Loading...
Logo TinLit
Read Story - Comatose
MENU
About Us  

Sativa berdiri di sebuah hamparan. Bukan tanah, bukan udara, hanya samudra langit senja yang memabukkan. Gradasi ungu, merah muda, dan kuning, membias sempurna menciptakan nuansa elok yang belum pernah ia saksikan, terasa magis.

 

Ia tak sendiri, beberapa orang lain berdiri di sekelilingnya, sama bingungnya. Mereka berpijak namun seperti terbang, seolah ada lantai tak kasat mata yang menopang.

 

"Selamat datang jiwa-jiwa manusia yang malang!" Terdengar sambutan dari arah depan. 

Mereka melihat sesosok malaikat pencabut nyawa. Jubah hitam legamnya menyelimuti raga, tudungnya menyembunyikan wajah di balik bayangan pekat. Sebilah sabitan besar, berkilau tajam mematikan, senantiasa dalam genggamannya. Aura kematian seharusnya terpancar, namun...
"Apa kabar kalian semua?" katanya santai. Nadanya terlalu ceria untuk ukuran pencabut nyawa.

 

Sativa memutar bola mata.

Serius dia nanya kabar kita? pikir gadis itu sinis. Apa dia pikir kita akan baik-baik aja setelah celaka?

Barulah ia teringat. Oh iya, aku barusan ditabrak truk, berarti... ini dunia apa?

Sativa baru sadar, kemungkinan besar ia sudah bukan lagi manusia jika berada di dimensi aneh ini. Apalagi seorang malaikat pencabut nyawa nyata berdiri di hadapannya. Tak pelak air mata menetes di pipinya.

 

"Eh, nggak usah nangis! Maaf, saya bercanda! Cup cup, jangan sedih, kamu belum mati." Sang malaikat kelam itu malah terlihat kewalahan. Sativa berkernyit heran akan reaksinya yang terlalu manusiawi. Tangisnya terhenti, alih-alih sedih ia lebih ingin tepuk jidat melihat kejanggalan Grim Reaper culun di hadapannya.

 

"Belum mati? Berarti ini dimana?" Sativa bergumam bingung.

 

"Saya Grim Reaper penanggung jawab kalian, panggil aja Cyan. Dan kalian adalah jiwa-jiwa yang tubuhnya sedang terlelap dalam pemulihan. Jadi terlalu cepat untuk bersedih, air matanya disimpan buat nanti aja kalau nggak tertolong lagi." Sosok bertudung hitam itu menenangkan dengan caranya yang... unik.

"Sama sekali nggak bikin tenang loh," komentar Sativa jujur.

 

"Ahahaha, siapa sih kamu? Blak-blakan amat," sosok bertudung itu menunjuk Sativa dengan tawa canggungnya.

 

"Magenta," jawabku asal.

 

"Pfftt!!" Terdengar suara pria menahan tawa dari belakang. Sepertinya ia menyadari sindiran Sativa mengenai nama karangannya yang sama-sama berasal dari golongan warna. (Cyan, Magenta, Yellow, Key/ Black)

 

Sativa melirik asal tawa, merasa ia pasti cepat tanggap. Dilihatnya wujud seorang pemuda tampan berdada bidang yang cukup tinggi, berdiri di kanan belakangnya. Tubuh tegapnya dibalut turtleneck hitam dan celana jeans panjang, membuat pesonanya kian memancar. Sepertinya ia berusia sebaya dengan Sativa.

 

"Kamu... ngeledek saya ya?" Grim Reaper itu baru sadar gurauan Sativa tadi. "Enough, lebih baik pakai absen aja."

Tiba-tiba muncul sebuah buku yang melayang di depan sosok berjubah hitam tersebut. "Yang disebut namanya angkat tangan!" perintahnya.

"Kayak lagi sekolah," gumam Sativa, mulai terbiasa dengan keanehan di sini.

"Marlo? Ada? Risman? Oh itu...Tini? Oke. Sativa?" Grim Reaper terus mengabsen hingga menyebut namanya. Sativa mengangkat tangan dengan malas.

"Danon?" Grim Reaper kembali mengabsen, lalu pria ber-turtle neck hitam di kanan belakangnya mengangkat tangan. Sativa kembali menoleh ke arahnya, dan pandangan mereka bertemu. Pemuda bermata indah itu tersenyum, membuat Sativa kikuk. Dia benar-benar tampan.

 

Danon, namanya Danon. Catat, rekam, amankan! Sativa diam-diam mengukir ingatan itu dalam benaknya. Aura intelektualitas dalam gestur pemuda itu membuatnya semakin terpesona. 

Seandainya aku tidak berjodoh dengan Mr. Rice, dengan cowok itu juga boleh deh, ya Tuhan! pintanya dalam hati, dengan sejuta harapan mengambang.

 

Selesai mengabsen, buku di hadapan Grim Reaper culun itu tiba-tiba lenyap.

"Sekarang saya akan jelaskan alasan kalian dikumpulkan di sini." Ia berkata lantang.

"Kalian adalah jiwa-jiwa yang berada di wilayah saya, Jakarta. Di sini terdapat kuota bagi siapa yang bisa bangkit dari tidur panjangnya, dan yang tereliminasi. Jadi untuk menentukannya, kita adakan permainan," Cyan memberitahu.

"Ada misi yang akan diberi setiap minggu. Bagi siapa pun yang menuntaskan misinya, kalian lolos menuju babak berikutnya. Dan bagi yang tidak, maaf, perjalanan hidup kalian berakhir di sana. Bagi lima orang tercepat, bisa langsung bangun melanjutkan kehidupannya."

Informasi itu membuat para jiwa menjadi tegang, mereka bertaruh nyawa di permainan ini. Tatapan mereka diliputi kecemasan, terkecuali pemuda ber-turtle neck hitam yang mengulas senyum tipis. Terdengar gumaman antusiasnya, "Menarik!"

 

"Tenang, level permainan akan menyesuaikan kemampuan kalian. Untuk permulaan kami beri level termudah." Cyan menenangkan. "Dan misinya tidak lepas mengenai arwah gentayangan. Mereka memang sering mempersulit tugas kami malaikat, jadi kami harapkan bantuan kalian, ya,"  ia membocorkan.

 

Sativa bergidik mendengarnya. Ia tidak takut dengan tantangan, namun tidak ingin berurusan dengan arwah gentayangan. Ia khawatir tidak sanggup mentolerir bentuk mereka yang umumnya mengerikan.

"Ayolah, jangan sombong. Mereka kan jiwa juga, sama kayak kalian," Cyan seperti menjawab ketakutan gadis itu.

"Baiklah, untuk minggu ini saya umumkan misi pertama. Yaitu membujuk 3 arwah gentayangan, untuk mau meneruskan perjalanan kembali ke tempat yang seharusnya. Tuh, jumlahnya sedikit kan, gampang dong!" Grim Reaper itu menyemangati.

"Aturannya... bebas sih. Kalian bisa melakukan apa pun yang kalian mau. Kalian bisa terbang untuk mencari arwah di kota ini, kan banyak tuh. Sisanya kalian boleh menghabiskan waktu sesuka kalian, mau kalian berenang, guling-gulingan, kayang, terserah. Asal jangan rusuh ya, yang akur!" pesannya, seolah mengatur anak TK.

"Sekarang silakan kalian belajar sendiri terbang ke tengah kota dan berpindah tempat, chao!" pamitnya sebelum menghilang.

 

-oOo-

Sativa Illana Mersani

 

Aku berdiri mematung, kebingungan.

Bagaimana caranya terbang ke kota dan berpindah dari sini?

Aku menutup mata dan mencoba membayangkan suatu tempat, danau tenang yang kukenal. Saat mataku kubuka, aku telah di sana. Di pinggir danau dekat rumahku. Di siang terik ini danau itu berkilauan memantulkan cahaya matahari.

"Berhasil!" pekikku kegirangan.

"Selamat!" ucap suara pria di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Danon, pria ber-turtle neck hitam berkarisma, berdiri bersidekap.

"Kenapa kamu ikuti aku?" tanyaku heran, pura-pura keberatan tapi senang.

"Aku merasa akan lebih cepat kalau kita bekerja sama," jawabnya sambil mengulas senyum optimis.

"Kenapa pilih aku?" tanyaku berlagak cuek, padahal tersanjung.

"Soalnya aku tertarik," jawabnya santai, namun berhasil membuatku tersipu, jantungku meletup-letup.

"Sana ah, jangan ikuti aku!" usirku yang kikuk, kewalahan dengan debaran yang berpacu ini.

Sesaat aku melihat suatu sosok melintas bagai bayangan di antara semak-semak. Kesadaran itu menghantam: kami adalah jiwa, dan dapat menjumpai arwah gentayangan kapan saja. Aku refleks menangkap lengan Danon, nyaliku menciut.

"Itu apa?" tanyaku ngeri.

Danon terkekeh melihat reaksiku. "Tuh kan, lebih baik kerja berdua."

"Iya deh, kamu benar. Jangan jauh-jauh ya!" pesanku cemas.

Ia mengucek-ucek pangkal kepalaku sambil nyengir. "Iya iya. Tenang aja." Pemuda itu kemudian menatapku.

"Apa?" tanyaku risih.

"Mau kenalan sama dia?" tanyanya, wajahnya menunjuk ke arah sumber gerakan tadi.

"Kalau seram gimana?" aku ragu.

"Ya risiko! Misi kita memang berurusan sama arwah. Mau berekspektasi apa?" ia mengingatkan. "Tenang, kan bareng aku," ia menepuk dadanya.

"Yaudah sana, kamu duluan!" aku melepaskan lengannya.

Pemuda itu maju dengan yakin. "Permisi, kamu siapa? Boleh kita ngobrol?" tanyanya ramah.

Tak dinyana, yang muncul adalah sosok arwah anak laki-laki kecil yang polos, kira-kira usia SD kelas tiga. Tubuhnya pucat, basah kuyup, dan menggigil. Alih-alih takut, aku merasa iba.

"Nama kamu siapa? Kok basah kuyup begitu?" kini aku yang maju terbawa khawatir, Danon memberiku ruang untuk menggantikannya.

"Aku Edi, aku jatuh ke danau," kata bocah itu sambil gemetar. "Aku harus pulang, Kak, Ibu pasti nyariin."

Perkataannya memantik rasa kasihan yang dalam padanya. Ia yang belum sadar dirinya sudah tiada, malah mengkhawatirkan Ibunya.

 

Mataku berkaca-kaca, menahan miris. "Edi sayang, kamu tahu nggak, semua udah berlalu. Kamu bisa loh pergi ke tempat yang lebih baik," pelan-pelan aku memberitahunya, khawatir ia syok.

 

"Tapi Ibu gimana?" ia mundur. Inilah kekhawatiranku. "Aku maunya sama Ibu!" teriaknya sebelum berlari menghilang dari kami.

 

Aku menatap Danon, panik. "Gimana ini? Kita kehilangan dia. Maaf ya." Aku merasa bersalah.

 

"Nggak apa-apa, percobaan pertama, gagal itu biasa. Justru aneh kalau langsung berhasil," Danon menenangkan rasa bersalahku. "Kenapa kamu pilih ke sini?" tanyanya saat duduk di gazebo tepi danau.

 

"Aku suka tempat ini, sebelumnya sering ke sini." ceritaku sambil duduk di sebelahnya. "Tempat ini melayangkan khayalku..."

"Iya sih, kayak dunia dongeng ya," Danon berasumsi.

"Kayak danau Lochness, tempat Nessie berasal," ralatku akan kesok-tahuannya, membuatnya tersenyum geli. "Jadi penasaran apa di danau lokal kayak begini ada makhluk semacam Nessie ya?"

 

Pemuda itu menatapku dengan pandangan geli. "Kamu emang unik ya."

"Emang," sahutku bangga.

Sesaat aku teringat kakak laki-lakiku yang berprofesi sebagai dokter. Ingin sekali melihat keadaannya.

Bagaimana reaksi abang Naren ya begitu tahu aku kecelakaan? pikirku sambil memejamkan mata.

Saat kubuka mata, aku sudah berada di dalam ruangan perawatan rumah sakit.
Kok aku di sini?

Bola mataku berputar mengamati sekeliling. Kakak laki-lakiku, Narendra, duduk membelakangiku, memegang tangan ragaku. Kepalanya menunduk, matanya sembab.

-oOo-

Beberapa waktu sebelumnya

 

Dokter Narendra melamun di meja kerjanya. Tangannya mendekap mouse, tapi jari-jemarinya membeku, tak bergerak sedikit pun.

Dokter Adiva, rekannya yang menyadari gelagatnya mengkhawatirkannya.

"Gimana kondisi Sativa sekarang?" Tanyanya khawatir.

Pemuda itu mengusap wajahnya, "Masih stagnan. Operasinya sukses, tapi dia belum sadar. Dokter bilang, belum ada perkembangan signifikan," suaranya terdengar lelah.

Adiva bersandar di meja Narendra. "Kamu nggak bisa begini terus. Pikiranmu jelas nggak disini. Lebih baik kamu izin, temani adikmu," sarannya.

"Pasienku butuh aku." Narendra bergeming, idealisme mengakar kuat.

"Pasien memang penting, tapi keluargamu juga. Kamu nggak bisa merawat orang lain kalau pikiranmu sendiri kusut," tambah Adiva, tegas namun penuh perhatian.

Narendra tahu Adiva benar, tapi ada rasa bersalah jika meninggalkan tugasnya.

"Aku bantu izin ke kepala departemen ya, kamu ambil libur." Adiva keluar dari ruangan. Tak berapa lama ia kembali dengan senyum kecil. "Beres! Kamu resmi libur hari ini."

Narendra langsung melepas jas dokternya dan bergegas menuju ke ruang perawatan adiknya.

-oOo-

 

Di dalam kamar perawatan, Sativa terbaring tak bergeming. Wajahnya pucat dengan beberapa selang infus dan alat pemantau di sekitarnya.

Narendra menarik kursi ke samping ranjang, duduk, dan menggenggam tangan adiknya dengan lembut.

"Sativa, gue di sini. Bangun dong, pules banget lu!" suaranya lirih, matanya menatap wajah adiknya dengan cemas.

Gadis itu tidak merespon, mesin pemantau denyut jantung berbunyi stabil, monoton.

Pria itu mengusap jemari adiknya. "Lu bikin gue melankolis, sampai hari ini gue nggak bisa fokus kerja. Adiva sampai maksa gue libur supaya ke sini."

Kembali hening, hanya suara alat medis yang terdengar.

Narendra menghela napas, suaranya sedikit bergetar. "Lu harus bangun Tipee, gue nggak bisa sendirian gini. Lu kan bawel, gue kangen omelanlu. Gue nggak ada teman berantem lagi nanti," ia tersenyum kecil, tapi matanya berkaca-kaca.

Ia meremas lembut tangan Sativa. "Gue tunggu di sini, jadi lu cepat bangun ya."

Sativa tetap diam. Narendra menundukkan kepala, menekan jemari Adiknya ke keningnya sejenak, lalu duduk diam di sana, menemani.

"Lagian lu sih kecentilan, kenapa sih malam itu harus kopdar sama cowok segala. Kalau lu nggak berangkat, mungkin ini nggak akan terjadi," gumamnya menyesali keadaan.

Tanpa ia tahu, jiwa Sativa berdiri di belakangnya, memerhatikan dengan berderai air mata. Danon mengelus bahunya untuk menenangkan kesedihan gadis itu.

Tangis gadis itu malah semakin pecah.

"Aku baru sadar, ternyata batas kita dengan kematian itu tipis banget sekarang," Sativa terisak-isak. "Aku takut. Aku nggak mau mati, nggak sekarang."

"Sama," jawab Danon lugas. "Yang bisa kita lakukan cuma ikuti permainan ini sebaik-baiknya."

"Bawa aku pergi dari sini, Danon. Aku nggak kuat lihat abangku sedih. Dia jadi kelihatan lemah, padahal biasanya dia kuat," pintanya kepada pemuda yang bersamanya.

Danon menggenggam tangan gadis itu, lalu membawanya terbang.

 

Ini pengalaman pertama bagi Sativa. Ia merasa sensasi aneh melingkupinya, bisa terbang tanpa membutuhkan sayap. Ia tetap berpegangan erat pada tangan Danon, takut jatuh.

"Sejak kapan kamu belajar terbang begini?" Sativa mengherankan sikap santai pemuda di depannya.

"Ini juga baru nyoba," Danon tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Sugesti diri aja kalau kamu malaikat, ibu peri, capung, atau mungkin Doraemon. Apa pun yang bisa bikin kamu merasa keren kalau terbang. Semakin kamu percaya diri, terbangmu semakin halus."

Sativa menurut, "Oke, aku fairy, kayak Tinkerbell," sugestinya ke diri sendiri.

Pria itu terkekeh, "Tinkerbell mau terbang keliling kota bareng Peter Pan nggak? Supaya nggak sedih lagi," ia memainkan perannya demi menghibur gadis yang bersamanya itu.

"Kayaknya seru, boleh deh," Sativa mengangguk.

Keduanya menikmati perjalanan udara mereka, antusias melihat keramaian kota di sore hari dari atas. Danon lega melihat Sativa sudah kembali bisa tersenyum.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mimpi & Co.
1455      920     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Aria's Faraway Neverland
3826      1259     4     
Fantasy
"Manusia adalah Tuhan bagi dunia mereka sendiri." Aria adalah gadis penyendiri berumur 7 tahun. Dia selalu percaya bahwa dia telah dikutuk dengan kutukan ketidakbahagiaan, karena dia merasa tidak bahagia sama sekali selama 7 tahun ini. Dia tinggal bersama kedua orangtua tirinya dan kakak kandungnya. Namun, dia hanya menyayangi kakak kandungnya saja. Aria selalu menjaga kakaknya karen...
Perverter FRIGID [Girls Knight #3]
1527      661     1     
Romance
Perverter FIRGID Seri ke tiga Girls Knight Series #3 Keira Sashenka || Logan Hywell "Everything can changed. Everything can be change. I, you, us, even the impossible destiny." Keira Sashenka; Cantik, pintar dan multitalenta. Besar dengan keluarga yang memegang kontrol akan dirinya, Keira sulit melakukan hal yang dia suka sampai di titik dia mulai jenuh. Hidupnya baik-baik saj...
Mentari Diujung Senja
1770      920     2     
Fan Fiction
Dunia ini abu untuk seorang Verdasha Serana Kana. Hidupnya ini seperti dipenuhi duri-duri tajam yang tak ada hentinya menusuknya dari seluruh penjuru arah. Ibunya yang tak pernah menghargai dirinya, hanya bisa memanfaatkan Sasha. Lelaki yang di kaguminya pada pandangan pertama malah jadi trauma baginya. Dia tak tahu harus lari kemana lagi untuk mencari perlindungan Philopophy series : Ba...
Orang Ladang
981      593     5     
Short Story
Aku khawatir bukan main, Mak Nah tak kunjung terlihat juga. Segera kudatangi pintu belakang rumahnya. Semua nampak normal, hingga akhirnya kutemukan Mak Nah dengan sesuatu yang mengerikan.
The Last Mission
621      380     12     
Action
14 tahun yang silam, terjadi suatu insiden yang mengerikan. Suatu insiden ledakan bahan kimia berskala besar yang bersumber dari laboratorium penelitian. Ada dua korban jiwa yang tewas akibat dari insiden tersebut. Mereka adalah sepasang suami istri yang bekerja sebagai peneliti di lokasi kejadian. Mereka berdua meninggalkan seorang anak yang masih balita. Seorang balita laki-laki yang ditemuka...
Memento Merapi
21639      2290     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Rembulan
1259      713     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Putaran Waktu
1004      627     6     
Horror
Saga adalah ketua panitia "MAKRAB", sedangkan Uniq merupakan mahasiswa baru di Universitas Ganesha. Saat jam menunjuk angka 23.59 malam, secara tiba-tiba keduanya melintasi ruang dan waktu ke tahun 2023. Peristiwa ini terjadi saat mereka mengadakan acara makrab di sebuah penginapan. Tempat itu bernama "Rumah Putih" yang ternyata sebuah rumah untuk anak-anak "spesial". Keanehan terjadi saat Saga b...
Cerita Cinta anak magang
601      365     1     
Fan Fiction
Cinta dan persahabatan, terkadang membuat mereka lupa mana kawan dan mana lawan. Kebersamaan yang mereka lalui, harus berakhir saling membenci cuma karena persaingan. antara cinta, persahabatan dan Karir harus pupus cuma karena keegoisan sendiri. akankah, kebersamaan mereka akan kembali? atau hanya menyisakan dendam semata yang membuat mereka saling benci? "Gue enggak bisa terus-terusan mend...