“Beberapa nama tetap tinggal di dada, meski tak lagi disebutkan.” ~~Yuana
Tak ada yang benar-benar bisa menjauh dari masa lalu.
Ia bukan bayangan,
karena bahkan dalam gelap pun,
ia tetap ada.
Bagi Yuana, hujan adalah waktu yang paling jujur.
Ketika langit mulai abu-abu dan udara mengembun pelan di jendela,
ia tahu dirinya tak akan bisa lari ke mana pun.
Hujan, selalu punya cara untuk membongkar yang telah ia simpan bertahun-tahun.
Dan di antara ribuan tetes yang jatuh ke bumi,
selalu ada satu yang mengingatkannya pada cinta yang dulu ia tinggalkan… begitu saja.
Namanya tak pernah disebut lagi.
Tapi suara hujan selalu mengucapkannya dalam diam.
Lirih, lirih sekali,
hingga rasanya seperti bisikan dari ruang yang dulu pernah penuh tawa,
dan kini hanya menyisakan gema.
Sore-sore seperti ini,
Yuana tak butuh banyak hal untuk runtuh.
Cukup satu percik hujan di kaca jendela,
dan semua kenangan itu datang tanpa aba-aba.
Ia teringat bagaimana tangan itu dulu menggenggamnya dengan ragu,
bagaimana tatapan itu menahannya saat ia memilih pergi,
dan bagaimana lelaki itu tidak berkata apa-apa… hanya menerima.
Yuana yang dulu terlalu takut,
terlalu keras kepala,
terlalu yakin bahwa cinta bisa ditinggalkan begitu saja tanpa kehilangan apa pun.
Tapi ia salah.
Dan tak ada yang lebih menyakitkan
daripada menyadari kesalahan
di saat segala sesuatu tak bisa diulang.
Sejak hari itu,
setiap kali hujan datang,
Yuana kembali menjadi gadis yang menyesal.