Loading...
Logo TinLit
Read Story - A Tale of a Girl and Three Monkeys
MENU
About Us  

Chef Meghan adalah alasan Agni jatuh cinta pada dunia memasak—terutama baking. Bukan hanya karena wajahnya yang cantik dan gaya busananya yang modis, tapi juga karena keahliannya di dapur yang luar biasa. Resep-resep ciptaannya sederhana, namun rasanya jauh melampaui kreasi chef lain yang pernah Agni coba.

Selain itu, Chef Meghan aktif di media sosial. Tidak seperti selebgram lain yang gemar memamerkan barang mewah, hidupnya justru terlihat sederhana dan nyaris tanpa drama. Kesederhanaan itulah yang membuatnya tampak elegan.

Kelak, saat sudah dewasa nanti, Agni ingin menjadi seperti dia.

Menjadi perempuan yang cantik, mandiri, dan elegan…

“Tutup mulut kek kalau lagi ngorek gigi,” suara Remi mendadak memecah lamunan Agni. Ia mengernyit jijik saat melihat Agni dengan santai mengorek sisa ayam di giginya menggunakan jari.

“Hah? Apa?” Agni menoleh santai, tetap melanjutkan aktivitasnya yang jelas jauh dari kata elegan.

Remi memalingkan wajah sambil menggeleng pelan, lalu kembali menyuap nasi gorengnya.

Siang itu, kantin sekolah tampak ramai seperti biasa. Agni, Kinsha, Aliya, dan Remi duduk di pojok favorit mereka—meja bundar dekat jendela yang menghadap taman kecil. Bekal buatan mama Agni sudah tandas sejak tadi, dan sekarang ia sibuk berselancar di ponselnya, mencari inspirasi untuk kreasi macaron.

Kinsha dan Aliya, yang juga sudah selesai makan, ikut tenggelam dalam layar gawai masing-masing.

“Gimana kalau ini?” kata Kinsha, menyodorkan layar ponselnya. “Temanya summer gitu. Jadi pakai warna-warna warm kayak coral, peach, sama kuning pastel.”

Agni menyipitkan mata, menimbang. “Hmm… tapi butuh makna yang lebih personal.”

“Lo kan suka warna oranye? Pas sama tema summer,” timpal Aliya.

“Tapi kurang deep gitu maknanya,” gumam Agni.

“Kayaknya cocok deh sama lo. Summer itu kan identik sama panas, meledak-ledak, bikin pusing…” komentar Remi santai.

Agni langsung menoleh. “Lo ngatain gue ya?”

Remi hanya menyeringai, tidak merasa perlu membela diri.

Tiba-tiba Kinsha menepuk lengan Agni sambil memberi kode dengan anggukan ke arah seberang kantin. “Prince charming lo tuh,” bisiknya. Aliya terkikik.

Agni menoleh pelan. Di salah satu sudut kantin, duduk seorang cowok dengan wajah bak pangeran—kulit bersih, fitur wajah tajam, senyum menawan. Devan, siswa kelas XII IPA-3 yang punya banyak penggemar.

Wajah Agni langsung memanas. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan senyum yang mengancam keluar. Belakangan ini, Devan sering mengirim chat padanya. Dua minggu lalu, saat Agni menjaga stan pameran kelas, Devan mampir dan mencicipi brownies buatannya. Mereka ngobrol sebentar, lalu—entah bagaimana—Devan minta nomor ponselnya.

Agni belum pernah punya pacar. Jadi ketika cowok sekeren Devan mulai mendekatinya, ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Tapi akhirnya dia memberikan nomornya. Sejak itu, Devan rutin menghubunginya.

Remi mendesah pelan. “Gue enggak ngerti kenapa cewek-cewek pada suka sama dia. Menurut gue sih, dia biasa aja.”

Kinsha melirik malas. “Ya kalau lo juga mikir dia ganteng, nanti lo bisa saingan sama Agni.”

Aliya tertawa geli, tapi tawanya terhenti mendadak. Matanya melebar. “Ni, ni! Dia ke sini!”

Agni mendadak panik. “Gigi gue masih ada sisa ayam enggak?” bisiknya panik sambil memamerkan deretan giginya ke Aliya.

Aliya menatap intens. “Enggak ada. Aman,” jawabnya cepat.

“Hai, Ni,” sapa sebuah suara yang dalam dan lembut.

Agni menoleh. Devan sudah berdiri di sebelahnya. Ia buru-buru berdiri dari kursi. “Eh, iya, Kak…”

Kinsha dan Aliya berusaha menahan tawa saat mendengar suara Agni berubah jadi superlembut.

“Semalem lo enggak bales chat gue. Udah tidur, ya?” tanya Devan.

Agni pura-pura terkejut. “Kak Devan chat lagi ya semalem? Ya ampun Kak… kayaknya aku ketiduran deh, gara-gara belajar buat kuis hari ini…”

Padahal tidak. Agni tahu Devan mengirim pesan. Ia sengaja tidak membalas. Agni memang tidak pernah pacaran, tapi dia tidak mau terlihat bodoh. Jadi setelah Devan mendekatinya, dia mencari tips-tips cinta di internet dan salah satu saran dari seorang coach cinta, laki-laki suka dibuat penasaran. 

“Ooh, gitu…” Devan tampak ragu sejenak, lalu melanjutkan, “Weekend ini, lo ada acara enggak?”

Mata Agni membulat. “Belum sih… kenapa, Kak?”

“Mmm… kalau enggak ada, mau nonton bareng?”

Jantung Agni berdetak tak karuan. “Boleh… aja sih…”

Devan tersenyum lebar. “Kalau gitu, nanti gue jemput, ya? Lo share loc aja rumah lo.”

Agni mengangguk pelan. Pipinya sudah mulai panas.

“Nanti malam bales chat gue, ya,” kata Devan, masih dengan senyum percaya dirinya.

Agni mengangguk lagi.

“Oke, gue balik ke kelas dulu. Bye…”

Devan melambaikan tangan dan pergi. Agni langsung duduk kembali, mencoba menyembunyikan wajah yang memerah.

Kinsha dan Aliya langsung memeluk lengannya dari kanan dan kiri. “Ihh, gila! Lo diajakin nonton sama dia??” seru Kinsha, nyaris memekik.

Agni mengangguk cepat. Senyumnya merekah nyaris tidak bisa ditahan.

Mereka bertiga bersorak kecil, tertawa dan menggoyangkan tangan Agni dengan heboh, seolah mereka semua akan ikut kencan.

Sementara itu, Remi hanya menghela napas dan kembali fokus pada ponselnya, pura-pura tidak tertarik. Tapi diam-diam, ia melirik ke arah Devan—sekilas. Dan entah kenapa, ekspresinya sedikit menggelap.

 

***

Sabtu pagi.

Agni berdiri di depan lemari, memandangi deretan pakaian sambil menggigit bibir pelan. Hari ini ia akan pergi jalan dengan Devan—dan sejak semalam, jantungnya tak berhenti berdebar.

Di layar ponselnya, sederet pesan suara dari Kinsha masih terputar.

“Lo tuh skin tone-nya warm, jadi pakai lip tint yang peach atau nude brown aja, jangan yang terlalu merah.”
“Blush-nya jangan terlalu barbar, biar tetap kelihatan natural, ya.”
“Pinggang lo kecil, Ni. Jadi pakai baggy jeans aja, tapi kombinasiin sama atasan yang girly. Trust me!”

Agni mengangguk kecil, seolah Kinsha bisa melihatnya dari layar. Ia menata ulang outfit yang terserak di atas ranjang, mencoba memadupadankan sesuai saran sahabatnya. Setelah menemukan kombinasi yang pas, ia berdiri di depan cermin, menyisir rambut sebahunya dengan jari agar jatuh natural.

Ia mengaplikasikan riasan tipis di atas kulit kuning langsatnya—cukup untuk memberi kesan segar. Lalu, semprotan parfum floral lembut menyempurnakan penampilannya. Wangi itu selalu membuatnya merasa lebih percaya diri.

Setelah puas, Agni tersenyum lebar pada bayangan dirinya di cermin. Ia meraih tas selempang kecil dari gantungan, mengayunkannya ke bahu, dan melangkah keluar kamar dengan hati berdebar antusias.

Namun langkahnya terhenti mendadak.

Bumi.

Dia di rumah enggak, ya?

Sebagai penyidik senior di Polda Metro Jaya, Bumi sering tak pulang karena kasus. Tapi kalau dia ada, dan tahu Agni mau pergi kencan… bisa-bisa semuanya bubar jalan.

Agni melirik ke kamar Bumi yang pintunya sedikit terbuka. Ia melongok pelan dari celah.

Kosong.

Ia menghela napas lega. Aman.

Tapi saat hendak mencapai pintu depan, tiba-tiba perutnya bergejolak. Deg-degan yang berlebihan ternyata berdampak telak ke saluran pencernaannya.

"Aduh, kenapa harus sekarang sih," gerutunya.

Ia menjatuhkan tas ke sofa dan berlari ke kamar mandi.

 

***

Sementara itu, di luar...

Devan duduk di balik kemudi, menatap cermin tengah mobil sambil merapikan rambut. Hari ini ia sengaja membawa mobil agar terkesan lebih gentleman.

Dari saku celananya, ia mengeluarkan sebuah kartu akses hotel. Ia menatap benda itu beberapa detik, lalu memasukkannya kembali. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya—senyum yang... tak menjanjikan kebaikan.

Ia mengecek ponsel. Belum ada balasan dari Agni.

Masuk aja, nggak ya?

Akhirnya, agar tidak membuang waktu, Devan keluar dari mobil dan berjalan ke depan pagar rumah Agni. Ia memastikan nomor rumahnya cocok, lalu menekan bel dan melipat tangannya dengan percaya diri.

Pagar terbuka perlahan.

Devan menoleh… lalu seketika tubuhnya membeku.

Seorang pria berdiri di sana—tinggi, tegap, dengan rambut ikal tebal dan brewok kasar. Kaos tanpa lengan yang dikenakannya memperlihatkan otot lengannya yang kokoh, berkilat di bawah matahari.

Tapi yang paling mengintimidasi adalah mata itu. Hitam. Dingin. Tajam. Tatapan yang bisa menusuk sampai ke tulang belakang.

Tatapan itu kini menyorot lurus ke arah Devan—seperti pisau yang terhunus langsung ke lehernya.

Secara refleks, Devan menurunkan tangannya dan membenarkan posisi tubuhnya. Ia bahkan sedikit menunduk, mencoba terlihat sopan.

“Pe-permisi, Mas... Saya temannya Agni,” katanya gugup.

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya melipat tangan di dada, lalu memindai Devan dari kepala sampai kaki—seolah menilai apakah ia layak dibiarkan tetap hidup.

“Sa-saya ada janji pergi sama Agni, Mas. Na-nama saya Devan...” Devan mengulurkan tangan.

Alis pria itu naik sedikit. Ia melirik tangan yang terulur, lalu tersenyum. Bukan senyum ramah—tapi senyum dingin yang membuat bulu kuduk berdiri.

“Lo enggak perlu kasih tahu gue nama lo siapa,” ucapnya pelan.

Pria itu mencondongkan tubuh, membuat jarak di antara mereka hanya sejengkal.

“Kalau gue mau, gue bisa tahu nama lengkap lo, alamat rumah lo, nama orang tua lo... bahkan catatan kriminal lo. Semuanya.”

Devan menelan ludah. Tangannya berkeringat dingin.

Tanpa peringatan, tangan kekar itu mencengkeram kerah bajunya.

“Denger baik-baik,” katanya lirih tapi tajam. “Kalau lo macem-macem sama adik gue... atau lo coba-coba belokin mobil lo ke tempat yang enggak seharusnya dia datengin...”

Tatapan itu menyipit. Nada suaranya turun setengah oktaf—datar, namun mengandung ancaman yang menusuk.

“...gue punya revolver, sekop, dan tanah kosong di samping rumah. Gue bisa pastiin orang tua lo enggak bakal bisa nemuin lo lagi. Paham?”

Devan mengangguk cepat. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Napasnya memburu.

Hening menggantung di udara, sebelum kemudian suara Agni terdengar dari dalam rumah, semakin mendekat.

“Kak Devan! Sorry ya tadi enggak sempat bales, aku di kamar mandi soalnya…”

Pria itu melepas cengkeramannya dan menatap tajam Devan sekali lagi sebelum berbalik dan masuk ke rumah.

Devan masih terpaku, jantungnya seperti hendak copot.

Tak lama, Agni muncul dari balik pagar dengan wajah cerah dan manis. Tapi Devan terlalu syok untuk bisa memproses keindahan itu.

“Sorry… yuk berangkat,” kata Agni ceria.

Devan akhirnya berhasil bersuara. “Emm… So-sorry, Ni. Kayaknya gue harus buru-buru pulang, deh.”

Agni mengernyit. “Hah? Kenapa, Kak?”

“Gue... gue harus nganter nyokap... ke pasar.”

“Pasar?” Kening Agni semakin berkerut.

Devan mengangguk panik. “Iya. Sorry ya. Maaf, gue buru-buru!”

Ia langsung membalikkan badan dan setengah berlari ke mobil, lalu tancap gas tanpa menoleh.

Agni hanya bisa berdiri terpaku di depan pagar rumahnya.

Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras.

Matanya berkilat penuh amarah.

Pasti kerjaan si Kingkong itu...

“Bumi anjing!” desisnya tajam.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Mystique war
424      284     6     
Short Story
The world is in total destruction, what will the powerful sorcerers do?
Supardi dan Supangat
1779      812     1     
Humor
Ini adalah kisah Supardi dan Supangat si Double S yang Bermukim di Kampung Mawar. Keduanya bagaikan GALIH DAN RATNA yang selalu bersama mengukir kenangan (ceuilehh.. apasih) Terlahir dari rahim yang berbeda tetapi takdir mempertemukan mereka dengan segala ke-iba-an yang melanda
ONE SIDED LOVE
1511      666     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Alex : He's Mine
2437      920     6     
Romance
Kisah pemuda tampan, cerdas, goodboy, disiplin bertemu dengan adik kelas, tepatnya siswi baru yang pecicilan, manja, pemaksa, cerdas, dan cantik.
Bintang Biru
3006      1063     1     
Romance
Bolehkah aku bertanya? Begini, akan ku ceritakan sedikit kisahku pada kalian. Namaku, Akira Bintang Aulia, ada satu orang spesial yang memanggilku dengan panggilan berbeda dengan orang kebanyakan. Dia Biru, ia memanggilku dengan panggilan Bintang disaat semua orang memanggilku dengan sebutan Akira. Biru teman masa kecilku. Saat itu kami bahagia dan selalu bersama sampai ia pergi ke Negara Gingsen...
Negasi
148      110     2     
Fantasy
"Manusia nggak bisa lihat jin?" Zoya terkekeh. "Periksa mata, sih. Buta kali." Dahi Rayna tampak berkerut. Dunia macam apa ini? Manusia di depannya ini waras atau tidak, sih? Sejak kesadarannya kembali, Rayna merasa seperti terbangun di dunia yang asing. Dunia aneh di mana jin terlihat berseliweran bebas tanpa bisa melihat manusia, justru dianggap normal. Terdampar di dunia asing tanpa ...
Dream
618      453     5     
Short Story
1 mimpi dialami oleh 2 orang yang berbeda? Kalau mereka dipertemukan bagaimana ya?
Little Spoiler
1066      648     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
27th Woman's Syndrome
10657      2045     18     
Romance
Aku sempat ragu untuk menuliskannya, Aku tidak sadar menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Orang ketiga? Aku bahkan tidak tahu aku orang ke berapa di hidupnya. Aku 27 tahun, tapi aku terjebak dalam jiwaku yang 17 tahun. Aku 27 tahun, dan aku tidak sadar waktuku telah lama berlalu Aku 27 tahun, dan aku single... Single? Aku 27 tahun dan aku baru tahu kalau single itu menakutkan
Rain
575      417     4     
Short Story
Hujan mengubah segalanya dan Hujan menjadi saksi cinta mereka yang akhirnya mereka sadari.