Petuah, dan Pertemuan Tak Terduga
Libur semester datang juga. Cindy baru saja meletakkan koper di pojok kamar ketika suara klakson mobil membuyarkan keheningan siang.
Mama yang sedang menyiram bunga langsung berseru, “Cindy, buka pagar! Kak Steven datang!”
Cindy berlari kecil ke halaman. Seorang pria tinggi dengan sweater rajut abu-abu dan kacamata bundar keluar dari mobil sambil tersenyum lebar.
> “Halo, Mademoiselle!” sapa Steven dengan logat yang agak dibuat-buat.
Cindy langsung memeluk kakaknya. “Kak Steven! Kamu kurusan! Paris nyiksa kamu, ya?”
> “Paris nggak nyiksa. Dompet yang tersiksa,” jawab Steven sambil mengangkat koper.
---
Sore Hari – Ruang Tamu
Keluarga itu berkumpul di sofa. Steven duduk santai dengan teh dan kue buatan Mama. Cindy mengamati kakaknya yang kini terlihat lebih dewasa, tenang, dan entah kenapa… siap menginterogasi.
> “Jadi,” kata Steven, menatap Cindy penuh makna. “Mama bilang kamu sekarang pacaran?”
Cindy menyembunyikan wajah di balik bantal. “Mama cepu banget.”
Mama menyahut dari dapur. “Pacaran bukan hal tabu, asal kamu bertanggung jawab!”
Steven mengangguk setuju. “Iya, Cin. Aku cuma mau bilang, cowok itu kadang bisa manis banget di awal. Tapi yang penting bukan yang bisa ngasih bunga, tapi yang tahu cara berdamai waktu kamu marah, dan mau tetap ada waktu kamu susah.”
Cindy diam. Matanya melembut. “Kak, dia bukan cowok yang sempurna… tapi dia nggak pernah pura-pura jadi orang lain. Tapi kita kan masih muda, bisa aja putus di tengah jalan gak ada yang tahu"
Steven tersenyum kecil. “Bagus. Tapi boleh dong aku kenalan?”
> “Besok,” kata Mama dengan semangat. “Steven temenin Mama belanja pagi, terus Cindy bantu masak. Siangnya kita undang dia makan siang di rumah!”
Steven tertawa. “Oke. Aku siap jadi juri.”
---
Hari Berikutnya – Makan Siang di Rumah Cindy
Makanan sudah tersaji rapi di meja. Ayam panggang, sup krim, salad, dan jus segar—Mama benar-benar all out.
Lalu bel rumah berbunyi.
Cindy berlari membukakan pintu. Christian muncul dengan senyum kalem, membawa sekotak pie dari bakery favorit Mama.
> “Permisi, Tante.,” sapa Christian sopan.
Steven, yang sedang menyesap air putih, menoleh. Tatapannya langsung berubah.
Christian melangkah masuk dan berdiri di hadapannya.
> “Christian Nathanael,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Steven menyipitkan mata. “Tunggu… Christian Nathanael… Saint Vianney?”
Christian mengangguk pelan. “Iya, Kak. Dulu aku angkatan 2009.”
Steven tertawa pelan, tercengang.
> “Gila. Jadi kamu anak basket yang dulu sering bolos latihan karena katanya ‘lebih suka baca di taman’ itu?!”
Cindy menatap keduanya, bingung. “Hah? Kalian kenal?”
Christian menggaruk tengkuk. “Kak Steven dulu Ketua OSIS, Cin. Dia yang pernah hukum aku nyapu lapangan karena telat upacara. Nah sekarang aku ikutin gaya dia. "
Steven menghela napas dramatis. “Karma ya, Cin. Cowok yang dulu gue omelin sekarang jadi pacar adik gue.”
Cindy menutup wajahnya.
Mama tertawa. “Dunia itu bulat, Nak. Jangan suka marahin orang, nanti bisa jadi mantu!”
Steven geleng-geleng. “Tenang, Ma. Aku belum nyerahin sertifikat restu. Tes selanjutnya: ngobrol empat mata. Kamu siap, Chris?”
Christian mengangguk tenang. “Siap, Kak.”
Interogasi, Kenangan, dan Fakta Mengejutkan
Setelah makan siang selesai dan Mama sibuk di dapur, Steven memberi isyarat ke Christian.
> “Yuk, bro. Ngopi bentar di teras. Cowok ke cowok.”
Christian mengikuti Steven ke teras belakang rumah. Cindy mencoba menguping dari balik tirai, tapi Mama sudah menyeretnya ke dapur. “Biarin, belajar mandiri,” katanya sambil menyodorkan parutan keju.
---
Teras Belakang – Sore yang Hangat
Steven menuangkan dua cangkir kopi, lalu menyender santai di kursi rotan.
> “Jadi, Christian. Kamu tahu, aku bukan tipe kakak yang sok melindungi, tapi Cindy itu kadang terlalu baik buat cowok yang gak jelas. Nah, kamu sendiri… tipe yang jelas atau yang muter-muter?”
Christian tersenyum kecil. “Dulu saya yang muter-muter. Tapi sekarang, saya tahu saya mau ke mana.”
Steven mengangkat alis. “Dan itu ke arah Cindy?”
> “Iya.”
> “Kenapa?”
Christian mengaduk kopinya. Lama dia terdiam sebelum menjawab.
> “Karena dia orang pertama yang bikin saya pengin sembuh… bukan hanya dari luka, tapi juga dari rasa ingin sendiri.”
Steven terdiam. Jawaban itu terlalu jujur. Terlalu dalam. Tapi ia belum mau mengalah.
> “Dari semua cewek di kampus, kenapa adik gue?”
Christian tersenyum pelan, menatap jauh ke halaman.
> “Sebenarnya… ini bukan pertama kalinya saya suka dia.”
Steven melirik tajam. “Maksud lo?”
> “Waktu SMA. Kelas dua. Ada acara ulang tahun sekolah, dan satu-satunya alasan saya datang ke acara itu cuma buat nonton vokal grup.”
Steven diam, mulai menyadari arah ceritanya.
Christian melanjutkan.
> “Ada satu cewek… rambut panjang, suara alto, gak banyak senyum tapi auranya bikin pengin diem nonton terus. Saya gak tahu namanya, cuma tahu dia anak kelas sepuluh. Saya cuma ingat satu hal… dia nyanyi lagu If I Ain’t Got You dan semua orang langsung diam.”
Steven menepuk jidat. “Cindy…”
Christian tersenyum. “Waktu itu saya cuma berani minta tolong temen buat cari tahu siapa dia. Tapi sebelum saya bisa kenalan, dia pindah sekolah.”
Steven menatapnya dengan ekspresi campur aduk. “Jadi lo suka Cindy sejak SMA?”
> “Gak berani bilang suka. Tapi saya ingat dia. Selalu. Dan waktu ketemu lagi di kampus… saya tahu, ini bukan kebetulan.”
Steven mendengus. “Sial. Gue kayak jadi tokoh pendukung di drama kampus.”
Christian tertawa kecil. “Tokoh yang punya wewenang untuk ngetes tokoh utama.”
Steven mengangguk pelan. Ia berdiri, menepuk bahu Christian.
> “Gue belum nyerahin restu kakak. Tapi lo satu-satunya adik kelas yang bikin gue kagum hari ini.”
> “Terima kasih, Kak.”
---
Dapur – Beberapa Saat Kemudian
Cindy menoleh ketika Christian masuk dari arah teras. “Gimana? Disidang?”
Christian mendekat dan berbisik di telinganya.
> “Aku dinyatakan lulus wawancara tahap satu. Katanya, tahap dua harus lewat suara alto yang bisa bikin semua orang diam.”
Cindy memerah.
> “hahhh!!!! Matanya membesar dan mulutnya sedikit tebuka
"Maksudnya? ” Cindy binggung dengan arah percakapan ini
Christian menatapnya dengan lembut.
> “Rahasia Pria.”