Beberapa minggu terlewati dengan cepat, dengan aktivitas monoton. Bekerja, pulang ke rumah, tidur hingga pagi. Begitu setiap hari, hingga tanpa terasa, hari sudah lewat hampir satu bulan, sejak tragedi kandasnya pertunangan Bayu dengan Ayu.
“Bay, ada undangan buat kamu. Tadi dititipin sama pak satpam,” kata Dyah, costumer service di bank tempatnya bekerja.
“Undangan? Dari mana?”
Dyah mengangkat bahunya. “Nggak tau, coba aja buka.”
Dengan cepat, Bayu mengambil undangan yang disodorkan Dyah. Kemudian, dalam satu detik kedipan matanya, ia tau, siapa sang pemberi undangan itu.
Ayu & Bimo.
Bayu tersenyum. Hampa hatinya seketika. Ruang kosong di hatinya bahkan belum sepenuhnya tersapu bersih. Masih ada sisa-sisa bayangan Ayu yang berserakan di sudut-sudut hatinya.
Ia tau, hari itu akan terjadi. Hari dimana ia menerima undangan dari sang mantan kekasih, yang dengan gambling mengundangnya dalam acara pernikahan. Namun, Bayu tak pernah menyangka, waktunya akan secepat ini.
“Dy,” panggil Bayu, pada Dyah yang baru saja hendak melangkah masuk ke kubikelnya.
“Apa?”
“Mau minta saran… Kalau kamu diundang datang ke nikahan mantan… Datang nggak?” Tanya Bayu, sembari menggaruk rambutnya.
Dyah tertawa kecil. “Oh, itu mantan kamu to?”
“Iya.”
“Yang batal lamaran itu?” Tanya Dyah, memperjelas.
“Iya!” balas Bayu kesal, disambut tawa Dyah.
Setelah puas tertawa, Dyah berusaha mengembalikan topik pembicaraan. “Tergantung, sih… Ada mantan yang putusnya baik-baik.. Ada juga yang enggak… Tapi, sepengalaman aku, lebih baik datang..”
“Kenapa? Meski aku nggak bawa gandengan?”
Dyah tertawa lagi. “Ngapain bawa gandengan? Kamu datang sendiri aja, malah lebih menantang. Lagian, kalau kamu bawa gandengan, faedahnya apa? Mantan kamu nggak akan cemburu…”
Benar kata Dyah. Lebih baik datang sendiri, tak perlu memaksakan diri untuk datang bersama wanita baru, semata-mata hanya untuk terlihat bahagia. Toh, kebahagiaan bukan hanya terletak dari pasangan, kan?
“Datang aja… silahturahmi. Sekaligus, memperlihatkan bahwa kamu sudah di kondisi yang legowo dan baik-baik saja..”
Legowo. Baik-baik saja.
Yang jadi pertanyaan, apakah saat ini ia sudah baik-baik saja? Rasanya, hatinya masih sangat luka. Pertama, karena pengkhianatan Ayu. Kedua, karena keluarga besar Ayu yang seakan meremehkan keluarganya.
Hari pernikahan Ayu dan Bimo benar-benar sudah di depan mata. Lima hari lagi. Dan dalam sisa waktu itu, ia harus memikirkan matang-matang, akan keputusannya untuk hadir dalam acara tersebut.
Andai ada Diandra… Tiba-tiba, pikirannya melayang pada seorang Andra, mantan kekasihnya terdahulu, yang baru saja ia lukai beberapa waktu silam, karena pertemuan tiba-tiba mereka di kota Bandung.
Apa kabar Diandra sekarang? Apa ia masih mau memaafkanku? Bayu bergumam dalam hatinya.
Bisa saja ia menggunakan nomor lain untuk menghubungi Andra, mengingat nomor pribadinya sudah diblokir oleh gadis tersebut. Namun rasanya, Bayu belum sanggup melakukannya. Ia merasa memperlakukan Andra dengan tak adil. Jika ia memberitahu Andra tentang kandasnya hubungannya dengan Ayu, pasti Andra akan berpikir bahwa ia adalah cadangan atau ban serep, atau istilahnya habis manis sepah dibuang.
Lagipula, untuk saat ini, Bayu ingin sendiri. Lepas dari segala perasaan bersalah dan sedih yang menyelimuti. Ia ingin buka lembaran baru. Bukan hanya terjebak dalam halaman yang membawanya terseret ke masa lalu.