajarkan laki-laki ini apa yang harus diucapkan tapi ia sudah mengucap dengan sendirinya.
Perempuan itu tampak ingin menangis. “Maaf pak, ada sedikit masalah pribadi tadi.”
Mr. Radian mengangguk-angguk. “Masalahnya bukan itu, Lin. Kau melakukan kesalahan dalam menuliskan alamat perusahaan yang akan bermitra dengan kita. Berkas yang kau kirim minggu lalu tidak sampai hingga seminggu. Tadi pagi, perusahaan itu menelepon, mereka membatalkan kerjasamanya dengan kita.”
Aku merasakan aura Mr. Radian kembali sabar saat menerangkan permasalahannya. Ya, setidaknya ia tidak langsung menggampar perempuan itu karena menghilangkan proyek kerjasama dengan mitranya yang bernilai ratusan juta.
Perempuan itu akhirnya mendongak. Raut wajahnya dipenuhi rasa bersalah. “Benarkah? Aku tidak tahu,” ujarnya.
Mr. Radian bernapas menahan emosinya. Di sinilah waktuku untuk bertugas.
“Lin, aku memaklumi jika kau punya masalah pribadi. Maka dari itu, beristirahat saja ya di rumah,” ucap Mr. Radian mengikuti bisikan naluriku.
“Maksud bapak, saya dipecat??” Lina—perempuan itu—menatap tak percaya.
Mr. Radian mengangguk sembari tersenyum. “Silakan kemas barang-barangmu, Lin. Senang bekerjasama denganmu,” tambahnya. Lina mohon izin untuk pamit. Air mata bercucuran dari pelupuk matanya. Sekilas, aku merasa kasihan, tetapi apa itu kasihan? Bukankah aku hanya mengerjakan tugas? Aku tidak bisa memiliki perasaan seperti ini.
Di dalam ruangan Mr. Radian pun membereskan barang-barangnya lalu keluar ruangan. Aku mengikuti laki-laki itu menyusuri jalan. Aku tidak benar-benar tahu apa yang sedang ku lakukan, hanya penasaran saja. Lagi pula, waktuku sedang senggang. Kapan lagi aku bisa berjalan-jalan santai seperti ini? Barangkali Mr. Radian sedang menuju kedai kopi atau tempat hiburan lainnya.
“Kenapa kau terus mengikutiku?!” Aku terlonjak saat Mr. Radian tiba-tiba berbalik badan dan membentakku. Eh, tunggu! Dia membentakku?
“Kau bicara denganku?” tanyaku sambil melambaikan telapak tangan di depan wajahnya.
“Tentu saja! Memang siapa lagi yang ada di sini?!” sungutnya. Aku menoleh ke belakang dan benar, tidak ada siapapun lagi selain aku dan dirinya. Wah, ini hebat. Selama aku tinggal di dunia, tidak ada satu pun yang menyadari kehadiranku.
“O-oh, iya," ucapku terbata, tak ingin menegaskan kembali pertanyaan mengapa ia bisa melihatku. Biar saja, ini istimewa karena aku sangat jarang bisa mendapatkan perhatian dari target-targetku.
“Hei, aku tanya kenapa kau mengikutiku?” tanyanya lagi, membuatku bingung jawaban apa yang sesuai untuk skenario ini. Aku tidak pandai membuat skenario sendiri, kecuali jika itu sudah perintah dari atas.
“Memangnya tidak boleh kalau aku—”
“Tidak boleh! Pergi kau!” bentaknya. Aku terlonjak lagi. Tak ku sangka, pertama kali diperhatikan, aku justru dicampakkan secepat ini. Ah.. ini menyakitkan.
“Kalau begitu aku minta maaf. Aku akan pergi, tapi aku tidak bisa mencegah jika anggota koloniku yang lain kembali mendatangimu…“
“Koloni apa?”
“…asal kau tahu, bukan kami yang mendatangimu tapi kau yang membutuhkan kami.” Mr. Radian memandangku bingung. “Ini untukmu. Aku pergi,” ucapku seraya melampirkan sebuah amplop merah ke tangannya.
Aku pergi saat itu juga, meninggalkan laki-laki itu yang memandangku heran. Saat bayanganku tak lagi terlihat olehnya, aku tahu ia mulai membuka amplop merah itu. Akhirnya, seseorang membaca suratku.
---
Namaku Sarkas. Sarkasme atau sarkastik sama saja. Namun aku lebih suka dipanggil Sar, setidaknya itu sedikit menutupi identitasku yang ditakdirkan tidak begitu baik.
Aku banyak dibenci orang, aku membuat mereka sakit hati, tapi ketahuilah bahwa aku adalah ‘orang’ yang paling jujur. Aku membantu mereka yang tidak bisa mengungkapkan emosinya untuk sedikit menyalurkan emosi itu dengan balutan kata-kata manis yang ku bisikan di telinga mereka. Bukankah pekerjaanku terlihat mulia? Ya, hitung-hitung mencegah para manusia dari stres akibat memendam kekesalannya.
Sang pencipta menurunkan aku di era millennial. Ini adalah periode waktu dimana aku menemukan banyak manusia sibuk—sibuk sendiri mungkin juga. Aku melihat banyak tuntutan dari interaksi manusia satu sama lain. Mereka menjadi mudah terpancing emosi.
Tahun kesepuluh aku tinggal di era millennial, aku sadar dunia ini sedang berisi manusia yang gemar sekali menyindir. Baik sindiran secara langsung maupun melalui sosial media yang tumbuh berjamur menjadi ladang buku harian mereka. Sama sepertimu yang sedang membaca ini. Jangan berkelit, aku sudah menemanimu cukup lama.
Apa kau tersinggung? Kalau kau tersinggung, berarti tugasku berhasil.
Sarkas juga boleh berlaku sarkastik, bukan?
---
Aku terkekeh melihatnya begitu khusuk membaca isi suratku. Ya, inilah akhirnya. Dengan terungkapnya identitasku, maka berakhir pula masa hidupku saat ini. Tetapi, jangan lupa bahwa koloni Sarkas akan tetap ada di sekelilingmu.
-The end.