“Yang tertinggal bukan hanya buku, tapi perasaan yang tak pernah selesai dibaca.”
Hari itu hujan turun lebih deras dari biasanya.
Langit seperti membuka seluruh lukanya, dan bumi menampungnya dalam diam.
Yuana tidak ke mana-mana.
Ia hanya berjalan perlahan ke rak buku lamanya—rak yang sudah lama tak ia sentuh, tempat segala hal yang terlalu berat untuk dibaca kembali ia simpan rapi… atau pura-pura rapi.
Tangannya berhenti pada sebuah novel bersampul coklat kusam.
Tidak istimewa. Tidak tebal. Tidak populer.
Tapi tak pernah sekalipun ia pindahkan, apalagi dipinjamkan.
Judulnya sudah agak pudar, tapi hatinya masih hafal:
"**Tentang Seseorang yang Pernah Hampir Aku Miliki.**"
Ia menarik buku itu perlahan.
Dan benar saja, di halaman kesepuluh,
terselip selembar kertas kecil yang mulai menguning.
Tulisannya masih jelas.
Tinta biru yang sedikit pudar, dengan tulisan tangan yang pernah sangat ia kenali.
Tulisan milik seseorang yang pernah memegang hatinya… dan tak pernah ia beri kesempatan untuk tinggal.
“Kalau suatu hari kamu membaca ini lagi…
mungkin aku sudah bukan siapa-siapa.
Tapi aku ingin kamu tahu,
aku tak pernah menyesal mencintaimu dalam diam,
meski akhirnya kau memilih pergi sebelum aku sempat bicara apa-apa.”
Yuana terdiam.
Matanya basah bahkan sebelum ia sempat sadar.