Rasanya hancur sekali bagi seorang Bayu. Cutinya sudah habis ia gunakan, hubungannya dengan Ayu pun telah resmi kandas, dan ia kehilangan Diandra yang sudah ia campakan begitu mudahnya.
Astaga.
“Ah..” ucap Bayu, mengacak rambutnya sendiri.
Ini sudah hari Senin. Ia kembali menjalani rutinitasnya sebagai karyawan tampan sebuah Bank di Yogyakarta; bukan lagi seorang petualang yang dengan mudahnya menyeret hati wanita karena pesonanya.
“Ngopo, to? Pagi-pagi kok wes ambyar. Bar cuti, to? Kok rupane sepet koyo salak mentah.” Ditto, salah satu rekan kerja Bayu, sudah menoyor kepala Bayu, dan nyengir tanpa dosa.
“Cutiku kurang!” balas Bayu, asal.
“Uripmu kurang bersyukur!”
Eh. Mantra yang manjur. Bersyukur?
“Kamu lho.. Punya tunangan cantik, sholehah... Harusnya semangat kerja.. Biaya nikah kuwi mboten murah, nggeh, Mas...”
“Aku gagal nikah, To.”
Glek.
“Halah... Jangan bercanda! Nggak mungkin. Mosok batal? Omongan adalah doa, lho!”
“Nggak mungkin aku bohong untuk hal-hal seperti ini. Batalmya pertunanganku dan Ayu justru sudah terjadi. Didoakan pun, kami nggak akan kembali lagi...”
Ditto masih tergagap. Ia terperangah beberapa detik. “Koe selingkuh po piye?”
“Nggak, lah. Gundulmu! Amit-amit. Nggak pernah yo¸aku selingkuh.”
Nggak-pernah.
Sebenarnya, Bayu tak paham. Petualangannya di Bandung kemarin dengan Diandra, apakah masuk kategori perselingkuhan atau tidak. Tapi sepertinya tidak. Toh, Diandra tau bahwa Bayu sudah memiliki tunangan. Tidak ada yang disembunyikan. Jadi, bukan kategori perselingkuhan, kan?
Tapi jika jujur, Bayu menemukan kenyamanan. Nyamannya pada Diandra kembali, setelah redup tuk puluhan purnama silam.
“Lha, terus ngopo bubar jalan?”
“Pihak perempuan yang memutuskan...”
“Ya Allah... Padahal kamu baru aja kehilangan Bapakmu, yo.. Kok tega, lho...”
“Ceritanya puaanjang. Aku malas cerita. Tapi intinya, kami sudah selesai... Dan Ayu sudah bersiap untuk memulai petualangan baru dengan laki-laki lain...”
Dan sepertinya, Ditto tau diri. Cukup sudah ia bertanya-tanya, yang nantinya hanya akan membuka luka lagi. Temannya sudah cukup menanggung beban. Sudah ditinggal Bapaknya, ditinggal tunangannya. Lebih baik berikan dukungan, bukan malah melempar ragam pertanyaan.
Akhirnya, Ditto menepuk bahu sahabatnya. “Meskipun ambyar, koe wajib semangat. Bahagia sudah menanti. Enteni wae. Sing penting sabar, sholat tetep jalan. Oke?”
“Persis ibukku koe. Hahahaha... Makasih, lho..”
Setelahnya, Ditto berlalu pergi meninggalkan Bayu yang masih diliputi aura hitam karena sedih dan kecewanya yang datang terlalu bertubi-tubi dalam waktu yang begitu singkatnya.
Drrrt...
Ponsel Bayu bergetar. Ada pesan masuk dari sang ibu, yang membuat hatinya menghangat seketika.
Ibu:
Nduk.. Semangat kerja, ya... Terus bersyukur dan jalani hari... Sedihmu tidak akan lama.. Percaya, Gusti mboten sare...
Dan Bayu membalas dengan cepat.
Bayu:
Nggih, bu...
Setelahnya, terdengar suara bel berbunyi. Jam menunjukkan pukul setengah delapan, pertanda bahwa briefing pagi—sebelum memulai pekerjaan—akan dimulai.
Bayu segera bangkit meja tempat ia bergalau ria di pagi hari, dan bergabung bersama rekan-rekannya. Harinya akan segera dimulai. Tumpukan kertas, deretan digit angka, serta beragam nasabah, akan ia temui dalam hitungan menit lagi.
**