Arga melangkah masuk ke dalam Hotel sembari mendorong kursi roda Reina yang merasa tidak enak karena mereka sedang dalam mode bos dan sekretaris. Bukankah seharusnya Arga membiarkan orang lain yang mendorong kursi roda Reina? Arga bahkan tidak mengizinkan staf Hotel yang mencoba menggantikan posisinya mendorong kursi roda Reina.
Beberapa staf termasuk manager Hotel memberi salam pada Arga dan Reina. "Bagaimana dengan Kamar yang saya minta?" tanya Arga pada manager Hotel tanpa menatapnya.
"Maaf, Pak. Saya hanya bisa mendapat satu Kamar karena sudah penuh semua," jawab manager Hotel yang berjalan sedikit di belakang Arga.
Tentu Arga tidak marah karena ia cukup tahu bahwa Hotel-nya cukup populer hingga hampir setiap hari Kamar-Kamar yang ada penuh. "Tunjukkan Kamar-nya!" ucap Arga tegas.
Hingga di depan pintu Kamar yang akan mereka tempati Arga setia berada di belakang Reina. Manager Hotel membukakan pintu, membiarkan Arga dan Reina masuk lebih dahulu. Dengan kemewahan yang disuguhkan presidential suite, Reina terlihat biasa karena sebelumnya sudah pernah menepati Kamar serupa berkat posisi sang Ayah sebagai pemilik salah satu Rumah Sakit terbesar di Indonesia.
"Kalau gitu, saya permisi," ujar manager Hotel yang berdiri di dekat pintu. Arga hanya menatapnya datar.
"Kamu mau langsung istirahat di Kamar?" tanya Arga yang berdiri di belakang Reina.
"Iya, Pak." Saat Arga baru sedikit menjalankan kursi roda Reina langsung mengatakan bahwa ia akan menjalankan kursi roda sendiri. Arga pun membiarkannya, memperhatikan Reina dari tempatnya berdiri. Setelahnya Arga mendudukkan diri di sofa panjang, melepas jaket kulit cokelat tuanya yang ia taruh di sofa, sampingnya.
Menatap lurus ke depan di mana terlihat langit yang cerah siang itu dan gedung-gedung percakar langit. Belum lama duduk, Arga berdiri dari duduk. Memakai kembali jaket kulitnya, berjalan ke arah Kamar. "Saya keluar sebentar yaa," kata Arga pada Reina yang terlihat sedang memainkan handphone sambil duduk di atas kasur king-size.
"Iya, Pak."
Baru saja pintu Kamar menutup Reina terlihat beringsut dari atas kasur, mendudukkan diri di kursi roda. Menjalankannya ke arah luar, berhenti di depan kulkas. Saat membukanya mata Reina berbinar. Reina kira kulkas akan kosong atau setidaknya hanya akan ada air mineral, nyatanya ada banyak sesuatu yang bisa Reina makan dan minum. Reina mengambil dua buah apel, satu ice cream cokelat, dan minuman yoguart. Sebelum memakannya Reina lebih dahulu mencuci apel, lalu membawanya ke arah meja depan tv.
Duduk di sofa panjang, Reina mulai memakan ice cream lebih dahulu, menikmati waktu sendirinya. Memperhatikan langit di mana tiba-tiba terdapat kawanan burung berwarna hitam yang melintas. Kemudian, terdengar dering handphone yang membuat Reina kembali ke Kamar namun dengan berjalan secara perlahan. Sampainya di depan nakas, panggilan masuk berakhir. Reina ambil handphone yang memperlihatkan panggilan tak terjawab dari Indah.
Takut ada hal penting, Reina pun kembali menelepon Indah. Duduk di tepi ranjang sembari memakan ice cream yang tinggal sedikit. Tidak membutuhkan waktu lama panggilan terhubung.
"Hallo, Re."
"Kenapa telepon?" tanya Reina.
"Ini aku mau kasih tahu perkembangan Revan!"
"Kamu menemukan sesuatu?"
"Ternyata Revan gak resign tapi dia mengajukan cuti selama setahun."
Reina mengerutkan dahi. "Cuti setahun?"
"Pas aku tanya sama beberapa staf Rumah Sakit bahkan yang dekat sama Revan pun gak ada yang tahu alasan Revan cuti."
"Apa mungkin diam-diam dia nikah?" tebak Reina dengan wajah serius. Lalu, memakan ice creamnya yang dalam sekali suapan habis.
"Bisa jadi sih cuma aku gak dapat info apa-apa mengenai hal itu. Oh ya, Re. Gimana kaki kamu?"
"Semakin membaik dan kamu tahu gak sekarang aku di mana?"
"Nggak. Jangan bilang ... kalian lagi honeymoon!" Indah terdengar terkejut sendiri dengan isi kepalanya.
"Apaan sih, In. Aku lagi di Bali melihat Hotel kita yang ada di Bali."
"Nah, kebetulan di Bali bukannya cocok buat honeymoon? Kayaknya Pak Arga sengaja deh ngajak kamu ke sana setelah nikah." Reina hanya bisa menggelengkan kepala karena Indah yang pikirannya selalu terbang jauh.
"Memang sudah jadwalnya, aku kan yang ngatur jadwal Pak Arga! Jangan berpikiran sembarangan deh. Mana mungkin Pak Arga punya pikiran seperti itu."
"Lho, kenapa nggak?" Indah sedikit ngegas.
"Harus berapa kali sih Indah aku tegaskan, kita tuh nikah karena terpaksa!"
"Gini ya, Re. Okay, kalian menikah memang terpaksa cuma kan ya Arga itu laki-laki normal yang masa sih gak tergoda memiliki istri kayak kamu! Kamu itu cantik, sedikit seksi, dan pintar. Coba deh kamu pikir."
Untuk apa juga aku pikirkan. Isi pikiran Indah itu gak baik buat dipikirkan!
"Gak mau memikirkannya!" tegas Reina.
Terdengar helaan nafas di seberang sana. "Jadi kamu mau menyia-nyiakan suami kayak Pak Arga? Padahal kamu bisa loh menjadikannya milik kamu dengan sedikit usaha."
"Sudah deh, kita gak usah bahas hal itu lagi." Reina terlihat sudah malas.
"Okay, okay. Lagi pula aku sudah harus balik kerja. Kalau gitu, sampai nanti nyonya Arga." Seperti biasa, sebelum Reina membuka mulut Indah sudah lebih dahulu mematikan panggilan tersebut.
Kembali meletakkan handphone di atas nakas, Reina melangkah pergi dari sana. Saat sedikit lagi sampai di sofa, terdengar suara pintu terbuka. Reina buru-buru mendudukkan diri di sofa, takut ketahuan jalan.
"Saya pikir kamu tidur," ucap Arga sembari berjalan. Mendudukkan diri di sofa single, membuka jaketnya.
Reina menoleh ke arah Arga yang sedang mengeluarkan handphone dari dalam saku jaket. Reina teringat ucapan Indah tentang Revan. Apa Pak Arga tahu soal Revan yang cuti setahun? Berarti kalau cuma cuti, Revan berencana kembali. Terus sekarang apa yang sedang dilakukan lelaki itu sampai kabur dari pernikahan?
Setelah meletakkan handphone di atas meja, Arga menoleh ke arah Reina yang saat manik matanya bertemu dengan manik mata Arga langsung mengalihkannya dengan menatap ke arah lain.
"Kalau ada yang kamu butuhkan kamu bisa kasih tahu saya."
"Mm." Sembari menatap Arga sesaat.
.
.
Langit malam telah nampak di jendela, di mana ada beberapa bintang yang membuat langit nampak indah. Arga terlihat sedang menikmati minuman bersoda berwarna hitam yang sudah ia tuang ke dalam gelas bahkan diberi es batu.
Reina keluar dari dalam Kamar dengan sudah mengganti pakaiannya, sehabis mandi. Arga menoleh ke arah Reina yang sedang menjalankan kursi roda. Dress yang dibelikan Arga selalu terlihat pas di tubuh Reina yang memiliki kulit putih sedikit pucat.
Sampainya di dekat sofa single, Reina beralih duduk di sofa. Menatap layar tv yang menyala. "Oh ya, Pak. Gimana rapatnya tadi? Gak ada yang salah kan?"
"Seperti biasanya, semua tersusun rapi."
"Apa besok kita akan pulang?" tanya Reina yang dalam hatinya ingin jalan-jalan.
Arga menatap dalam Reina sembari memegang gelas pada salah satu tangan.
"Ada tempat yang ingin saya kunjungi. Kamu mau ikut?"
Sontak raut wajah Reina berubah senang. Tersenyum lebar.