Semalaman aku tidak bisa tidur karena kejadian di mall tadi malam. Aku tidak menyangka Elric ada di sana dengan teman-temannya. Apalagi ketika mengingat suara Elric yang terdengar ketus, bisa dipastikan kalau laki-laki itu sudah salah sangka.
“Jadi aku harus bagaimana?” Aku mengacak-acak rambut lurusku. Jam di dinding sudah menunjukkan jam empat pagi. Sudah hampir subuh dan aku belum menutup mata sama sekali. Kalau bisa meminta kepada Tuhan, aku akan meminta supaya besok adalah hari libur, atau aku pindah di sekolah baru.
Pagi akhirnya benar-benar menunjukkan wajahnya. Aku melirik sekilas cahaya jingga di dalam luar sana. Terlihat biasa saja bagiku karena aku tidak menyukainya. Tidak menyukai sesuatu yang seperti orang-orang lakukan, menggalau bersama fenomena alam.
Aku mandi pagi-pagi sekali. Tidak biasanya dan yap, mama dan papa melihatku dengan heran. Adikku yang biasanya sudah siap pun heran juga. “Sakit, Kak?” tanyanya dengan wajah yang bloon. Aku segera menjitak kepalanya dengan kesal. “Mah, kakak menindas aku nih. Ish.”
Sebelum Yasya memukul tanganku, aku menyingkirkannya terlebih dahulu. “Salah sendiri ngawur kalau ngomong.”
“Udah-udah. Jangan gitu sama kakak kamu, Yas.” Mama kali ini membelaku. Biarkan anak manja itu dimarahi. “Kamu nanti bareng sama adik kamu ya. Papa mau anter mama ke pasar,” titah mama yang tidak bisa kutolak.
“Wokkayy.” Aku pun mengiyakan daripada mama menceramahiku panjang kali lebar.
Aku mengantar Yasya dengan sepeda motor bututku. Ya motor mio merah keluaran lama yang mesinnya sudah tidak sanggup jika harus dibawa kebut-kebutan. Meskipun begitu motor ini sangat bermanfaat untuk aku bersekolah. Ya sedikit merasa gengsi tapi apalah daya aku harus bertahan, masih juga minta orang tua jadi nggak bisa banyak protes. Sudahlah yang penting sampai di sekolah juga.
“Jangan lupa nanti makan siangnya dihabisin ya. Tumbuh tinggi, berotot, keren, dan bertambah cantik. Asik.” Aku memperagakan postur tubuh seperti seorang peragawan yang berotot besar padahal lenganku kecil. Adikku itu justru menatapku dengan jijik. Dia langsung membalik tubuhnya seolah tidak mengenalku. Hatiku sakit melihatnya. Apakah dia tidak tahu kalau ini namanya seni?
Aku menghentakkan kaki karena kesal dan menunjuk-nunjuk adikku tanpa suara. Gadis yang baru remaja itu melirikku dan langsung melengos begitu saja. Benar-benar tidak ada ampun kali ini, “Wah, awas kalau kamu di rumah, Yas.” Aku mengepalkan tanganku seolah sedang mencabikknya.
Aku berbalik badan, betapa terkejutnya aku ketika melihat Elric dan anak perempuan—berpakaian seragam yang sama dengan adikku—sedang menatapku dengan pandangan aneh. Mereka seperti sedang melihat orang gila berbicara.
“Kamu sekolah yang rajin biar nanti masuk SMA kakak.” Pria itu mengusap bahu adiknya. Adiknya pun mengangguk dengan sopan dan masuk ke dalam sekolah.
Aku heran, kenapa di setiap titik hidupku ini selalu bertemu dengan kakak kelas itu? Apakah masalah kemarin masih belum cukup? Baru juga aku tertarik dengannya tapi pertemuan kita selalu berisi hal-hal aneh yang kulakukan. Sudahlah jelek pasti image-ku di mata dia.