Akhirnya keduanya bisa duduk dengan tenang setelah Alice selesai menyesap tetes terakhir dari kuah sup ayamnya. Ia mengunyah menghabiskan ayam di dalam mulutnya.
Setelah meletakkan semua piring di tempat pencuci piring, ia kembali, duduk di samping arwah lelaki yang masih meringkuk itu. Meskipun cerita tentang kehidupan arwah itu penting, tapi kondisi perutnya yang keroncongan jauh lebih penting.
“Nama, itu hal yang bagus. Awalnya hanya nama, lalu berubah menjadi sebuah cerita tentangmu.” kata Alice menyemangati.
“Itu mengerikan, mengetahui nama itu saat aku masih terbaring di rumah sakit.” Arwah lelaki itu masih enggan mengangkat kepalanya.
“Ah, karena itu kau berada di ruang ICU lama sekali. Jadi apa yang terjadi?”
Arwah lelaki itu memutuskan untuk menoleh, membiarkan sisi wajahnya yang lain masih bersandar di atas lututnya. “Tubuhku dipenuhi dengan alat-alat medis yang mengerikan, disumbat di sana dan di sini. Satu-satunya yang kuketahui adalah diriku tidak sadarkan diri, terbaring di atas kasur yang keras dengan kondisi yang menyedihkan.”
Alice mengulurkan tangannya, sejenak kemudian ia menarik tangannya kembali. “Apa ada ingatan yang merasuki kepalamu?”
Arwah itu menggeleng.
Alice hanya tersenyum dengan lembut. Ia ikut meringkuk, memiringkan kepalanya ke arah arwah itu sambil menyandarkannya di atas lutut.
“Pelan-pelan saja, tidak apa-apa.” ucap Alice.
“Mau sampai kapan, ya...”
“Saat ini kau tau bahwa dirimu belum meninggal. Artinya masih ada secercah harapan, kan?”
Arwah lelaki itu menggeleng tanda tidak setuju. “Tidak semudah itu, keadaan koma juga berbahaya. Aku juga tidak berpikir untuk bangun, aku tidak punya muka untuk menghadapi kedua orang tuaku.”
“Bukan, seharusnya dirimu malah ingin bangun, memperbaiki yang sudah rusak. Lagipula, apa salahmu dahulu? Kau ingat?”
“Tidak.” Arwah itu lagi-lagi menyembunyikan wajahnya di dalam dekapannya. Suaranya bergetar, perlahan terdengar suara hidungnya yang tersumbat.
Alice yakin arwah itu menangis. Berada pada ambang batas hidup dan mati memang rasanya menyakitkan, apalagi ia tidak tau kenapa dirinya terus merasa bersalah dan berat kepada kedua orang tuanya.
“Jadi siapa namamu?” Pertanyaan itu mungkin terkesan tidak sopan, tetapi Alice benar-benar ingin tau. Sudah hampir beberapa minggu mereka kenal, namun Alice masih belum tau nama arwah itu.
“Joseph...”
Kelihatannya arwah lelaki itu masih enggan banyak bicara. Diam-diam Alice mengaktifkan ponselnya tak ingin merusak suasana. Ia mengetik nama Joseph pada kolom pencarian, lalu alamat rumah induk semang di sampingnya.
Papan pencarian tidak berisi apapun, hanya ada kontak media sosial yang berunsur nama Joseph di dalamnya. Bahkan tidak ada foto yang mirip dengan arwah lelaki itu. Bisa jadi selama masa hidupnya, lelaki itu tidak pernah menyentuh media sosial.
Setelah menyelam lebih lama, ia menemukan berita kejadian tentang kecelakaan yang pernah terjadi di depan rumah induk semang. Benar, saat itu menggemparkan sekali. Alice masih teringat jelas, keramaian yang biasanya tidak pernah terjadi di gang itu. Betapa banyaknya polisi yang datang untuk menginterograsi. Dan juga cairan kemerahan yang disebut darah itu mengalir sampai mewarnai selokan menjadi merah.
Sejenak Alice menatap Arwah lelaki itu, tetapi ia tidak bisa mengingat dengan jelas wajah lelaki yang menjadi korban di depan rumah induk semang karena pencahayaan yang tidak ada.
Malam semakin larut, Alice menguap karena lelah. Ia sudah menghabiskan hari yang begitu panjang hari ini. Matanya lagi-lagi tertutup, kepalanya terantuk-antuk. Suara tangisan arwah lelaki itu terdengar seperti alunan lagu tidur untuknya.
Alice terbangun dengan leher yang sakit karena semalaman tidur dengan posisi duduk dan kepala terantuk ke kanan.
“Eugh...” erangnya sambil terus memijat perlahan lehernya.
Ia mendapati tubuhnya diselimuti selimut tipis yang biasanya ia gunakan, kepalanya juga di ganjal dengan bantal tipis miliknya. Tetapi, arwah lelaki itu tidak ada di sana, tidak lagi duduk di sampingnya.
Setelah membersihkan diri, ia langsung memanaskan sup ayam dan juga nasi dari kulkas. Ia harus bergegas untuk segera ke kampus lalu kembali ke rutinitasnya sehari-hari. Untungnya hari itu ia tidak perlu memasak, Alice tidak perlu membeli sayuran di pagi hari. Malam hari nanti, ia akan menggoreng telur lalu menambahkan kecap manis di atasnya.
Memikirkannya saja sudah membuat perut Alice bergemuruh. Ia masih bersikukuh menunggu arwah lelaki itu kembali. Rasanya aneh memiliki pagi yang tenang tanpa ocehannya. Lagi-lagi menunggu sampai berapa lama pun, arwah itu tidak kembali. Alice memutuskan untuk meninggalkan rumah, memikirkan bagaimana caranya ia bisa menghibur arwah lelaki itu.
----
Arwah paman pekerja konstruksi mencegatnya di pertengahan perjalanannya kembali ke rumah induk semang. Mereka duduk di dekat minimarket, dengan keramaian yang tetap dipenuhi para paman pekerja konstruksi.
“Katanya, kalau memasak untukmu, arwah itu akan menghilang. Apa itu benar?” Arwah paman benar-benar tidak ada ampun, mereka baru saja bertemu lagi setelah arwah paman menghilang. Dan kini, ia lagi-lagi harus menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi.
“Entah darimanapun paman mendengarnya, pastinya itu tidak benar. Arwah paman berkepala botak itu benar-benar pergi ke atas sana Karena sudah menyelesaikan apa yang belum ia selesaikan.” Alice membuat tanda silang dengan tangannya.
“Kalau begitu, apakah aku juga bisa melakukannya?” arwah paman mengigiti bibirnya, memainkan jari jemarinya dengan gugup.
Alice tidak tau apa yang ada dipikiran paman, kalau arwah paman datang sebelum Alice mempelajari cara memasak dari arwah lelaki itu, ia pasti akan mengangguk penuh semangat. Sekarang ini, meskipun hanya menguasai beberapa menu supaya tetap hidup dan bisa menghemat, ia tidak bisa mengiyakan ucapan arwah paman.
Alice memalingkan wajahnya, melihat ke atas. “Paman, apakah tidak takut kalau menghilang sebelum menemukan jawaban yang paling dicari paman? Apakah paman benar-benar ingin menghilang dalam bentuk pecahan yang melayang menuju sinar rembulan?” Alice tidak bermaksud buruk untuk menakut-nakutin arwah paman. Jujur saja, menghilang seperti itu rasanya seperti meninggal untuk kedua kalinya. Dan ia tidak ingin menjadi saksi kematian paman yang kedua kali.
“Nak, hidup paman lebih menakutkan daripada itu. Melihat orang-orang terdekat masih berjuang untuk hidup membuatku lebih tersiksa. Jadi, kumohon, biarkan paman memasak untukmu dan pastikan arwah lelaki itu ada di sana.” arwah paman memegang tangan Alice, meremasnya dengan mata berkaca-kaca.
Alice ditempatkan pada pilihan sulit, ia tidak bisa dengan seenaknya mengatakan tidak atau iya.
“Paman, apa hubungannya dengan arwah lelaki yang ada di sampingku tempo hari?”
“Belum saatnya, tidak hari ini. Akan kuberitahukan saat kau menyetujuinya.”
“Bisakah aku memikirkannya. Barangkali dalam dua hari ini?”
Arwah paman mengangguk, “Tolong, secepatnya. Aku tidak ingin menyiksa diriku untuk tinggal di dunia ini lebih lama lagi dalam keadaan seperti ini.”
Alice tidak menjawab, ia segera bangkit. Dalam hati, ia penuh harap untuk bertemu arwah lelaki itu, merenungkannya bersama-sama.
“Tidak masalah, biarkan paman memasak untukmu.” Arwah lelaki itu melihat telur yang terus meluap-luap di dalam minyak. Bagian luarnya terus mendesis pelan.
Saat Alice hampir membaliknya, arwah lelaki itu menyentuh pergelangan tangan Alice. Gadis itu lagi-lagi merasakan adanya aliran listrik, jantungnya juga berdebar dengan kencang.
“Belum waktunya, telur itu akan hancur kalau kau membaliknya.”
“Ta-tapi, tapi- bagian pinggirnya su-sudah menghitam.” ucap Alice tergagap-gagap. Entah apa yang salah dengan otaknya saat ini, ia tidak bisa berpikir dengan jernih.
“Tidak, itu belum menghitam. Tenang saja, nantinya kau akan bersyukur kalau memakan telur dengan pinggiran yang sedikit gelap dan juga garing. Apa kau akan menambahkan kecap manis juga?” arwah lelaki itu masih belum menarik tangannya, ia menatap Alice lekat-lekat.
Alice memalingkan wajahnya ke arah berlawanan. “Be-benar, bagaimana kau bisa tau?”
“Tentu saja, telur dengan kecap manis adalah makanan paling enak dan mudah untuk dimasak. Ketimbang langsung menaruh kecap di atas telur yang sudah matang, lebih baik kita menumis kecapnya sedikit, lalu menambahkan bawang goreng pada nasi. Pasti akan lebih wangi dan juga lezat.” Air liur arwah itu hampir saja jatuh.
Mengikuti sarannya, Alice melepaskan genggaman arwah itu lalu mengambil sebotol kecap manis. Saat bagian bawah telur semakin mengering dan hampir matang, ia membalik telur dengan hati-hati agar tidak memecahkan bagian kuning pada telur.
Kemudian ia menambahkan sedikit kecap manis, sedikit kaldu bubuk sebagai penambah rasa.
“Ehem...” gumam arwah lelaki itu. “Dengan sendok, siramkan perlahan-lahan ke atas telur agar ia meresap. Sepertinya akan lebih baik menambahkan cabai potong...” arwah lelaki itu membuka kulkas, mengecek persediaan dan memutuskan untuk menutupnya kembali. “Atau tidak.”
Setelah kejadian sakit perutnya karena lada, Alice tidak berani menyetok cabai merah lagi. Takut kalau-kalau ia harus dilarikan ke rumah sakit saat uangnya menipis.
Gumpalan besar nasi sudah siap di piring, telur yang matang pun siap diluncurkan ke atas nasi.
Wangi semerbak saat kuah telur menyentuh bawang goreng membuat perut Alice tiba-tiba bergemetar kuat. Ia memberikan setengahnya pada arwah lelaki itu, menusuknya dengan garpu. Menjadi suatu kebiasaan dimana Alice sering memberikan lelaki itu makanan yang ia makan juga, karena arwah tidak bisa menghabiskan makanan itu dan hanya menghirupnya saja sudah membuat mereka kenyang. Maka Alice akan mengambil kembali setengah bagiannya yang masih tersisa.
Ternyata makanan yang dimakan oleh arwah gentayangan akan memiliki rasa yang sedikit berbeda. Makanan yang disajikan sudah tidak terlalu enak, sedikit hambar dan pastinya sudah dingin. Terkadang nasi yang sudah dimakan oleh arwah gentayangan menjadi sedikit lebih lembek dan agak hancur. Tapi, tetap saja makanan itu enak dan layak dimakan. Tidak ada yang mengurangi kenikmatan makan saat lapar melanda.
“Jadi, katamu tadi, paman yang sudah meninggal itu ingin memasak untukmu?” tanya Arwah lelaki itu.
Alice mengangguk dengan mulut dipenuhi makanan.
Arwah itu memiringkan kepalanya heran. “Lalu kenapa kau menolaknya? Pikirkan, ia akan memasak untukmu, jadi kau tidak perlu memasak lagi. Dan dia akan menuntaskan keinginannya untuk menghilang. Kesepakatan yang baik sekali!” seru arwah lelaki itu seraya kedua tangannya di angkat tinggi-tinggi ke atas. Kalau seperti ini, dia tampak seperti orang sinting.
“Tidak semudah itu. Menghilang artinya ia meninggal untuk kedua kalinya. Lagipula aku bisa memasak, asal ada kau di sampingku, maka aku bisa memasak semua jenis menu di dunia ini. Yang penting menu itu murah dah mudah.” Alice menggoyang-goyangkan tubuhnya tanpa arti.
Arwah lelaki itu memalingkan wajahnya, ia memilih memandangi keluar melalui jendela. Malam itu, bulan memang tampak lebih indah, bulat dan bersinar terang tepat terpampang jelas di tengah kalau melihatnya melalui jendela rumah loteng milik Alice.
“Tapi, aku tidak bisa di sini selamanya.” gumam arwah lelaki itu.
“Kau kan sedang dalam koma, kemungkinan besar bisa bangun lagi. Kau tidak berpikir seperti itu, ya?”
Arwah lelaki itu mengangguk. “Benar,” Sorot matanya sarat akan arti, sesaat ia terdiam tapi langsung menepukkan tangannya. “Lupakan soal aku, lalu apalagi yang dikatakan paman itu?”
Alice mengerjapkan matanya karena kaget, ia menimbang-nimbang ingatannya tentang ucapan paman. “Ah!” Alice menepuk tangannya. “Aneh sekali, ia minta kau juga ikut hadir saat dirinya memasak. Aku sempat bertanya kenapa, tapi paman malah mengganti topic pembicaraan dan berjanji akan menceritakannya kalau kau ikut berada di sana. Bagaimana?”
“Aku tidak masalah. Apa yang akan paman masak?”
Alice mengangkat bahunya, ia terus mengunyah makanannya dengan hitungan di otaknya. Terkadang ia lupa karena sedang berbicara. “Kau berada di mana seharian ini?”
“Eum, rumah sakit. Mengecek kondisiku dengan alat-alat itu.”
“Apa ada hal menyenangkan yang terjadi?”
“Tidak, terkadang raut wajah dokternya berubah sedih, terkadang bercahaya terang. Terus terjadi sampai beberapa kali dinyatakan normal. Aku tidak paham maksud dari perubahan wajah itu, intinya aku masih dinyatakan hidup, kecuali alat-alatnya tidak berfunsi dengan baik barangkali?” Arwah lelaki itu memainkan sendoknya setelah selesai memakan-atau bisa disebut menghirup- makanannya.
Alice menarik kembali piring itu, memakannya dengan lahap tanpa masalah. Masih ada rasa, tidak terlalu hambar, tinggal menambahkan sedikit kecap manis dan rasanya akan lebih baik, itu pikirnya.
“Jadi kau akan pergi ke sana setiap harinya?”
Arwah lelaki itu meremas kepalanya. “Sejujurnya, aku senang karena masih bisa hidup kalau ada kesempatan, tapi aku juga sedih karena harus memikirkan kesalahanku.”
“Sebesar apa kesalahanmu? Kau mengingatnya dengan baik, ya?”
Arwah lelaki itu tersenyum, gigi-giginya berjajar rapi. Ia menekuk kedua kakinya, memegangi kedua lututnya dengan tubuh terus digerakkan ke depan dan ke belakang.
“Ingatan itu tiba-tiba masuk ke kepalaku saat berada di ICU. Aku berpikir, ‘Ah rupanya itu kesalahan yang kulakukan, aku pantas tiada untuk itu’. Aku tidak berbohong, tapi tidak tau bagaimana caranya memberitahumu. Kau tau, seperti sebuah privasi.”
Alice tidak menduga akan mendengar privasi dari seseorang yang masih berada di ambang batas hidup dan tiada.
“Pft- apakah arwah gentayangan juga punya privasi?”
“Tentu saja!” protes arwah lelaki itu. “Heran, kan? Aku bisa bangun dan meminta maaf, atau menghilang dan tidak menjadi sebuah kesalahan lagi. Kalau kau jadi aku, mana yang akan kau pilih?”
Kini giliran Alice yang memandang keluar jendela, ia berharap cahaya bulan akan memberinya jawaban.
“Aku... akan memilih bisa bangun dan meminta maaf. Meskipun sulit mengucapkan kata maaf saat kita melakukan kesalahan besar, tapi tanpa mencobanya, siapa yang akan tau akhirnya? Mungkin hubungan yang sudah hancur itu bisa diperbaiki. Bukankah melelahkan untuk terus menutup mata dan melarikan diri? Mau sampai kapan kita ketakutan hanya untuk meminta maaf?” Alice menyusun piring kosong dan meletakkannya pada wastafel. Ia mengalirkan air dari keran, membasahi spons pencuci piring dengan sabun sampai busa-busanya memenuhi tempat pencuci piring.
Arwah lelaki itu bangkit dari tempatnya duduk, berdiri di sebelah Alice yang masih sibuk menggosok kotoran dari piring.
“Seandainya aku punya keberanian sebesar itu. Hah...” arwah lelaki itu menghela napas. “Bagikan sedikit padaku keberanian itu.” Ia menyandarkan tubuhnya, seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia memandangi Alice lekat-lekat, matanya berbinar-binar.
“Berikan tanganmu.” Alice mengibaskan tangannya yang basah.
Arwah lelaki itu memberikan sebelah tangannya. Alice langsung meraih tangan itu, menariknya dekat dengannya. Tubuh keduanya sedikit lagi hampir bersentuhan. Namun, tangan Alice yang satunya malah mengelus lembut punggung lelaki itu.
Hal seperti ini biasanya tidak pernah terjadi, mengingat bagaimana para suster yang berjalan menembusnya saat pertama kali ia di ICU.
Mata arwah lelaki itu memelotot karena kejadian yang terjadi begitu cepat. Ia bisa merasakan sentuhan gadis itu, tangan mereka yang saling berpegangan pun terasa hangat. Dari tengkuk lehernya, terasa hembusan napas gadis itu. Wangi shampoo samar-samar tercium menyegarkan.
Arwah lelaki itu merasakan ada yang aneh dengan dirinya, bukankah seorang arwah gentayangan tidak bisa merasakan dentuman jantungnya lagi? namun, kenapa jantungnya malah berdebar dengan cepat sekarang? Wajahnya terasa panas. Ada yang berbeda, entah apa yang terjadi, tidak bisa ditafsirkan dengan kata-kata yang tepat.
“Aku menyalurkan sedikit keberanianku padamu. Jadi, pelan-pelan saja sampai semua ruang keberanian-mu terisi penuh seluruhnya.” Alice bergumam kecil, berbisik di telinga arwah itu sebelum melepaskan kedua tangannya.
Kini, gentian arwah lelaki itu yang memegangi jantungnya. Ia juga menepuk-nepuk wajahnya perlahan.
Alice kembali fokus mengeringkan piringnya, mengelapnya dengan kain serbet perlahan-lahan.
Mungkin untuk waktu yang lama, sampai mereka berdua bisa berceloteh seperti biasanya lagi di antara kecanggungan yang terjadi.