“Sepi yang Tidak Bisa Dijelaskan”
(POV Christian – Berlin, beberapa minggu setelah kepergiannya)
Berlin dingin.
Bahkan saat matahari menggantung di langit, angin tetap menggigit. Tapi dingin itu tidak seberapa dibandingkan kekosongan di dada Christian.
Ia duduk di balkon flat kecilnya, secangkir kopi hitam di tangan, dan ponsel yang masih menyimpan foto terakhir mereka di bandara. Senyuman Cindy. Tatapan Cindy. Pelukan yang mereka berikan, seolah tahu, pertemuan berikutnya belum tentu nyata.
> "Kamu rumahnya."
Kalimat yang ia ucapkan itu... masih terngiang.
Dan terasa lebih nyata daripada udara dingin Berlin.
Jam biologisnya kacau. Pagi di sini, malam di Jakarta. Tapi yang paling kacau: isi kepalanya. Setiap selesai kuliah, setiap selesai proyek, setiap menatap langit yang kelabu, pikirannya melayang ke satu orang.
Cindy.
Gadis ceroboh yang pura-pura polos. Yang suka highlighter warna-warni. Yang pernah menulis namanya pakai pulpen glitter.
Christian membuka laptop, mencoba menulis email—yang tak pernah ia kirim.
---
Draft: Email ke Cindy (Tidak Terkirim)
Subjek: Gimana kabarnya kamu?
Cindy,
Hari ini aku lihat dua mahasiswa Indonesia di cafetaria. Salah satunya pakai jaket warna ungu muda. Aku refleks mau manggil, karena inget kamu.
Padahal kamu gak pernah punya jaket warna itu.
Tapi kamu memang selalu muncul di kepala... bahkan lewat hal-hal kecil.
Aku lagi banyak tugas.
Tapi yang paling berat... adalah tugas untuk melupakan kamu.
Maaf. Aku masih belum bisa.
– C
---
Ia menutup laptop. Tidak dikirim. Tidak hari ini. Mungkin tidak pernah.
Christian berdiri, berjalan ke meja kerja dan membuka binder catatan. Di dalamnya, terselip satu hal yang ia bawa diam-diam:
Sebuah origami burung kecil, warna pastel, dengan tulisan kecil:
> "Kita mungkin tidak bisa terbang bersama, tapi semoga kamu tetap menemukan langitmu."
– Cindy.
Tangannya menggenggam origami itu. Matanya menatap keluar jendela.
Salju mulai turun.
Christian membiarkan dirinya menangis. Diam-diam. Untuk cinta yang ia lepas, tapi tidak pernah ia buang.
---
✧“Dua Langit yang Berusaha Bertahan” ✧
Berlin & Jakarta. Dua waktu. Dua hati. Masih saling ingat.
【POV Christian – Berlin】
Christian bangun pagi dengan cahaya matahari tipis yang menyelinap dari balik tirai putih. Ia melirik kalender. Bulan ketiga di Berlin.
Setiap hari kini dimulai dengan jadwal padat—kelas riset bisnis, strategi korporasi, pertemuan internasional. Namun, ada satu hal yang belum berubah: setiap kopi pagi tetap terasa hampa.
Hari ini ia duduk bersama Anya, mahasiswi asal Polandia, dan Tomo, rekan asal Jepang. Mereka bertiga terlibat dalam proyek kampus soal bisnis keluarga multinasional.
> “Christian, kamu keliatan kayak mikir yang berat,” ujar Anya sambil menyeruput cappuccino.
“Aku cuma... lagi adaptasi,” jawabnya pendek.
“Adaptasi atau merindukan seseorang?” seloroh Tomo.
Christian hanya tertawa kecil. Tidak menjawab.
Di flat kecilnya malam itu, ia menyalakan lampu temaram, memutar lagu yang pernah Cindy nyanyikan di karaoke:
“Melompat Lebih Tinggi” – Sheila On 7.
Entah kenapa, ia bisa membayangkan Cindy melompat-lompat di kamar sambil menyanyi.
Christian menatap langit malam Berlin. Ia tahu ia harus maju. Tapi ia belum bisa lupa cara Cindy mencintai—dengan ketegasan dan ketulusan sekaligus.
---
【POV Cindy – Jakarta】
Cindy kembali ke rutinitas. Kampus, kosan, tugas. Tapi kini tanpa langkah kaki Christian di sela hari.
Ia lebih aktif di himpunan. Mulai ikut komunitas penulisan. Bahkan jadi mentor adik tingkat baru. Tapi... tetap saja ada yang hilang.
Kadang saat ia duduk di taman kampus, bayangan Christian seperti duduk di sampingnya. Diam-diam ia membuka folder foto mereka.
Folder bernama: "Yang Pernah Ada."
> “Cin... kamu yakin udah move on?” tanya Popi suatu sore.
Cindy menjawab dengan senyum. “Move on itu bukan soal lupa. Tapi soal belajar jalan meski sendirian.”
“Tapi kamu belum sendiri. Kamu masih simpen semuanya.”
Cindy diam. Lalu berkata pelan, “Aku cuma belum siap buang.”
Malamnya Cindy menulis puisi di buku kecil:
> Kamu mungkin langit yang tidak kupeluk lagi.
Tapi kamu tetap angin yang aku rasakan setiap pagi.
---
✧ Potongan Waktu ✧
Christian membaca buku di perpustakaan. Cindy menatap bintang di balkon kosan.
Christian mengirim pesan ke grup keluarga. Cindy menulis puisi baru di binder.
Keduanya sedang berusaha. Untuk kuat. Untuk maju. Tapi... dalam hati kecil, mereka sama-sama bertanya:
> Apakah kamu juga rindu? Atau cuma aku?
✧ Surat yang Tak Pernah Sampai ✧
Karena tak semua rindu bisa dikirim. Tapi tetap ditulis agar hati tak runtuh.
【Cindy – Jakarta】
Malam itu hujan turun deras. Cindy duduk di dekat jendela kos, memakai hoodie kelabu milik Christian yang dulu sempat ia pinjam… dan tidak pernah dikembalikan.
Di hadapannya, lembaran kertas bergaris yang hampir penuh. Ia menghela napas dan kembali menulis.
---
Dear Christian,
Kadang aku ingin menghubungimu. Tapi kemudian aku takut jadi beban.
Aku tahu kamu sibuk. Aku lihat dari story Steven, dari foto-foto wisudamu yang makin dekat, dari rumor bahwa kamu mulai bantu urus perusahaan keluarga.
Aku bangga, sungguh.
Tapi... aku juga sedih, karena aku tidak lagi tahu cara jadi bagian dari hidupmu.
Di sini, aku baik-baik saja. Aku ikut komunitas menulis. Aku jadi mentor adik tingkat. Aku mulai bisa tertawa tanpa kamu. Tapi setiap malam, tetap saja aku bertanya:
“Apa kamu juga mikir aku sebelum tidur?”
Aku tahu kita berpisah baik-baik. Tapi apa kamu juga diam-diam nangis setelah kita pamit di bandara?
Kadang aku ngerasa bodoh. Kenapa masih nulis surat buat kamu padahal gak ada alamat untuk dikirimi?
Tapi kutulis juga, karena ini caraku menjaga ingatan.
Caraku mengaku, bahwa aku masih cinta. Tapi kali ini… diam-diam saja.
Salam dari langit yang masih sama,
Cindy.
---
Cindy melipat surat itu pelan-pelan, memasukkannya ke dalam kotak kecil berisi kenangan:
Foto mereka di taman, tiket bioskop terakhir, dan gelang kertas dari acara kampus yang mereka hadiri bersama.
Kotak itu lalu ia simpan di bawah bantal, seperti jantung kecil yang ia kubur tapi belum benar-benar mati.
---
【Christian – Berlin】
Sementara itu, Christian sedang duduk di depan laptop. Rapat daring dengan Asia baru saja selesai. Ia memijat pelipisnya.
Di meja ada tumpukan laporan. Di dinding flat ada jadwal kuliah dan deadline kerja.
Ponsel berbunyi—bukan dari Cindy. Bukan dari siapa-siapa yang dia tunggu.
Ia membuka galeri. Folder khusus bernama: "Cin, just in case."
Foto Cindy saat tertawa. Suara Cindy saat karaoke. Screenshot puisi dari story-nya.
> “Nanti aku pulang, Cin… Tapi aku gak tahu kapan,” gumamnya lirih.
“Maaf, ya. Aku belum bisa jawab, bahkan kalau kamu tanya di dalam hati.”
---
Keduanya hidup.
Keduanya tumbuh.
Tapi masih saling menyimpan.