Tawa Gyn dan ayahnya menggelegar dengan renyah. Pinan yang mendengar pembicaraan keduanya punikut tertawa. Kina juga tersenyum menanggapinya. Mereka seperti keluarga bahagia yang sederhana. Sejenak Kina menyadari bahwa begini ternyata juga baik, duduk bersama dengan keluarga dan mendengarkan lelucon mereka.
Sejak dulu Kina merasa diasingkan oleh keluarganya, dia tidak pernah mau bergabung dengan keluarganya. Ketika dia mendengar suara ayah, ibu, dan adiknya tertawa dia iri. Ternyata keirian itu dia yang membuatnya sendiri. Kehadiran Gyn memberikan kebahagiaan bagi mereka, tidak seperti Kina yang terlalu serius dengan kehidupannya.
Hidup Kina yang jauh berbeda pun sebenarnya juga terjadi karena kedua orang tuanya yang keras kepada dirinya untuk bisa berhasil dalam keadaan apa pun. Beban di pundak Kina juga berat. Dia memiliki banyak impian yang dilimpahkan kepada dirinya. Dia harus mendapatkan peringkat yang baik, sekolah yang bagus, dan prestasi yang membanggakan. Kina menjadi semakin larut dengan kegiatan belajarnya dan perlahan kehilangan cara untuk bersosialisasi dengan manusia. Target di hidupnya yang menjadikannya seperti robot.
Tangan Kina diremas dengan lembut oleh ibunya. Dia melupakan kenyataan seberapa lama tangan itu tidak memberikan kehangatan untuk dirinya. Kina tidak tahu harus bereaksi seperti apa, dia hanya bisa menatap tangan itu dengan gamang.
“Gelang ini selanjutnya akan menjadi milik kamu, Kina.” Pinan memberikan gelang itu kepada anak sulungnya. Tawa Gyn dan ayah berhenti, mereka menatap momen itu dengan saksama.
“Bukankah seharusnya diberikan kepada Gyn?” Kina memundurkan tangannya. Dia melirik Gyn dan ayah sekilas. “Gyn yang lebih pantas untuk berada di sini. Aku sudah memiliki keinginan lain untuk tidak berada di sini.”
“T-tapi, Kina …” Pinan terbata-bata, matanya beralih menatap Arvensis dan pria itu menggelengkan kepalanya. “Baik kalau begitu.” Pinan memakai gelangnya kembali dengan perasaan sedih.
Pinan mengira ketika dia jujur ini, Kina dapat memaafkan dirinya, tetapi sepertinya perjalanan itu masih panjang. Dia hanya berharap anak sulungnya menemukan maksud ajarannya selama ini. Dia hanya mencoba memberikan yang terbaik untuk anaknya, tetapi mungkin cara yang dipilihnya salah.
“Kata mama kita ada tempat rahasia lain lagi? Bagaimana jika kita melihatnya?” tanya Gyn dengan semangat. Anak bungsu itu sengaja mengubah topik agar ketegangan tercairkan. Beruntungnya berhasil dan Pinan terlihat lebih tegar.
“Sebentar.” Pinan menunduk di bawah meja dan meletakkan berlian di ukuran kayu bawah itu dengan tenang. Sekilas cahaya berwarna emas menyelimuti mereka dan membawa mereka ke tempat rahasia.
Gyn berdiri dari duduknya dan membentuk mulut berhuruf O yang besar. Matanya tidak bisa berhenti berkedip melihat lampu megah di atas kepalanya. Ruangan itu cukup luas. Dindingnya berwarna putih mewah dengan ornament-ornamen berwarna emas. Matanya sedikit silau. Dia menatap lampu yang menarik matanya tadi. Ternyata itu bukan lampu tetapi berlian yang menyilaukan mata.
Berbeda dengan Gyn yang terpaku dengan lampu megah, Kina justru langsung tertarik dengan jajaran rak yang rapi di sekitar dinding. Rak-rak itu dijadikan sebagai tempat menyimpan barang. Kina mendekatinya. Dia bisa melihat benda-benda aneh yang berada di sana. Benda-benda itu tersimpan sesuai dengan nama pemilik dari bagian tubuh itu.
Kina sebenarnya merinding begitu membaca nama-nama yang tertera. Dia menatap orang tuanya secara bergantian dengan ngeri. Mungkinkan mereka setega itu dengan hewan-hewan yang ada di rak itu? Dia tahu mereka pasti mengumpulkannya untuk menjadi tambahan bahan obat tetapi tidak dengan menyakiti hewan seperti itu.
Pinan dan Arvensis merasa ada yang salah dengan tatapan Kina dan mereka akhirnya mendekat ke arah Kina. Sementara Gyn lebih asik melihat barang-barang langka seperti porselen, piring giok, dan barang-barang antik lainnya.
“Ibu sama ayah rela menyiksa binatang hanya untuk menjadikan sebagian tubuh mereka sebagai koleksi?” tanya Kina dengan kata-kata tajam.
“Eittsss …. Em em em.” Arvensis mengacungkan jari telunjuknya dan menggoyangkan ke kanan dan ke kiri. Kepalanya pun ikut bergerak seirama dengan telunjuknya. “Dilarang menyakiti hewan yang tidak bersalah.”
Arvensi lalu mendekat ke rak dan membuka tangannya lebar-lebar seperti seorang sales barang yang memperlihatkan koleksi jualannya dengan bangga. “Semua ini ayah dan ibu dapatkan ketika melakukan perjalanan jauh. Kami diberi langsung oleh binatangnya,” jelas pria itu dengan bangga.
“Memang ada yang akan memberikan kulit harimau dari bangsanya sendiri untuk disimpan di sini?” Kina berkata dengan ngeri. Dia membayangkan kalau hewan pemakan karnivora itu dikuliti setelah mati.
“Sebelum harimau putih itu mati dan menjadi abu, dia menyerahkan inti kehidupannya kepada ayah dalam bentuk kulit. Kulit ini bisa dijadikan obat sekaligus bisa menjadi senjata pelindung manusia. Kulit ini bisa melindungi manusia dari panah.”
“Mereka menjadi abu?” tanya Kina penasaran. Bagaimana cara kerja dunia yang ayah dan ibunya perkenalkan ini.
“Mereka biasanya akan menghilang setelah mereka meninggal. Para hewan di sini bisa mengetahui ajal mereka. Untuk itu mereka bisa meninggalkan inti tubuh mereka dalam wujud apa pun atau mereka bisa memilih untuk tidak meninggalkan apa-apa.”
Kina menatap kulit harimau putih itu dengan saksama. Kulit itu ternyata memang bukan kulit hewan biasa.
“Lalu bagaimana dengan gading gajah ini? Mereka juga memberikannya secara cuma-cuma untuk kalian? Bukankah terlalu kebetulan?” Kina masih belum sepenuhnya percaya dengan cerita kedua orang tuanya. Ada banyak hal yang bertangkar di pikirannya.
Ruangan dengan rak berjejer rapi yang menampilkan bagian-bagian tubuh binatang itu terlihat tidak masuk akal untuknya. Apalagi ternyata mereka memiliki keajaiban untuk membantu manusia. Bukankah hal seperti akan membuat hewan-hewan tidak bersalah itu dikorbankan? Bagaimana orang tuanya akan menjelaskan bagian tubuh hewan yang lainnya? Kina penasaran.