Tiba pada suatu hari, hari yang tak kuberi nama di tahun 2014. Aku lupa, itu hari apa?
.
Koper- koper besar sudah menghiasi seisi rumah, hanya ada perintah berkemas dan sangat jauh tanpa tahu kepergian kami akan berapa lama. Yang kutahu, kami tidak sedang berlibur.
Banyak air mata di hari kami meninggalkan rumah, bandara menjadi tempat yang menakutkan. Keluarga mengantar namun dengan ketidak relaan apalagi nenek, beliau selalu mengunjungi kami dengan makanan favorite cucunya.
Dan tanaman ini telah diberi kesempatan mengenal kebun dan taman asing yang lain, untuk pertamakali kami hidup di kediaman yang klasik, semua pijakan berwarna sama, hijau nan rindang, kawasan itu terjaga, terdapat aturan dan kediaman yang diberi nomor serta besar kecilnya rumah tergantung jabatan. Pada saat itu, rumah kami paling depan, luas, dan ada pohon jambu di halamannya namun, suram. Tapi yang lebih menyeramkan adalah sekolah, terasa gersang, dipenuhi serangga penggangu, hingga taman-taman elok yang lihai menyimpan dingin serta tega menginjak-nginjak sambil tersenyum, bernyanyi, bahkan sambil mendekat tapi mematahkan.
Awalnya, saat aku menyebut nama dan tanah asalku, mereka tersenyum. Ada tangan yang menggenggam untuk bermain ke sana ke mari. Tapi entah sejak kapan, senyum itu menghilang, dan tangan yang dulu menggandeng, mulai mendorong.Hari berlalu sampai akhirnya kebunnya asing, suara angin pun berbeda, kasar, bernada tinggi dan menusuk tangkaiku. Rasanya daunku terus gugur dan entah berjatuhan dimana, saking kerapnya berguguran. Aku tidak dendam lagi dengan mereka tapi selalu ingat perkataan yang bermacam-macam kalau dipersingkat begini:
"iuhh" lelaki nampak kejijian, "tukang contek" itu kata teman perempuan, "miskin, bajunya itu-itu saja". Mau aku perjelas, pada saat itu adalah pertamakalinya keluarga kami merantau jauh, kedua jiwa yang menumbuhkanku amat sangat sibuk. Anak-anaknya masih sangat kecil, menata diri sendiri saja belum pandai, jadi mandiri dengan memahami.
Tanah kedua itu, hanyalah tempat singgah, sebuah kebun yang harus menjadi tujuan karena angin bernama "tugas negara" sedang meniup salah satu dari dua jiwa yang menumbuhkanku. Tanaman ini tak mengerti apa-apa, hanya melanjutkan, belajar menerima cahaya, dan tabah karena kedatangan tak selalu diisi riang terus-terusan. Ia terpaksa tumbuh di tanah terpencil dan lemah karena tak di peluk ramah selama enam tahun bertumbuh singgah di kebun terpencil.
Dari tanah inilah yang membuatnya mengenal suatu musim yaitu, bertahan bukan tumbuh. Sempat aku ingin merunduk dalam diam supaya tanaman sepertiku lenyap tanpa jejak, tak susah payah mekar di kebun penuh tuduh.
Di suatu malam, anak yang masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar tengah mencicipi obat nyamuk bakar dengan sengaja. Waktu yang amat kosong, takut sekolah karena takut teman-teman tapi tak pernah sedikitpun terfikir mengadu pada kedua jiwa yang membutuhkanku. "pahit" ucapku setelah mengunyah obat nyamuk seukuran jari kelingking. Bergegaslah aku meminum satu gelas air putih karena tidak tahan pahit. Setelah pagi, tubuhku baik-baik saja. Bagiku, dulu jadi banyak memendam karena kurangnya peran dari dua jiwa yang menumbuhkanku, contohnya, saling bercerita ataupun terbuka satu sama lain.
Tapi angin, lihatlah kemari, disini ia tegak tanpa suara dan tak diijinkan layu meski hujan tak datang berhari-hari. Ia adalah tanaman biasa, yang tak mencolok seperti mawar merah, hanya di sapa tajam bertubi-tubi untuk mengerti kemarau panjang. Meski, traumanya masih terasa.
Dari kebunku, dan temui tanamanku di @tanaman.berduri. Disana, masih ada lebih dari 7rb penayangan, dan 48,1 rb mata yang menjangkau.