Saat kita duduk di dalam mobil, pertanyaan pertama yang paling penting adalah:
“Siapa yang pegang setir?”
Karena bisa saja kamu ada di mobil yang keren, bensin penuh, cuaca cerah, tapi kalau yang pegang setir nggak tahu arah atau nggak bisa kendalikan laju, kamu bisa nyasar… atau celaka.
Pertanyaannya sekarang:
Dalam hidupmu sendiri siapa yang pegang setir?
Apakah kamu… atau emosimu?
üHidupmu Bukan Otomatis
Banyak dari kita yang berjalan di hidup ini dengan mode otomatis.
Bangun pagi → buru-buru → marah di jalan → kesel di kantor → ngambek di rumah → tidur dengan kepala penuh.
Kita pikir kita sedang menyetir.
Padahal yang nyetir kadang adalah:
emosi yang belum diproses,
luka lama yang belum sembuh,
kata-kata orang lain yang masih kita simpan,
atau bahkan ekspektasi sosial yang nggak pernah kita pertanyakan.
Tanpa sadar, hidup kita tidak dikendalikan oleh kesadaran… tapi oleh kebiasaan reaktif.
üEmosi Itu Penumpang, Bukan Pengemudi
Emosi adalah hal yang wajar. Marah, sedih, kecewa, takut, senang semuanya normal.
Yang jadi masalah adalah saat emosi memegang setir terlalu lama.
Marah yang tidak kamu kenali bisa membuatmu menyakiti orang yang tidak salah.
Sedih yang tidak kamu sadari bisa membuatmu menghindar dari hubungan yang sehat.
Takut yang tidak kamu ajak bicara bisa membuatmu menolak semua kesempatan baik.
Emosi bukan musuh. Tapi juga bukan kompas.
Dia cuma penumpang yang bilang, "Eh, ada jalan rusak di sana."
Tapi tetap kamu yang pegang kendali.
ü“Aku Emosian Emang Udah Bawaan” – Bener Nggak?
Banyak orang bilang, “Aku memang emosian dari kecil.”
Atau, “Aku ini overthinking, susah kontrol.”
Atau, “Aku tuh gampang banget kebawa perasaan.”
Dan itu bisa saja benar… tapi bukan berarti permanen.
Emosi itu bisa dilatih.
Bukan untuk dihilangkan. Tapi untuk dikenali, dipahami, dikelola.
Seperti belajar menyetir:
Di awal pasti kaku, ngerem mendadak, belok kagok
Tapi makin lama kamu bisa lebih halus, lebih sadar kapan harus belok dan kapan harus diam
Emosi juga begitu.
üKenapa Kita Sering Kehilangan Kendali?
Karena kita jarang diajari untuk mengenali emosi.
Kita cuma diajari:
“Jangan nangis.”
“Marah itu dosa.”
“Laki-laki nggak boleh cengeng.”
“Perempuan tuh harus sabar.”
Akibatnya?
Kita tumbuh jadi manusia dewasa yang bingung sama perasaannya sendiri.
Kita diajari matematika, sejarah, dan tata bahasa.
Tapi nggak diajari apa arti gelisah, kecewa, atau cemburu yang sehat.
üCermin Emosi: Apa yang Sebenarnya Kamu Rasakan?
Coba kita latih bersama. Sekarang, pikirkan satu peristiwa terakhir yang bikin kamu:
Kesal
Tersinggung
Nggak mood
Atau tiba-tiba pengen ngilang
Sekarang tanya:
Apa sebenarnya yang aku rasakan?
Apakah benar marah? Atau sebenarnya aku kecewa? Atau takut ditolak?
Apakah emosiku saat ini proporsional dengan kejadian?
Marah karena ditegur bos. Tapi sebenarnya marahnya bukan ke bos, melainkan karena kamu belum memaafkan dirimu sendiri yang sering gagal.
Siapa yang sering kena akibat emosiku?
Pasangan? Teman? Diri sendiri?
Apa emosi ini pernah muncul sebelumnya? Di situasi berbeda?
Kalau iya, mungkin itu luka lama yang belum selesai.
üMemperbaiki Setir: Latihan Kendali Emosi
Bayangkan emosi seperti setir mobil. Kadang getar, kadang licin, kadang berat.
Beberapa cara untuk memperbaikinya:
1. Tarik Napas Dulu, Bukan Tarik Nada Suara
Saat emosi naik, tubuh kita tegang. Jantung berdetak cepat. Nafas pendek.
Langkah pertama: tarik napas 4 detik → tahan 4 detik → buang perlahan 6 detik.
Ulang 3 kali. Ini bukan klise. Ini cara menenangkan sistem saraf.
2. Jangan Percaya Pikiran Pertamamu
Pikiran pertama saat emosi biasanya ekstrem:
“Dia pasti benci aku.”
“Ini semua salahku.”
“Udah lah, ngapain hidup!”
Tahan. Dudukkan dulu. Tunggu 10 menit. Tulis. Lihat ulang.
3. Tanya, Bukan Tuduh
Daripada “Kamu tuh kenapa sih egois banget?”
Coba “Aku ngerasa sedih pas kamu nggak jawab pesan aku. Boleh cerita kenapa?”
Mengganti tuduhan dengan kejujuran bisa mengubah konflik jadi percakapan.
ü“Tapi Aku Gagal Ngontrol Emosi, Terus Nyesel…”
Nggak apa-apa.
Kadang kamu akan meledak. Kadang kamu akan salah.
Yang penting: belajar minta maaf dan belajar memahami dirimu sendiri.
Contoh refleksi yang sehat:
“Tadi aku ngomongnya kasar. Aku minta maaf. Aku akan coba lebih sadar lain kali.”
“Aku pengen ngilang karena merasa ditolak. Tapi aku sadar, aku butuh kasih tahu dulu perasaanku.”
Setiap orang pernah kehilangan kendali.
Tapi kamu bisa selalu belajar mengambilnya kembali.
üSiapa yang Sebenarnya Pegang Setir Hidupmu?
Kadang yang pegang setir bukan emosi… tapi trauma.
Atau ekspektasi keluarga.
Atau suara dari masa kecilmu.
Atau rasa bersalah dari keputusan lama.
Coba tulis:
“Selama ini, aku sering membiarkan ______ yang mengambil kendali dalam hidupku.”
Contoh:
“Selama ini, aku sering membiarkan rasa takut gagal yang ambil setir.”
Lalu tanyakan:
“Apa aku masih mau biarkan itu mengarahkan hidupku ke depan?”
üMengendarai Emosi, Bukan Digeret Emosi
Tujuan kita bukan jadi robot yang tidak punya rasa.
Tapi jadi manusia yang tahu:
“Oh, aku sedang marah.”
“Aku nggak harus bertindak sekarang.”
“Aku bisa memilih.”
Karena hidup bukan soal jadi orang baik terus.
Tapi jadi orang yang sadar bahwa setiap emosi punya ruang, dan setiap ruang butuh batas.
üPenutup: Kamu, Pengemudi Utama
Emosimu adalah bagian dari dirimu. Tapi kamu bukan emosimu.
Marahmu tidak menjadikanmu jahat, Sedihmu tidak menjadikanmu lemah, Takutmu tidak menjadikanmu pecundang.
Semua itu adalah penumpang yang bisa kamu dengar…
Tapi tetap kamu yang pegang setirnya.
Jadi, sebelum kamu ngebut atau belok tajam dalam hidup ini,
Cek dulu setirnya.
Kamu masih di balik kemudi, atau sudah digeser diam-diam oleh luka, ekspektasi, dan ketakutan?
Hari ini, ambil kembali posisi dudukmu.
Tarik napas. Pegang setirnya.
Karena hidupmu…
adalah perjalanan yang layak kamu kendalikan sendiri.