"Bahkan Jadian Pun Belum"
Cindy duduk termenung di meja kerjanya. Jari-jarinya berhenti menari di atas keyboard, sementara pandangannya kosong menatap layar monitor yang redup. Di sela keheningan itu, ia bernyanyi pelan—nyaris seperti bergumam sendiri.
> “Mau dibawa ke mana hubungan kita, jika kau terus menunda-nunda dan tak pernah nyatakan cinta…”
Ia menopang dagu, bibirnya masih melantunkan lirik dengan lirih. Rasa penat dan hati yang bingung bercampur jadi satu.
Tiba-tiba…
Pluk!
Cindy terkesiap. Sebuah kotak susu dingin menyentuh pipinya.
“Lagi suntuk ya? Kenapa?” suara itu familiar. Jefta. Dengan senyum usil dan mata jahilnya, dia berdiri di samping Cindy sambil menyodorkan susu dingin.
“Nih, minum dulu,” lanjutnya.
Cindy tersenyum kecil, menerima kotak susu itu.
“Terima kasih…”
Jefta menatapnya sebentar. “Malam ini kita jalan yuk?” tanyanya santai.
Cindy mengangkat alis, hati kecilnya melompat.
“Kemana?” tanyanya dengan nada datar, tapi dalam hati penuh harap. "Apa ini kencan? Serius? Apa dia akhirnya menyadari perasaanku?"
“Pasar malam. Mau gak? Nanti aku jemput.”
Cindy tersenyum manis. “Arah rumah kita berlawanan dengan pasar malam, mending kita ketemuan di sana saja.”
“Oke, baiklah. Tapi nanti aku yang antar kamu pulang. Jangan bawa motor ya. Jam delapan malam, kita ketemuan di depan gerbang pasar malam.”
“Siip!” jawab Cindy, nyaris ingin lompat saking senangnya.
---
Malam harinya...
“Cindy, kamu di mana?” tanya Jefta lewat telepon.
“Baru aja sampai di depan gerbang. Aku sudah lihat kamu, tunggu di situ, ya.” Cindy memutus telepon dan melangkah cepat ke arah Jefta yang berdiri sambil melambaikan tangan.
“Lihat deh, di sana ada yang jual gelang. Yuk sebentar,” ujar Jefta sambil menarik tangan Cindy tanpa menunggu persetujuan.
Mereka tiba di depan pedagang aksesoris.
“Mas, Mbak, mau beli gelang Lucky Couple? Boleh request nama, loh,” kata pedagang.
“Berapa sepasang?” tanya Jefta.
“Lima puluh ribu, Mas. Nama gratis.”
Jefta mendekat dan membisikkan sesuatu ke pedagang itu, “Di gelang cewek tulis nama Jefta, di cowoknya tulis Cindy, ya.”
Beberapa menit kemudian...
“Ini, Mas. Sudah jadi.”
“Terima kasih, Pak.” Jefta mengambil gelang itu dan memakaikannya ke pergelangan Cindy.
Cindy menatapnya bingung. “Kenapa gelang ini dipakaikan ke aku?”
“Kenang-kenangan aja, dari aku.” seakan tidak ingin kalah dari Christian
Cindy menatap gelangnya. Sederhana, tapi manis. “Cantik juga gelangnya...”
“Tapi gak secantik kamu,” jawab Jefta pelan tapi mantap.
Cindy mengerutkan kening, pipinya mulai hangat. “Kenapa sih kamu suka bikin aku baper?”
Jefta hanya tersenyum. Senyum kecil, tapi menggoda. Senyum yang membingungkan.
“Ayo naik piring terbang,” ajaknya tiba-tiba.
“Aku takut.”
“Jangan manja. Ayo!” Ia kembali menarik tangan Cindy.
“Aku bukan takut naiknya… Aku takut turunnya!”
“Kamu ini kan tomboy, masa takut turun piring terbang?”
“Iya deh, iya.”
Di atas piring terbang, angin malam menyapu rambut mereka. Cindy menoleh ke Jefta diam-diam.
"Padahal kodenya sudah sekeras itu, tapi kenapa dia masih ragu? Apa aku kurang effort ya? Kok dia gak pernah bertanya? Kenapa dia gantung aku kayak gini? "
---
Beberapa hari kemudian...
“Sebenarnya Cindy udah jadian belum sih sama Jefta?” tanya Winna tiba-tiba di pantry kantor.
Sitty hampir tersedak kopinya. "Urusan sama kamu apa?”
“Cuma pengen tahu aja…” sahut Winna, matanya menyipit penuh selidik.
“Kepo deh,” sambung Popi sambil tertawa sinis
Flashback
PAGI HARI — HALAMAN PARKIR KANTOR
Udara pagi masih sejuk ketika sebuah motor Triumph Bonneville berhenti perlahan di depan lobi kantor. Di atas motor itu, Cindy turun dengan hati-hati, mengenakan jaket jeans dan helm putih. Steven menyusul turun di belakangnya, dengan gerakan santai namun sigap.
Cindy membuka helmnya, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin pagi dan tekanan helm. Steven refleks mengulurkan tangan, merapikan poni Cindy yang terurai di keningnya.
STEVEN
(tanpa sadar tersenyum kecil)
“Rambut kamu selalu susah diatur habis naik motor ya.”
Kemudian mengacak kembali poni Cindy
"Aaahhhh kebiasaan dehhh.” sambil merapikan poninya
Mereka berjalan masuk ke kantor bersama. Dari kejauhan, seseorang berdiri diam di balik tiang taman kecil. Matanya tajam memperhatikan.
Wina.
Ia memegang ponsel dalam posisi merekam, suaranya tertahan di tenggorokan. Mata Wina menatap layar ponsel dengan campuran rasa tidak percaya dan kemarahan. Tangannya bergetar sedikit.
---
SIANG HARI — PANTRY KANTOR
Jefta baru saja menuang kopi ke cangkir saat Wina datang menghampiri dengan langkah cepat dan ekspresi serius.
tanpa basa-basi, memperlihatkan video
Dengan nada sinis, dan tajam
“Kayaknya kamu harus lihat ini dulu, deh.”
Ia membuka video yang direkam pagi tadi. Layar ponsel menampilkan dengan jelas: Cindy turun dari motor Steven, dan adegan Steven yang dengan lembut merapikan rambut Cindy.
Jefta mendadak membeku.
Kepalanya sedikit menunduk, namun matanya terpaku pada layar kecil itu. Senyumannya memudar perlahan. Detik demi detik di video seakan menampar wajahnya dengan kenyataan yang asing.
JEFTA
(pelan, nyaris bergumam)
“Itu... sejak kapan?”
WINA
(menatap Jefta dengan penuh tekanan)
“Kamu pikir Cindy cuma deket sama kamu? Kamu yakin dia gak main dua hati?”
Bisa-bisanya kamu mabuk dan nyebut-nyebut dia sampe merusak image kamu, trus yang kamu dapat malah kayak gini"
JEFTA
(menggeleng, masih bingung)
“Gak mungkin... Cindy bukan tipe yang kayak gitu.”
Tapi dalam hatinya "ini kan motor yang waktu itu Cindy pake ke mall"
“Kamu terlalu percaya sama dia. Padahal jelas-jelas kamu digantung, dan dia... nyaman-nyaman aja dianter jemput Steven. Itu bukan cowok biasa, Jef.” suaranya keras dan menajam
Jefta menghela napas, dadanya naik turun. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, kopi di cangkir diletakkan tanpa minum sedikit pun. Matanya kini gelap, dihujani keraguan.
JEFTA
(masih mencoba tenang)
“Dia gak pernah bilang soal Steven... dan aku gak pernah tanya.”
WINA
(menyentuh lengan Jefta, dengan suara lebih lembut tapi menusuk)
“Mungkin kamu harus pikir ulang, Jefta. Sebelum kamu kasih hati kamu sepenuhnya ke orang yang belum tentu milik kamu.”
---
JEFTA (DALAM HATI)
Kenapa rasanya perih, padahal belum jadi apa-apa? Tapi... kenapa aku juga gak tanya lebih dulu? Apa karena aku takut jawaban dari Cindy gak sesuai harapan? Atau aku memang pengecut yang nunggu, sampai semuanya terlambat?
Jefta masih terpaku di tempatnya. Cangkir kopi yang tadi dipegangnya kini diletakkan begitu saja di meja. Video di layar ponsel Wina sudah berhenti, tapi gambarnya seolah masih tertinggal di benaknya. Nafasnya tertahan. Pikirannya kacau.
Wina mengamati wajah Jefta dengan saksama, seakan sedang menunggu celah.
Lalu dengan nada pelan namun getir, Wina berkata:
WINA
(bergetar, matanya mulai berkaca)
“Kamu gak mau lihat aku?”
Jefta mengangkat kepalanya, alisnya sedikit terangkat.
WINA
(melanjutkan, suaranya naik turun karena emosi)
“Aku udah suka kamu dari SMA, Jef. Kamu tahu itu, kan? Kamu tahu banget!”
Hening.
Tatapan mereka saling bertemu. Mata Jefta penuh rasa bersalah. Ia menghela napas panjang, lalu menjawab tanpa menghindari mata Wina.
JEFTA
(pelan, jujur)
“Iya, aku tahu.”
WINA
(mendekat setengah langkah, suaranya merendah)
“Terus... kenapa kamu gak pernah lihat aku? Kenapa kamu selalu lari ke perempuan lain?”
JEFTA
(lembut, namun tegas)
“Karena... aku gak ada rasa sama kamu, Win. Kita penah bahas ini dulu waktu kuliah dan sepakat untuk jadi teman saja kan? "
Jawaban itu seperti membanting dunia Wina tepat di hadapannya. Ia memalingkan wajah sejenak, menggigit bibir bawah, mencoba menahan tangis yang hampir pecah.
JEFTA
(melanjutkan, suara tulus dan menenangkan)
“Kamu itu baik. Terlalu baik malah. Tapi bukan buat aku. Kamu berhak dapat seseorang yang bisa lihat kamu sepenuhnya... bukan cuma karena dia merasa bersalah.”
Wina menatapnya lagi, kali ini dengan mata merah. Tapi ia mencoba tertawa sinis.
WINA
“Jadi semua perhatian aku selama ini... kamu anggap apa?”
JEFTA
(penuh empati)
“Pengakuan. Kamu butuh itu. Tapi bukan dari aku. Kamu butuh seseorang yang bisa bales cinta kamu... dan itu bukan aku.”
Wina menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak. Kemudian ia menarik diri, menegakkan badan.
WINA
(berusaha tenang, namun getir)
“Semoga kamu tahu apa yang kamu lakukan, Jefta. Soalnya kalau kamu sakit hati karena Cindy, aku bakal jadi orang pertama yang berdiri di sisi yang berlawanan sama kamu.”
Ia melangkah pergi. Tinggal Jefta yang berdiri sendiri, memandangi bayangannya di cermin pantry. Kata-kata Wina bergema di kepalanya, bersahut-sahutan dengan bayangan Cindy dan Steven di pagi hari tadi.
Siang hari di kantor
“Kok Jefta cuekin aku, ya, sepanjang hari ini? Padahal dia gak sibuk,” tanya Cindy pada Sitty.
“Tadi pagi dia masih nanyain kamu, kok,” jawab Sitty.
“Iya, waktu kamu ke toilet, Jefta sempat tanya kamu ke mana. Tapi habis itu, Winna narik dia ke pojokan. Gak tahu deh mereka ngomongin apa. Tapi begitu balik, muka Jefta langsung kusut,” tambah Popi.
“Jangan-jangan... Winna ngomong yang aneh-aneh lagi,” kata Sitty, pelan.
“Hus, jangan su’uzon. Tapi... iya juga, gak seperti biasanya,” bisik Cindy, hatinya mulai tak tenang.
---