Agni sengaja pagi itu bangun sebelum subuh. Dia sudah menyimpan ayam fillet yang akan ia masak menjadi Chicken Katsu dan membawanya untuk bekal sekolah. Dia mau mencoba resep Chicken Katsu dari Chef Meghan. Chef idolanya. Lalu meminta teman-temannya nanti mencicipinya.
Saat masuk ke dapur, aroma sop ayam hangat tercium dari panci di kompor, sepertinya ibunya baru saja selesai masak. Agni membuka chiller kulkas, lalu ia mengernyit. Mana ayam gue? Pikirnya. Dia ingat semalam sudah menurunkan ayam filletnya dari freezer ke chiller karena ingin memasaknya pagi ini.
Lalu matanya akhirnya melirik ke panci di kompor. Jantungnya berdegup keras, ia bergerak cepat ke kompor dan membuka tutup panci. Ia menyendoknya dan melihat dari potongannya, itu adalah ayam fillet miliknya. Bungkus ayam fillet organik kosong di tempat sampah semakin menguatkan dugaannya.
Ayam fillet organik itu ia beli sendiri dengan uang hasil jualannya. Dia selalu berusaha menggunakan bahan baku terbaik ketika mencoba resep-resep Chef Meghan. Jemari Agni tanpa sadar terkepal. Dadanya terasa panas. Lalu suara langkah ringan mendekat ke dapur.
“Eh, udah bangun Ni?” tanya Mamanya Agni, Indira dengan santai dan mulai mencuci peralatan bekas masak tadi.
Agni menarik napas keras. “Mama masak ayam fillet Agni yang di chiller?”
Indira menoleh sekilas. “Oh, iya. Itu punya kamu?”
“Emang punya siapa lagi?” tukas Agni.
Indira menghela napas pelan. “Gara kayanya lagi enggak enak badan. Dia baru pulang abis jaga malam di rumah sakit. Makanya, Mama masakin dia buru-buru pakai apa aja yang ada di kulkas.”
Sagara lagi, pikir Agni dengan penuh kebencian.
“Kan bisa bilang sama Agni dulu,” kata Agni dengan nada agak tinggi.
“Iya maaf… nanti Mama ganti ya,” kata Indira berusaha memahami kemarahan anak perempuan satu-satunya itu.
Dengan amarah yang masih menggelegak di dada, Agni berbalik dan bermaksud kembali ke kamarnya, tapi Indira memanggil lagi. “Agni!”
Agni menoleh dengan enggan. “Apa?”
“Itu tolong anterin sekalian sop ayamnya ke kamar Sagara. Dia enggak bakal makan kalau enggak disodorin,” kata Indira sambil menggeleng pelan ke semangkok sop ayam di meja makan, kemudian kembali mencuci panci di wastafel.
Agni memandangi mangkok yang masih mengeluarkan uap panas itu. Dan dengan napas memburu karena menahan emosi, ia menyambarnya hingga sebagian kuahnya menetes ke meja. Namun ia tidak peduli.
Agni berjalan cepat ke kamar Sagara dan mengetuk pintunya keras.
Beberapa detik kemudian Sagara membuka pintu. Wajahnya terlihat pucat, lingkaran hitam terlihat di bawah matanya.
“Kenapa?” tanyanya.
Tanpa berkata apa-apa, Agni masuk dan menaruh mangkok itu dengan keras di atas meja belajar kakaknya.
“Ini apa?” tanya Sagara.
Agni menoleh dengan wajah kesal. “Punya mata kan? Liat sendiri,” katanya ketus. Lalu ia keluar dari kamar itu dan membanting pintu di belakangnya dengan keras, meninggalkan Sagara dengan kening berkerut karena tidak tahu apa yang membuat adiknya sekesal itu padanya.
***
Agni memakai sepatunya dalam diam. Dadanya masih dipenuhi kekesalan akibat kejadian ayam fillet subuh tadi. Masalahnya, ini bukan pertama kalinya ibunya mengorbankan miliknya untuk anak emasnya itu. Dulu bahkan ibunya pernah memasak daging wagyunya untuk memasak bekal Sagara. Bayangkan, daging wagyu. Agni harus menjual puluhan loyang brownies dulu untuk bisa membelinya. Dan Sagara dengan seenaknya memakan hasil kerja kerasnya.
Nampaknya Indira sadar dengan kemarahan Agni. Ia membungkuskan sop ayam tadi untuk bekal makan siang Agni, tapi Agni sudah tidak berselera untuk menyentuhnya.
“Ini bawa, buat nanti makan siang di sekolah,” kata Indira menyodorkan termos berisi sop ayam hangat dan kotak makan berisi nasi dan lauk pauk lain.
“Enggak usah. Agni lagi enggak napsu makan sop,” katanya sambil bangkit berdiri. Namun ketika ia menoleh sekilas, wajah ibunya terlihat kecewa. Dan entah mengapa itu membuat dadanya sedikit sesak. Agni akhirnya menghela napas keras, lalu ia menyambar termos dan kotak makan itu.
“Agni pergi dulu,” katanya singkat. Lalu akhirnya berjalan keluar rumah.
Indira tersenyum kecil. “Iya… hati-hati..”
Di depan pagar rumah, ayah Agni, Arjuna sudah bersiap di atas motornya untuk mengantar Agni.
Dan untuk pertama kalinya pagi itu, Agni tersenyum.
“Papaahh….” suara Agni yang tadi terdengar ketus kini menjadi manja.
Arjuna menoleh. “Udah belum? Ayo Papah anter, nanti telat,” kata Arjuna dengan senyum lebar di wajahnya.
Agni naik ke jok belakang motor itu. Ia memeluk pinggang ayahnya erat dari belakang. Kebiasaan yang belum hilang sejak kecil setiap kali ayahnya mengajak naik motor bersama.
Arjuna menjalankan motornya, melewati rumah-rumah yang berdempetan di gang kampung itu. Meskipun jarak rumah ke sekolah dekat, tapi diantar naik motor rasanya tetap menyenangkan.
Di tengah perjalanan itu tanpa sadar Agni sambil melamun berkata, “Pah, Agni anak pungut ya?”
Motor sedikit oleng.
“Hah? Apa-apaan sih kamu?” Arjuna melirik sekilas ke spion, tak yakin dengan pertanyaan itu.
“Abis… kayanya Mama enggak sayang sama Agni. Biasanya anak bungsu kan paling disayang. Tapi Mama malah lebih sayang sama Gara,” kata Agni kesal.
Arjuna tertawa kecil.
Agni mendelik ke arahnya. “Kok ketawa? Agni serius!”
“Iya… iya…” kata Arjuna lembut, berusaha meredam api amarah Agni.
“Jadi bener? Agni anak pungut?” tanya Agni lagi.
“Ya enggaklah, Agni… Papah liat sendiri waktu kamu lahir.”
Agni mengerutkan kening. “Terus, kenapa Mama kaya gitu?”
“Mama bukannya lebih sayang sama Sagara. Dia juga sayang sama kamu. Cuma ya… Sagara kan lebih ringkih—gampang sakit, enggak kayak kamu, tahan banting,” kata Arjuna.
“Tapi kan itu enggak bisa jadi alasan Agni harus selalu ngalah. Gara kan 12 tahun lebih tua dari Agni, Pah!” protes Agni.
“Iya juga ya… Papah baru sadar…” gumam Arjuna.
“Papah!” seru Agni kesal melihat ayahnya kehilangan fokus.
“Iyaa… Nanti Papah ingetin Mamah deh.”
Mata Agni membulat. “Bener? Janji ya!”
“Iya..”
“Beneran kan? Papah kan soalnya suka luluh sama Mama.”
Arjuna terdiam. Ia jadi berpikir ulang apakah akan jadi masalah kalau nanti dia bicara dengan istrinya tentang ini. Nyonya Indira sangat seram kalau marah.
Mereka akhirnya sampai di depan sekolah Agni.
Agni turun dari motor dan menatap Arjuna lurus-lurus. “Janji ya Pah, Papah harus ngomong sama Mama,” kata Agni.
Arjuna menelan ludah, lalu mengangguk pelan.
“Iya, udah sana masuk. Nanti terlambat.”
Agni melihat sekilas ke ayahnya, lalu berbalik pergi. Namun baru beberapa langkah dia berbalik lagi dan memeluk ayahnya erat.
Arjuna tersenyum kecil sambil membelai kepala anak perempuan kesayangannya itu.
Agni melepas pelukannya lalu tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya.
“Daahh… Papahh!”
Arjuna mengangguk. Senyum itu tidak akan pernah ia lupa seumur hidupnya.
***
Agni melangkah menuju kelas dengan langkah sedikit lebih ringan dari biasanya. Janji Papanya untuk menegur Mama soal ketidakadilan di rumah masih terngiang di telinganya. Setidaknya, masih ada satu orang di rumah itu yang berdiri di pihaknya.
Papah emang the best, pikirnya sambil tersenyum tipis.
Begitu ia membuka pintu kelas, wajah Kinsha, Aliya, dan Remi langsung menyambutnya dengan antusias, seolah-olah mereka sudah menunggunya sejak lama.
“Ada apaan nih? Ada artis ke-spill selingkuh lagi ya?” tanya Agni sambil terkekeh, lalu meletakkan tasnya di atas meja.
“Ada yang lebih seru dari itu. Chef Meghan, Ni…,” sahut Remi cepat-cepat, sambil mengeluarkan ponselnya dari saku.
Agni langsung menekap mulutnya. “Chef Meghan selingkuh?!”
Kinsha dan Aliya tertawa geli, sementara Remi memutar bola matanya.
“Bukan dong. Nih, Chef Meghan ngadain challenge,” kata Remi, lalu menyodorkan ponselnya ke Agni.
Agni menyipitkan mata, membaca seksama unggahan Instagram Chef Meghan:
Hi Mates! 👩🍳💛
Aku punya tantangan kecil yang manis banget nih buat kalian.
Bikin macaron versi kamu sendiri! Bisa yang klasik, bisa yang nyeleneh—yang penting, kamu banget.
Kenapa? Karena aku penasaran sejauh mana kreativitas kalian bisa mewarnai camilan mungil yang punya banyak kenangan indah untukku ini. 🥰
Dan yang paling seru, aku akan pilih satu karya terbaik untuk:
🌟 1-on-1 session bareng aku
🌟 Dinner spesial yang akan aku masak langsung untuk kamu
Yuk, kita main bareng di dapur. Surprise me!
Aku tunggu kreasi macaron kamu ya 💕
#MeghanMacaronChallenge #DariDapurChefMeghan #MacaronKreasiKamu
Mata Agni membulat. “Kapan lagi bisa ketemu sama Chef Meghan, Ni!” ujar Kinsha penuh semangat.
“Deadlinenya dua minggu. Kira-kira cukup enggak ya waktunya? Belum riset desainnya, trial error-nya juga…” gumam Aliya, terdengar sedikit panik.
“Bisalah! Jangan parno duluan gitu dong,” sahut Kinsha cepat.
Aliya mendecak kecil. “Bukannya parno, kan ini emang butuh perencanaan…”
“Nii… lo diem aja? Enggak sawan, kan?” tanya Remi, memperhatikan wajah Agni yang masih terpaku.
Tiba-tiba, Agni tersenyum lebar.
“Gue bakal KETEMU CHEF MEGHAN!!” serunya lantang, penuh semangat.
Beberapa teman yang mendengar spontan menoleh ke arah Agni, lalu hanya menggeleng pelan. Sudah biasa—Agni memang selalu heboh kalau antusias.
“Kok dia bisa se-PD itu bakal menang?” bisik Aliya pelan ke Kinsha.
Kinsha hanya mengangkat bahu dan terkikik. “Biarin aja.”