Dengan napas memburu, Agni masuk kembali ke dalam rumah. Matanya menyapu liar ke segala arah, mencari sosok itu. Bumi.
“Loh, katanya kamu mau pergi hari ini?” tanya Indira dari ruang makan, sambil menyajikan nasi goreng hangat di atas meja.
Agni tak menjawab. Matanya menangkap asap tipis yang melayang dari arah teras samping. Ia berjalan ke sana, dengan tangan mengepal erat.
Dan benar saja.
Di dipan kayu di bawah pohon rindang, Bumi duduk bersila santai, rokok terselip di jemari, ponsel di tangan, wajah datar seperti biasa. Tidak ada sedikit pun rasa bersalah tergurat di wajahnya—padahal dia baru saja menghancurkan kencan yang sudah lama Agni tunggu-tunggu.
Agni mengatupkan rahangnya. Kata-kata kasar sudah berderet di ujung lidah, siap dimuntahkan. Tapi saat Bumi melirik ke arahnya, dengan tatapan tajam dan dingin yang seperti bisa menembus tulang, langkah Agni terhenti. Suaranya tercekat.
Bumi mengangkat alis. “Kenapa?” tanyanya datar, sebelum menghembuskan asap ke samping, seolah tak ada yang penting terjadi.
Agni menelan ludah. Kepalan tangannya mulai mengendur. Ia berdeham pelan, mencoba menjaga nada bicara senormal mungkin.
“Ta-tadi... lo ngomong apa sama Devan?”
Bumi mengangkat bahu. “Enggak ngomong apa-apa. Cuma bilang hati-hati di jalan.”
Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
Agni menarik napas keras. “Dia pulang.”
Bumi tertawa kecil, lalu menghisap rokoknya lagi. Seolah tak ada yang perlu dibahas.
“Lo ngomong sesuatu, kan?” desaknya. Suaranya mulai bergetar—antara takut, marah, dan ingin meledak.
“Mungkin,” jawab Bumi ringan, masih menatap layar ponselnya.
Agni sontak mengangkat tangan, ingin memukul. Tapi saat Bumi meliriknya lagi, hanya sekilas, tangan itu langsung turun.
Dengan frustrasi, Agni berbalik dan melangkah cepat ke kamarnya. Ia membanting pintu keras-keras, lalu melempar tas ke atas ranjang.
Dengan napas tersengal, ia menyambar bantal dan mulai memukulinya bertubi-tubi.
“Bumi anjiiinggg!!”
Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Bukan karena sedih—tapi karena marah yang tak bisa dilampiaskan.
Pukulan itu tak berhenti. Di dalam kepalanya, ia membayangkan wajah kakaknya yang menyebalkan itu—dan berharap bisa benar-benar menghajarnya.
***
Sejak kejadian gagal kencan itu, Devan—cowok idola sekolah—mulai menjauhi Agni. Setiap kali mereka berpapasan di koridor, Devan bahkan tak lagi menyapa. Yang lebih menyakitkan, cowok itu bertingkah seolah Agni tak pernah ada.
Pagi itu di kelas, Agni hanya bisa menopang dagu di atas meja dengan wajah muram dan tatapan kosong.
Kinsha dan Aliya saling melirik, jelas terlihat khawatir. Sementara Remi sibuk dengan ponselnya, tampak tak terganggu dengan suasana murung yang menyelimuti sahabatnya itu.
“Udah, Ni... Enggak usah dipikirin terus. Cowok kan banyak. Lo juga enggak jelek, pasti nanti ada lagi yang naksir,” kata Aliya, mencoba menyemangati.
Kinsha mengangguk setuju. “Lagian kalau dia langsung ciut gara-gara ketemu kakak lo, berarti dia enggak beneran suka.”
Agni menghela napas panjang.
“Tapi... kapan lagi gue ditaksir cowok sekeren itu...” gumamnya lirih.
Remi mendengus pendek. Cukup untuk memancing reaksi Agni.
Agni mendelik ke arah Remi. Tapi Remi tampak santai, tak peduli sedikit pun.
“Udah, daripada lo manyun terus...” ucap Remi sambil menyodorkan ponselnya.
“Mending liat ini.”
Agni, Kinsha, dan Aliya langsung mencondongkan tubuh, penasaran dengan apa yang ada di layar.
๐ Grand Opening Alert!
Surga para baker akhirnya buka juga di kota ini!
๐ Bake&Glow kini hadir buat kamu yang suka baking, suka nyoba resep baru, atau sekadar suka lihat rak bahan kue yang estetik ๐ค
๐ฅ Diskon hingga 50% untuk semua item selama 1 bulan penuh!
Ayo buruan datang dan temukan bahan-bahan baking terbaikmu!
๐[5 menit jalan kaki dari Stasiun Kota]
#BakeAndGlow #TokoBahanKue #GrandOpeningBakeAndGlow #DiskonBaking #BakingSuppliesHeaven
Mata Agni langsung membulat. Wajah yang tadinya suram kini bersinar penuh semangat.
“Ihhh, mauuuu!” serunya antusias, langsung merebut ponsel Remi untuk melihat foto-foto toko baru yang diposting di akun media sosial mereka.
“Naik KRL ya? Seru kayanya,” komentar Kinsha, ikut mengintip layar.
“Hari ini kita pulang lebih cepet, kan? Pak Reza enggak masuk di jam terakhir,” kata Aliya.
“Ya udah, gas! Hari ini aja. Gue juga pengin bikin konten di sana,” kata Remi sambil menyeringai.
“Kalau gitu gue pulang dulu bentar ya,” ujar Agni sambil mengembalikan ponsel Remi.
“Mau ngapain?” tanya Aliya.
“Ngambil duit tabungan dulu di rumah,” jawab Agni. Dalam hati, ia berdoa semoga Bumi sedang sibuk mengurus kasus dan tidak ada di rumah hari ini—dan kalau perlu, nggak usah pulang selamanya sekalian.
***
Tepat saat bel jam pelajaran terakhir berbunyi, Agni langsung membereskan buku-bukunya. Tanpa menunggu lama, ia bergegas pulang. Kinsha, Aliya, dan Remi akan tetap menunggu di sekolah—setelah itu mereka akan pergi bersama ke stasiun KRL, lalu meluncur ke Bake&Glow.
Sesampainya di rumah, suasana tampak sepi.
Ayahnya, Arjuna—seorang pensiunan guru—biasanya jam segini sedang nongkrong dengan bapak-bapak kompleks yang juga sudah pensiun. Kadang-kadang, ia membantu tetangga memperbaiki genteng bocor atau kran rusak, lalu mendapat uang tambahan. Sementara ibunya, Indira, seorang bidan, masih sibuk bekerja di klinik kecil miliknya yang letaknya hanya beberapa rumah dari tempat mereka tinggal.
Agni langsung masuk ke kamarnya. Ia membuka lemari, menarik sebuah kotak kecil dari tumpukan pakaian, dan mulai menghitung isi di dalamnya. Lembaran uang hasil jualannya terlihat rapi tersusun.
Cukup kayaknya, pikirnya.
Tapi pikirannya langsung melayang ke ayam fillet organik yang ia beli beberapa hari lalu—ayam mahal yang seharusnya jadi bahan resep spesialnya, tapi malah habis dimasak ibunya untuk Sagara si anak emas.
Agni mendengus pelan. Kesal kembali memenuhi dadanya.
Ia menutup kotak uang itu dan meletakkannya kembali ke tempat semula. Lalu berjalan keluar dari kamar.
Tepat saat ia melewati ruang tamu, suara pintu kulkas terdengar. Bumi sedang berdiri di dapur, meneguk minuman dingin langsung dari botol.
Sial... kenapa dia sekarang malah sering ada di rumah, sih? Dia enggak punya kerjaan apa? Perasaan kasus kriminal sekarang lagi banyak, batin Agni jengkel.
Jantung Agni berdegup kencang. Ia mempercepat langkah ke pintu, berharap bisa kabur sebelum Bumi menyadarinya.
Tapi—
“Mau ke mana lo?”
Langkah Agni terhenti. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab, “Main sama temen...”
Bumi mengangkat alis, menatap Agni tanpa ekspresi. Tatapannya menusuk seperti biasa—datar, tapi mengandung tekanan yang membuat perut Agni mual sendiri.
Lalu, tanpa berkata apa-apa, Bumi kembali meneguk minumannya.
Namun sebelum Agni sempat melangkah lagi, suara itu kembali terdengar. Dingin dan mengancam.
“Kalau sampai jam tujuh malam lo belum ada di rumah...”
Tatapan Bumi menyipit tajam.
“...lo gue cari.”
Agni menelan ludah.
Tanpa banyak kata, ia buru-buru menyambar sepatunya dan nyaris berlari keluar rumah, melewati pagar secepat mungkin.
***
Dengan semangat menggebu, empat sahabat itu naik KRL seperti sekelompok petualang yang hendak menjelajahi dunia baru. Obrolan seru mewarnai perjalanan mereka, diselingi tawa terpingkal saat mendengar bualan Agni yang semakin menjadi-jadi. Sesekali mereka menepuk lengan satu sama lain sambil tertawa keras, menarik perhatian beberapa penumpang lain yang hanya bisa tersenyum—atau bahkan jengkel melihat kehebohan mereka.
Begitu tiba di stasiun tujuan, Remi langsung memimpin rombongan kecil itu, matanya fokus pada peta digital dari akun sosial media Bake&Glow.
“Tinggal jalan kaki 200 meter lagi dari sini,” katanya setelah mengecek ulang peta di ponselnya.
Kinsha, Aliya, dan Agni mulai meringis kelelahan.
“Naik taksi online aja, yuk?” usul Kinsha.
“Sayang duitnya,” sahut Agni cepat. Ia harus hemat agar uangnya cukup untuk belanja nanti.
Akhirnya, dengan napas sedikit berat, mereka memutuskan berjalan kaki. Matahari masih tinggi, membuat peluh mengalir di pelipis dan leher mereka. Tawa mulai berganti dengan helaan napas, dan langkah mereka melambat.
Hingga tiba-tiba Remi berseru, “Itu dia!”
Mereka semua menoleh serempak. Tepat di seberang jalan, berdiri sebuah bangunan berwarna pink pastel dengan papan besar bertuliskan Bake&Glow dalam huruf putih yang anggun. Di bawah sinar matahari, bangunan itu tampak bersinar seperti oase di tengah terik siang.
Mata Agni membulat. Tanpa pikir panjang, ia langsung menyeberang, mempercepat langkah seperti anak kecil yang tak sabar membuka hadiah ulang tahun. Remi buru-buru mengejarnya dan merentangkan tangan ke samping, memastikan tidak ada mobil yang datang dari arah berlawanan.
Sesampainya di depan toko, mereka disambut oleh dekorasi cupcake dummy warna-warni yang berdiri di tengah jalur masuk dan keluar. Agni melangkah masuk terlebih dahulu, dan begitu kakinya menyentuh lantai toko, ia terdiam.
Mungkin begini rasanya jadi Charlie Bucket yang dapat tur gratis ke Chocolate Factory, pikirnya.
Sesuai slogannya, tempat itu benar-benar seperti surga bagi para bakers.
Toko itu sangat luas dan tertata rapi. Lantai satu menjual aneka bahan kue—tepung berbagai jenis, mentega premium, keju, hingga cokelat impor yang tersimpan di dalam chiller. Toples-toples kaca berisi selai buah tersusun membentuk segitiga cantik di atas meja kayu. Rak-rak tinggi berjajar rapi, membuat mata mereka sibuk menelusuri satu per satu isinya.
Selain bahan, toko itu juga menyediakan peralatan lengkap untuk baking: loyang aluminium berkualitas tinggi, spatula silikon warna-warni, mixer, oven, hingga cetakan kue dalam berbagai bentuk lucu.
Sementara itu, lantai dua difungsikan sebagai kafe mungil dengan meja dan kursi putih. Tempat sempurna untuk duduk santai setelah puas berbelanja di bawah.
“Wuaahh… keren banget tempatnya,” ujar Kinsha terpana.
Remi tersenyum bangga. Ia puas karena rekomendasinya tidak mengecewakan.
Aliya mengangguk pelan, lalu melangkah mendekati rak selai yang tersusun seperti instalasi seni.
Remi baru hendak menyusul mereka ketika tiba-tiba lengannya diremas seseorang. Ia menoleh. Agni berdiri di sampingnya, menatapnya lekat-lekat.
“Kenapa?” tanya Remi, bingung.
Agni menghela napas dramatis, lalu berkata, “I love you, Rem.”
Remi membeku.
Namun sebelum pikirannya sempat mencerna, Agni menepuk-nepuk bahunya sambil nyengir. “Akhirnya lo ada gunanya juga.”
Lalu ia pergi meninggalkan Remi dan bergabung dengan Kinsha dan Aliya di tengah toko.
Sementara Remi?
Ia masih berdiri di tempat. Mulutnya sedikit terbuka, tapi tak ada satu pun kata yang keluar. Dan entah kenapa… ucapan iseng Agni barusan membuat jantungnya berdegup lebih keras daripada sebelumnya—liar dan tak terkendali.