Siapa sangka bahwa tempat yang ingin dikunjungi Arga adalah sebuah Sawah terasering yang damai sekali. Arga bahkan mengajak Reina yang bergidik ngeri naik ayunan tinggi (Bali Swing). Walau sudah memakai pengaman dan ada Arga yang siap melindungi Reina, tetap saja melihat ke bawah membuat Reina takut terjatuh.
Hingga sebuah tangan menyentuh salah satu tangan Reina yang terasa dingin. "Kalau kita akan jatuh, gak akan ada orang yang mau naik," kata Arga yang mencoba membuat Reina relaks.
Arga benar, dan pasti keamanannya sudah terjamin. Reina pun mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas dalam dalam lalu menghembuskannya perlahan. Reina pun mulai menikmati pemandangan yang ada pagi itu.
"Gak akan ada takut kalau kamu menikmatinya."
Sembari menatap Arga, Reina menganggukkan kepala pelan. Arga yang melihat Reina yang masih sedikit tegang, diam diam tersenyum tipis. Sebuah garis yang hampir tak terlihat.
Setelah beberapa saat merasa Reina mulai semakin tenang Arga pun perlahan menggerakannya, membuat Reina sontak berpegangan dengan kencang. "Pak! Kenapa digoyangi sih?" protes Reina.
"Biar suasananya semakin hidup."
"Gak mau! Jangan digoyangin lagi! Saya takut kan," ucap Reina dengan wajah seperti anak kecil yang sedang merengek minta mainan.
Melihat wajah lucu Reina, Arga pun menghentikan goyangan pada ayunan. Dalam hati Arga bahagia, hanya saja selalu memilih tidak memperlihatkannya.
Diam diam Arga memperhatikan Reina yang sudah tidak takut, tengah menikmati pemandangan yang menenangkan itu. Berada di ayunan tinggi berdua dengan Reina, tidak pernah ada dalam rencana Arga, namun keadaan membuatnya bisa lebih dekat dengan perempuan yang ia cinta.
"Oh ya, Pak. Kenapa Bapak ingin ke sini?" tanya Reina sembari menoleh ke arah Arga.
"Karena tempat ini memiliki kenangan yang indah? ... dulu, saya pernah duduk di ayunan ini dengan Mama saya." Dengan raut wajah selalu penuh kekecewaan dan sedih setiap kali membahas Mama-nya.
Ketika Arga hendak menyingkirkan tangannya dari atas tangan Reina, Reina menyentuh tangan Arga itu dengan tangannya. Seolah mulai melihat Arga sebagai 'suami'.
"Sekarang Pak Arga bisa mengganti ingatan itu dengan kenangan bersama saya! Rasakan setiap momen yang kita rasakan sekarang," ucap Reina dengan wajah yakin dengan apa yang diucapkan.
Bagaimana Arga tidak semakin jatuh cinta jika Reina selalu peduli pada perasaan Arga. "Kalau saya melakukan itu kamu akan dalam bahaya, Re."
"Kenapa saya dalam bahaya?" Sembari mengerutkan dahi.
"Kalau saya berhasil mengganti ingatan yang ada itu berarti saya gak mau kenangan saya bersama kamu terhenti."
Terlalu bodoh jika Reina tidak mengerti maksud Arga, bukan? Seolah waktu berhenti berdetak. Dunia mendadak sunyi. Dan hanya ada mereka berdua di dalam ruang tak bernama itu. Tatapan mata mereka sudah saling mengunci.
Reina memutuskan tatapan itu lebih dahulu, dengan perasaan tidak menentu. Arga yang melihat itu hatinya sedih, namun Arga tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku harus tahu batasan yang ada! Aku gak boleh melupakan tujuan aku menikah! Kamu gak boleh masuk terlalu dalam, Re.
Kemudian, mereka menikmati makan siang di salah satu Rumah Makan yang menyajikan makanan khas Bali. Sejak perkataan Arga yang terdengar dalam di ayunan itu Reina hanya diam, bahkan saat seorang pelayan perempuan memberikan buku menu, Reina meletakkannya di meja, seolah Reina tidak akan memesan.
Arga melihat buku menu, lalu memesan ayam betutu, sate lilit, lawar, sambal matah dan minumannya orange juice.
"Kamu gak pesan?" tanya Arga sembari menutup buku menu.
"Bapak saja yang pesan."
Arga menghela nafas. "Kamu harus makan, Re! Saya pesankan," ucap Arga yang sudah final. Arga pun memesankan Reina yang serupa dengan pesanannya.
Drrrtt drrrtt drrrtt
Dapat Reina lihat layar handphone yang menampilkan panggilan masuk Indah. Segera Reina mengambil handphone dari atas meja. Beralih duduk pada kursi roda, lalu melajukannya sedikit jauh dari Arga.
"Hallo, In."
"Hampir saja aku matikan teleponnya."
"Ada apa? Ada informasi terbaru?"
"Kamu tahu Revan pergi ke mana? Afrika, Re!"
"Afrika? Mau apa dia ke sana? Apa itu tempat yang bagus buat menikmati momen manis bersama orang tercinta?" Dengan nada suara dibuat kecil.
"Aku juga gak tahu, tapi yang anehnya Kekasihnya Revan itu justru saat ini lagi ada di London! Bahkan sejak hari pernikahan kamu."
Reina pun semakin dibuat bingung dengan kenyataan seperti apa yang harus Reina terima? Reina menoleh sejenak ke arah Arga yang sibuk dengan handphone.
"Bisa kamu cari tahu apa yang Revan lakukan di Afrika?"
"Bisa tapi aku rasa akan memakan waktu. Itu bukan hal yang mudah."
"Maaf ya terus merepotkan," kata Reina dengan wajah merasa bersalah.
"Santai saja, Re. Sesama teman bukannya harus saling membantu? Lagi pula kita ini kan sudah kayak keluarga sendiri."
"Makasih, Indah."
"Gak perlu berterima kasih. Ya sudah, kalau gitu. Aku mau lanjut kerja."
"Iya."
Baru saja Reina kembali mendudukkan diri di kursi, pesanan mereka datang. Reina tidak langsung memakan makanannya, menatap salah satu menu yaitu lawar.
"Ini apa?" tanya Reina pada Arga sembari menunjuk sayuran dengan kelapa parut berbumbu itu.
"Lawar. Kamu belum pernah makan?"
Reina menggelengkan kepala. "Enak gak?" tanya Reina.
"Enak."
Reina pun mulai memakan makanannya mulai dari mencoba lawar yang rasanya masih keterima di lidahnya.
Uhuk uhuk
Tiba-tiba Reina tersedak, dan dengan cepat Arga menyodorkan gelas minum Reina yang sudah terdapat orange juice, Reina langsung mengambilnya. Meminum sedikit. Dan setiap gerakan Reina tak luput dari perhatian Arga.
"Sudah gakpapa?" tanya Arga.
"Mm."
Terdengar dering handphone dan itu dari handphone Arga yang ada di atas meja. Arga membawa handphone-nya pergi dari sana. Seolah apa yang akan ia ucapkan tidak ingin didengar Reina.
Belum lama Arga berlalu, terdapat seorang pria bule yang duduk begitu saja di samping Reina yang merasa tidak nyaman.
"Hi, are you alone?" Dengan senyum yang terlihat mencoba menggoda Reina.
"No," jawab singkat Reina yang memilih memusatkan perhatian pada makananya.
"So, where’s everyone else?"
Reina menaruh sendok dan garpu di atas piring dengan sedikit keras hingga menimbulkan bunyi.
"Don’t you think you’re being a bit too nosy?!" Dengan nada ketus. Pria itu memang terlalu kepo.
Ketika salah satu tangan pria itu hendak menyentuh wajah Reina dengan cepat sebuah tangan kekar menyentuh tangan pria berbadan sedikit lebih besar dari Arga.
"If going home isn’t in your plans, great. Stay!" Dengan tatapan mematikan, lalu melepas tangan pria itu dengan sedikit kasar.
Pria itu yang terlihat tidak ingin terlibat konflik dengan Rei, melangkah pergi. Arga kembali duduk di kursinya. "Kamu gakpapa? Dia gak berbuat sesuatu yang buruk sama kamu kan?"
"Nggak kok, Pak." Lalu, Reina melanjutkan makannya begitu pun Arga.