#CALYTRIX_IS_COMING
#FOUREVER_CALYTRIX
#5TAY_WITH_CALYTRIX
#WhereIsUngnyeo
Jari Alya berhenti menggulir kala membaca hashtag terakhir. Dadanya berdegup kencang. Ungnyeo. Apakah Ungnyeo yang dimaksud berkaitan dengan CALYTRIX atau sekadar keyword yang kebetulan trending bersama berita comeback grup tersebut?
“Yaya, woi!” Seruan Hanni bersama ketukan di pintu kaca menyentak. “Ngapain lo di sini? Lima menit lagi kita meeting.”
“Bentar, aku nunggu Olive balik dari toilet,” sahutnya sambil mengambil tablet. “Tumben banget Pak Harry minta rapat dadakan.”
Sang rekan kerja mengangkat bahu. “Semoga bukan PHK atau penundaan gaji kayak pandemi kemarin. Bikin gue trauma tiap masuk ruang meeting sampai sebulan.”
“Girls, yuk, meeting!” Olive muncul dari belokan yang mengarah ke toilet dengan wajah berseri. Dari sekian karyawan yang bekerja di Polished Wood Events, hanya perempuan itu yang mampu memancarkan aura positif sepanjang waktu. “Pak Harry udah otw ke lantai tiga.”
Ketiganya bergegas menuju tangga untuk menghindari anterean lift. Mereka datang lebih cepat, hanya selisih sekian menit dari Harry bersama sekretarisnya, Boris. Menilai dari wajah sang atasan yang berbinar, Alya menebak pemicu pertemuan ini adalah kabar bagus.
Namun, hal tersebut belum tentu bakal mengurangi beban kerjanya.
“Selamat pagi! Maaf saya mendadak memanggil kalian semua sebelum bertugas.” Harry menempati kursi di ujung meja, lalu mengisyaratkan Boris untuk menaruh tablet-nya. “Singkat saja karena saya setengah jam lagi harus ke PIK. Kemarin malam, saya menerima tawaran mengurus serangkaian acara dari agensi musik besar—”
Dengung gumaman dan bisikan seketika mengisi ruang meeting. Sementara Alya dan Hanni bertukar lirikan dalam diam.
“Sebentar, saya belum selesai bicara.” Para karyawan seketika bungkam kala Harry meninggikan suara. “Kalian barangkali tahu agensi yang menaungi Park Han—Hanil?”
“Park Haneul, Pak,” koreksi Olive.
“Ah, ya, agensinya merupakan adik perusahaan Music High Entertainment.” Kali ini, Olive turut bergabung dalam tukar tatap penuh arti bersama Alya dan Hanni. “CEO mereka, Jun Yeon, menawarkan kontrak eksklusif untuk mengatur event yang terkait dengan comeback grupnya. Hmm, apa namanya, kali, kali—”
“CALYTRIX, Pak!” Bersama dua rekan kerja perempuan lain, Olive menyerukan nama grup yang dimaksud dengan sorot mata berbbinar.
“Ya, itu, CALYTRIX.” Harry manggut-manggut. “CEO Jun bilang kalau acara Park Haneul sukses besar, dia ingin kita yang handle acara CALYTRIX. Dari fansign sampai kemungkinan besar konser mereka—”
Sekarang, kalimatnya terputus gara-gara pekikan Olive bersama kedua rekannya.
“Sepertinya kita punya penggemar CALYTRIX di sini,” celetuk Harry. “Tapi karena tawarannya belum deal, saya mau kalian pusatkan fokus pada Park Haneul. Acara tinggal satu minggu lagi. Pastikan semuanya ditangani dengan baik dan pihak-pihak yang terlibat meninggalkan kesan positif. Paham?”
“Paham, Pak!”
Selang lima menit kemudian, Harry meninggalkan ruang meeting. Boris tak langsung ikut. Dia perlu memastikan progres fanmeeting, termasuk menanyakan press release dan konten untuk media sosial kepada Alya yang menjabat sebagai publisis.
Bukannya meneruskan pekerjaan, Alya malah berbelok ke kamar mandi. Kucuran air dari keran perlahan menenangkan isi kepalanya yang berhamburan. Kenapa CALYTRIX? Kenapa harus tempat kerjanya pula yang mendapatkan kesempatan ini?
Alya kira kepergiannya dari Seoul akan membantunya untuk pulih. Namun, siapa sangka takdir malah menguji kemampuan dirinya untuk berhadapan dengan masa lalu.
*
<Alaric> mbak masih di kantor?
<Alya> he-eh, pulang sejam lagi.
<Alaric> oh gitu. aku mau tanya.
<Alaric> mbak lihat plain yoghurt di kulkas?
Kening Alya mengernyit. Alaric punya kebiasaan menyimpan stok camilan di kulkas. Namun, dia bukan tipe yang kerap memperhatikan barang-barang milik sang adik.
<Alya> enggak tahu, kamu taruh di mana?
<Alaric> di pintu kulkas, di bawah tempat telur.
<Alya> aku enggak lihat, sori.
Karena tak ada balasan, Alya lanjut mengetik draf email yang akan dikirimkan ke vendor dan media partner. Belum selesai menulis kalimat, ponselnya begetar. Alaric. Sepertinya masalah camilan hilang bukan sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata.
“Halo, Ric, kenapa? Masih soal yoghurt?”
“Bukan cuma yoghurtku.” Suaranya terdengar serius. “Aku abis dari kamar mandi. Kayaknya face wash punya Mbak enggak ada.”
“Face wash punyaku yang warna biru muda?” Alya termenung memandangi laptop. “Emang hampir habis, tapi masih kusimpan di kamar mandi.”
“Mbak simpan di samping wadah sikat gigi, kan? Aku enggak nemu. Cek di sudut dan laci P3K juga kosong.”
Punggung Alya menegak. Daya ingatnya bagus dan tajam. Perempuan itu yakin penyebabnya bukan memori yang kacau atau hilang.
“Aku pulang sekarang.” Alya bergegas menyimpan dokumen. “Cek bagian rumah lainnya. Siapa tahu ada barang lain yang raib.”
*
Sesampainya di rumah, Alya diseret Alaric menuju ruang tengah. Roman wajah sang adik yang serius seketika menandakan bahwa yoghurtnya yang hilang bukan perkara kecil.
Alya merenggangkan lengannya. “Apa ada barang yang hilang lagi selain yoghurt dan fash wash punyaku?”
“Uang,” jawab adiknya setengah berbisik. “Uang 50 ribuan yang Mbak simpan di atas lemari juga raib.” Alaric berdecak tak percaya. “Aku udah cek ke seluruh ruangan sampai ke kolong, hasilnya nihil.”
Benar, Alya selalu menaruh uang di atas lemari piring untuk membeli gas dan galon air. Sejak mereka pulang dari Korea Selatan, ini kali pertama uangnya hilang tanpa jejak.
“Sayang kita enggak punya CCTV,” gumam Alya. “Sebenarnya, ada satu nama yang muncul waktu kamu chatting, cuma aku enggak mau berprasangka buruk dulu.”
“Jangan-jangan kita memikirkan nama yang sama.” Lirikan Alaric mengarah ke kamar dekat dapur. “Dia pulang lebih dulu dariku dan belum keluar sejak mandi sore.”
Seminggu sejak kepindahannya, Mila masih menjaga jarak dari Alya dan Alaric. Kalaupun keluar kamar, itu hanya untuk makan, mandi, dan sekolah. Durasi terlamanya berada di luar ruangan adalah dua jam untuk mencuci dan menyetrika pakaian.
“Terlalu dini buat menyimpulkan,” gumam Alya. “Kita cek beberapa hari ke depan. Kalau barang-barang terus hilang, jelas ada pencuri di rumah ini. Terus kita buat strategi buat menjebak dia dan mengakui perbuatannya.”
“Setelah itu apa?” Alaric menatapnya bimbang. “Dilaporin ke Om Nandar? Emangnya dia bakal peduli?”
Wajar Alaric meragukannya. Selama bertahun-tahun, kakak beradik itu menyaksikan bagaimana Nandar dan mantan istrinya terkesan pilih kasih pada anak-anak laki mereka. Sementara Mila diperlakukan bak pengasuh.
Di sisi lain, Alya tetap perlu hati-hati mengambil langkah kalau dugaannya dan Alaric tepat. Jangan sampai Mila memperkeruh suasana.
“Kita bahas lagi nanti. Aku mau istirahat.” Diserahkannya kantung plastik berisi plain yoghurt pada Alaric. “Simpan baik-baik di kamarmu. Sisihkan sebagian di kulkas sebagai pancingan sekaligus memastikan kita enggak salah berasumsi.”
***