Seakan dunia membuat lelucon pada dirinya. Tak disangka-sangka dan meleset dari rencana, akhirnya ia memutuskan untuk datang ke pernikahan Ayu dan Bimo.
Padahal, semalam ia sudah merenung matang-matang. Dalam rencananya, ia tak akan datang ke acara sakral namun menyakitkan ini. Ia lebih memilih untuk di rumah saja, menghabiskan akhir pekannya bersama masakan sang ibu yang nikmat, ataupun sekedar pergi ke angkringan favoritnya bersama teman-temannya.
“Kok aku di sini… Harusnya aku nggak usah datang,” gumam Bayu.
Ia dilema. Entah kenapa, pagi ini ia justru bergairah untuk datang, sekedar mengucap selamat lalu pulang tanpa beban.
Mau berbalik dan pulang, namun ia sudah terlanjur terjebak di dalam kerumunan tenda hajatan yang super megah. Mau lanjut tuk memberi selamat, rasanya hati ini belum siap saja. Apalagi, ia melihat Ayu di pelaminan dengan busana muslimah yang menampilkan keanggunannya.
Ah, harusnya bukan Bimo yang ada disana, tapi aku, batin Bayu kecewa.
Menghela nafas, lelaki itu maju ke pelaminan tuk memberi selamat pada mempelai. Namun di setiap langkah kakinya, ia justru mengingat kalimat demi kalimat yang dulu Ayu ucapkan, yang membuatnya selalu merasa menjadi lelaki paling beruntung karena memiliki gadis yang ia pikir sangat setia itu.
“Mas… Aku akan selalu sama kamu.. Apapun yang terjadi… Bahkan ketika dunia seakan menghancurkan kita… Aku akan selalu ada untuk mas. Biar kita hancur bersama…”
Bayu tersenyum kecut. Hancur bersama? Bahkan kamu yang membuatku hancur. Dan kamu meninggalkanku sendiri dalam kehancuran yang hingga kini belum penuh terobati.Pulang dengan keikhlasan, namun tanpa bisa melupakan. Belum bisa. Tapi, ia yakin, suatu hari akan lupa, dengan adanya waktu, ataupun sosok baru yang hadir di hidupnya.
“Selamat, ya, Ayu, Bimo,” kata Bayu, sembari menjabat tangan Bimo dengan kekar. “Jaga Ayu, ya.”
“Pasti,” balas Bimo dengan yakin.
Sementara Ayu hanya menatap Bayu, dengan tatapan yang sulit diartikan. Seperti kata maaf yang hanya bisa terucap lewat pantulan bola mata, namun tak bisa terucap oleh bibir yang tertahankan.
“Semoga kamu bahagia,” kata Bayu, menatap Ayu.
Ayu tersenyum kaku. “Terima kasih. Doa yang sama untuk kamu.”
Dan lelaki itu turun dari pelaminan, dengan perasaan yang lebih lega. Entah mengapa, melihat Ayu terpaku penuh sesal, membuatnya sedikit bahagia. Tandanya, sedih dan kecewanya tak sia-sia. Tapi tetap saja, ia suatu hari harus berdama dengan masa lalunya dengan Ayu, dan hanya menganggapnya sebagai kenangan yang tak menimbulkan luka.
Ia menuju pintu keluar dari area pernikahan tersebut. Rasanya, untuk menyantap aneka hidangan di tempat itu pun, ia tak bisa. Lidahnya terlalu pahit tuk merasakan aneka hidangan mewah yang tersaji secara rapi disana. Rasanya, burjo dekat kampusnya menjadi hidangan terbaik yang bisa mengobati lukanya kala itu.