Janji yang Tergantung di Langit”
Malam itu, mereka duduk berdua di bangku taman, tempat biasa mereka belajar atau bercanda. Tapi malam ini berbeda. Christian tampak diam. Cindy bisa merasakannya.
“Kamu lagi mikir keras banget, ya?” kata Cindy memecah keheningan
Christian menoleh, matanya lembut tapi penuh beban.
"Aku punya kabar baik dan kabar buruk, kamu mau dengar yang mana dulu? "
"Kabar baik dulu dong"
"Oke" Menghela nafas panjang "Aku dapet kabar dari Papa. Aku diterima S2. Di Berlin. Fall semester depan.”
“Kamu… akhirnya keterima juga. Selamat ya. Impian kamu banget kan?!" Memeluk Christian, kemudian melepasnya pelan
Berita buruknya.. Apa???" Senyum tipis mengembangkan di bibir, namun matanya berkaca-kaca.. Seakan dia tahu dibalik berita gembira pasti ada sesuatu
Dia tersenyum. Tapi senyum itu tidak bertahan lama.
"Berita buruknya Papa minta aku ikut pegang cabang usaha keluarga di sana. Kalau lancar, bisa jadi aku gak balik dalam waktu dekat.”
Cindy terdiam. Dunia seakan berhenti.
“Itu bukan berita buruk. Tapi berarti… kamu bakal pergi dan lama.”
“Aku belum tau sampai kapan. Tapi aku pengen kamu tahu duluan, sebelum aku bikin keputusan besar.”
Dia menggenggam tangan Cindy erat.
“Aku sayang kamu. Tapi aku juga harus pikirin masa depan. Dan aku... gak mau janji palsu. Aku bisa balik. Tapi aku juga bisa... lama gak pulang.”
Cindy menahan napas. “Kita... harus putus?”
Christian menggeleng, cepat-cepat.
“Bukan itu maksudku. Tapi aku gak mau kamu nunggu dalam ketidakpastian. Aku... bingung.”
Cindy menarik tangannya perlahan, lalu berdiri.
“Aku juga gak suka ketidakpastian, Kak.”
“Malam ini… aku pulang dulu, ya. Kamu pikirin baik-baik. Beri aku waktu berfikir juga..
---
Di kos, Popi menemukan Cindy menatap langit-langit.
“Kamu nangis?”
“Aku gak tau harus nangis atau ketawa. Kayaknya... cinta tuh gak selalu bisa jadi alasan buat tetap bareng, ya?”
“Cinta bisa jadi alasan. Tapi kadang harus kalah sama realita.”
Cindy mengangguk pelan. Ia memeluk bantalnya.
“Aku pengen egois. Tapi aku juga sayang dia.”
“Jeda Bernama Perpisahan”
Beberapa hari kemudian
Malam itu, langit mendung tapi belum hujan. Mereka duduk di bangku taman kemarin.
Terlalu sunyi untuk malam minggu...
“Aku udah siapin semuanya. Visa, dokumen kampus, rencana kerja. Semua… kecuali satu hal.”
Cindy menatapnya, tapi diam.
“Kamu.”
Ia menggenggam tangan Cindy. Hangat, tapi gemetar.
“Kalau kamu minta aku tinggal, aku tinggal.”
Cindy menarik napas dalam-dalam. Ia menahan air mata yang hampir jatuh.
“Jangan tinggal karena aku.”
“Kenapa?”
“Karena aku gak yakin bisa tetap jadi alasan kamu untuk pulang nanti.”
Christian terdiam.
“Aku bukan ragu sama perasaan aku sekarang. Tapi manusia berubah, Kak. Jarak itu bisa mengikis. Waktu itu bisa mengubah. Aku gak mau janji, lalu kita saling menyalahkan kalau nanti gagal.”
Christian menunduk. Suaranya pelan.
“Jadi... kamu mau kita putus?”
Cindy mengangguk. Air matanya jatuh juga akhirnya.
“Iya. Bukan karena aku gak sayang. Tapi justru karena aku terlalu sayang. Aku gak mau cinta kita jadi beban yang saling menyandera.”
Christian menarik Cindy ke dalam pelukannya. Lama. Tanpa kata-kata.
“Aku tetap akan pulang.”
“Kalau memang takdirnya, kita akan bertemu lagi. Dalam versi terbaik dari diri kita masing-masing.”
Ia mencium pipi Christian—pelan, lembut, dan penuh makna.
Dan malam itu, mereka putus secara baik-baik dan dewasa.
Tanpa janji. Tanpa drama. Tanpa kata selamanya. Ia mencoba tersenyum. Tapi matanya mulai berkaca-kaca.
Terminal Terakhir Sebelum Kita Melepas
Bandara sore itu tidak terlalu ramai. Tapi bagi Cindy, hiruk-pikuknya seperti gema dari kepalanya sendiri—penuh suara yang tidak bisa dia redam.
Ia berdiri di antara deretan troli koper dan orang-orang yang sibuk berpamitan.
Lalu, Christian datang.
Koper hitam di tangan, jaket denim biru yang pernah Cindy pinjam saat hujan pertama mereka turun bareng, dan... senyuman yang tidak sepenuhnya tegar.
“Udah lama nunggu?”
“Nggak juga. Aku cuma… belum siap.”
Christian mengangguk pelan. Tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Cindy lama, seolah mencoba merekam wajah itu sejelas-jelasnya sebelum semua menjadi kenangan.
“Christian...”
“Hm?”
“Aku gak akan bilang jaga diri baik-baik. Karena kamu pasti bisa. Tapi… boleh gak satu permintaan kecil?”
“Apa pun.”
“Jangan lupa rasa ini. Meskipun kita bukan lagi 'kita'. Tapi kalau itu berat dan jadi beban gak apa-apa lupain aja"
Cindy tersenyum tipis dan terpaksa, sementara sudut matanya telihat merah
Christian menghela napas, lalu meraih tangan Cindy dan menciumnya lembut.
“Aku gak akan lupa. Karena kamu bukan cuma rasa… kamu rumahnya.” matanya berkaca-kaca namun berusaha di tahan agar tak menangis
Air mata Cindy jatuh juga. Ia buru-buru menyeka, tapi Christian sudah menyentuh pipinya lebih dulu.
> “Aku akan baik-baik aja, Cin.”
“Aku tahu. Dan aku juga akan berusaha bahagia. Bukan karena kamu, tapi karena aku juga berhak.”
> “Tapi kalau semesta izinkan…”
“Kita ketemu lagi.”
“Di waktu yang benar.”
“Dengan versi terbaik dari kita.”
Mereka saling berpelukan. Lama. Tak peduli pada orang-orang di sekitarnya.
Ketika pengumuman boarding terdengar, Christian melepaskan pelukannya perlahan.
> “Aku pergi dulu.”
“Aku nggak bilang sampai jumpa.”
“Aku tahu.”
Christian berjalan menjauh.
Tapi tepat sebelum ia masuk ke gate, ia menoleh.
Satu tatapan terakhir.
Satu senyum penuh luka.
Lalu ia menghilang di balik pintu keberangkatan, meninggalkan Cindy dengan dada yang penuh.
Karena meski cinta itu dilepas, kenangannya tetap tinggal.