Tepat setelah bel pulang sekolah berbunyi, Agni langsung mengajak Aliya dan Kinsha bergegas. Remi akhirnya tidak bisa ikut. Ia ditelepon ibunya agar segera pulang karena harus mengantar ibunya pergi.
Mereka berjalan menyusuri gang kecil di dekat sekolah. Mereka melewati rumah-rumah yang saling berdempetan, sampai akhirnya sampai di ujung gang, di mana sebuah rumah yang dipenuhi tanaman hias di terasnya berdiri. Agni mendorong pintu pagar. Ia melirik area parkir motor di depan teras. Kosong.
Enggak ada. Bagus, berarti dia belum pulang.
“Wahh… rumah lo enak ya Ni. Adem, banyak tanamannya,” kata Aliya sambil mengamati tanaman-tanaman hias yang tertata rapi di lantai, rak, dan bergelantungan dari langit-langit teras.
“Iya… Bokap gue itu yang ngerawat,” kata Agni seraya membuka sepatunya.
“Rajin juga bokap lo,” komentar Kinsha.
Agni terkekeh. “Bukan karena rajin. Tapi karena disuruh emak gue. Kalau emak gue tau tanaman enggak disiram, bisa berubah jadi Badarawuhi dia.”
Ledakan tawa pun pecah. Kinsha dan Aliya terpingkal sambil menahan perut.
Begitu masuk ke dalam rumah, aroma wangi kayu dan masakan rumahan menyambut mereka. Di ruang tengah, sebuah sofa besar berwarna abu-abu menghadap ke televisi. Di sisi ruangan, pintu kaca menuju teras samping memperlihatkan sebuah pohon rindang yang menaungi dipan kayu di bawahnya—tempat yang tampak sempurna untuk bermalas-malasan.
Di belakang sofa, meja makan kayu panjang dengan enam kursi tampak menyatu harmonis dengan kitchen set bergaya rustic. Meja beton berpadu dengan rak-rak kayu terbuka, dihiasi toples-toples bumbu yang tertata rapi. Tanaman rambat hidup menjuntai dari atas rak, memberi sentuhan alami dan estetis.
“Kitchen set lu estetik banget, Ni… kayak yang biasa ada di Pinterest,” komentar Aliya penuh kagum.
“Bokap gue juga yang bikin,” jawab Agni, terdengar bangga.
Mata Kinsha membulat. “Itu sih beneran rajin.”
Agni tertawa, nada suaranya ringan. “Karena kita enggak punya duit kalau harus beli. Jadi ya… serba bikin sendiri… Yuk ke kamar gue.”
Mereka berjalan ke koridor melewati ruang tengah, lalu masuk ke kamar Agni yang ada di sebelah kanan. Kamar Agni bernuansa oranye, warna kesukaan Agni. Di dindingnya berbagai poster idola K-pop terpasang, dan foto-foto Agni bersama sahabat-sahabatnya sejak kecil sampai sekarang. Agni menyalakan kipas angin, dan Kinsha langsung menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
“Wahh… kamar lo enak,” katanya sambil berguling-guling di tempat tidur. Aliya ikut duduk dan mengamati sekeliling kamar Agni.
Agni membuatkan mereka seteko es teh segar dan membawakan camilan brownies panggang—sisa brownies yang ia buat semalam untuk dijual pagi tadi di sekolah. Dan mereka menghabiskan waktu di kamar itu dengan obrolan ringan seputar sekolah, cowok, dan gosip artis. Sesekali Aliya dan Kinsha tertawa terpingkal ketika mendengar lelucon Agni.
Sampai tiba-tiba mereka mendengar deru motor yang masuk ke rumah.
“Siapa tuh Ni?” tanya Kinsha penasaran.
Agni menghela napas panjang. Namun belum sempat ia menjawab, mereka mendengar suara langkah berat masuk ke rumah. Langkah itu terus berjalan hingga melewati kamar Agni. Kemudian terdengar suara pintu kamar di sebelah ditutup keras.
Agni mencibir. “Si monyet.”
Kinsha dan Aliya mengerutkan kening. “Dari tadi lo ngomongin monyet mulu. Monyet apaan sih maksudnya?” tanya Kinsha bingung.
Aliya mengangguk. Ia terlihat sama-sama penasaran.
Agni melihat mereka satu per satu, lalu akhirnya menarik napas pelan. “Kakak-kakak gue.”
Alis Aliya terangkat. “Ohh lo punya kakak?”
“Gue punya tiga,” kata Agni lesu, seolah itu adalah hal paling sial di dunia.
“Kenapa lo manggil mereka monyet?” tanya Kinsha dengan nada geli.
Agni mendelik ke arahnya. “Karena mereka emang kayak monyet.”
Kinsha dan Aliya saling bertukar pandang.
“Cerita dong,” kata Aliya semakin penasaran. Ia mengambil bantal dan memeluknya. Seolah bersiap untuk mendengarkan dongeng yang akan dituturkan Agni.
Kinsha mengangguk-angguk dan ikut memposisikan dirinya senyaman mungkin.
Agni menarik napas panjang. Wajahnya terlihat serius, seolah ia akan menceritakan sebuah sejarah masa lalu yang kelam dan gelap.
“Gue punya tiga kakak cowok, dan mereka… membuat hidup gue menderita dengan cara yang berbeda.”
Kinsha mendengus, berusaha menahan tawa. Agni melempar tatapan tajam ke arahnya. Ia berdeham, berusaha memasang wajah serius meskipun tidak bisa menahan ujung bibirnya terangkat sedikit. “Ok, ok, sorry. Gue bakal serius dengerin,” ujar Kinsha.
Agni melanjutkan.
“Kakak gue yang pertama, Sagara—si Anak Emas. Dia orangnya pendiem. Jarang ngomong, nggak rese juga sebenernya… tapi… dia tuh kaya pusat gravitasi di rumah, terutama buat nyokap gue…”
Agni mulai menirukan suara ibunya, “‘Agni, sambelnya jangan pedes, Gara enggak bisa makan pedes.’ ‘Agni, jangan setel musik keras-keras, nanti Gara keganggu.’ ‘Agni, masakin air hangat buat Gara mandi. Kasian dia nanti masuk angin…’”
Kinsha dan Aliya mulai cekikikan.
Agni menghela napas keras, “Sumpah ya, kalau si Sagara bersin doang, emak gue pasti udah heboh bikinin dia sop hangat. Tapi kalau gue muntah darah, gue bakal tetep disuruh cuci piring.”
Kinsha dan Aliya tidak bisa menahan tawa mereka lagi. Mereka tertawa sambil memegangi perut mereka.
“Terus, terus?” kata Kinsha antusias.
Wajah Agni kini terlihat mengeras.
“Kakak gue yang berikutnya, Dirga—Si Anak Babi…”
Kinsha dan Aliya tertawa lagi.
Agni mendecak tak sabar, “Mau dengerin enggak sih?”
Kinsha mengelap air dari sudut matanya. “Sorry, sorry… lanjut.”
Agni menarik napas lagi. “Berikutnya, Dirga—Si Anak Babi. Kenapa dia kayak Babi? Karena dia rakus, tukang makan, dan yang paling nyebelin… dia suka ngambil makanan gue dan minjem duit tapi enggak pernah dibalikin.”
Aliya mengerutkan kening. “Serius?”
Agni mengangguk. “Si anak babi ini, pengangguran. Jadi kalau dia butuh duit, dia minta ke nyokap gue. Kalau nyokap enggak ngasih, dia bakal minjem ke gue dengan berbagai alasannya deh, tapi abis itu enggak pernah dibalikin. Udah gitu, dia sering banget ngambil makanan yang gue simpen di kulkas atau dapur tanpa izin.”
“Ihh nyebelin banget,” ujar Aliya yang ikut geram.
“Terus, satu lagi siapa?” tanya Kinsha.
Kali ini wajah Agni menjadi semakin keras. Ia menggeleng pelan ke kamar sebelah. “Bumi—Si Kingkong. Dia anak paling tua… dan yang paling pengen gue…” Agni membuat gerakan meremas udara kosong dengan wajah geram.
“Dia kenapa emangnya?” tanya Aliya penasaran.
Agni menarik napas keras. “Lo bayangin Hitler sama Gengis Khan dikawin silang, nah hasilnya tuh Bumi. Diktator, otoriter, tiran,” kata Agni penuh kebencian.
“Dia suka ngatur-ngatur gitu?” tanya Aliya.
Agni mengangguk. “Dia bukan cuma suka ngatur, masalahnya… dia serem. Kalau Dirga nyebelin gue bisa mukul atau ngatain dia. Tapi kalau Bumi…. Cuma diliatin aja gue udah ngerasa nyawa gue ilang separo.”
Aliya dan Khinsa bergidik. “Seserem itu?” kata Aliya ngeri.
Agni mengangguk sambil menghela napas panjang. “Dia selalu seenaknya aja ngatur, gue enggak boleh masih di luar rumah di atas jam 7 malem, enggak boleh pake baju pendek, enggak boleh posting foto-foto di medsos yang menurut dia ‘mengundang’…”
Aliya mengernyit. “Tapi… gue rasa dia begitu karena dia peduli sama lo enggak sih?”
Agni mendengus. “Peduli apaan? Emang dia cuma suka ngatur-ngatur orang aja. Mau gue punya kesulitan juga dia enggak pernah peduli.”
“Hmm… Gue jadi penasaran pengen liat kakak-kakak lo deh,” kata Kinsha.
“Jangan deh,” tukas Agni.
Aliya mengernyit. “Kenapa?”
Agni menatap mereka lurus-lurus. “Nanti kalian naksir.”
Aliya dan Kinsha memiringkan kepala mereka dan terlihat penasaran. Namun tepat saat itu, terdengar suara dengkuran dari perut mereka berdua.
Aliya dan Kinsha memegangi perut mereka dengan wajah salah tingkah. Sementara Agni tertawa kecil.
“Laper ya? Di kulkas masih ada stok ayam goreng bawang, tinggal digoreng sih. Mau?” kata Agni.
Kinsha terkekeh. “Boleh deh kalau enggak ngerepotin.”
“Ok, bentar ya.” Agni bangkit berdiri dan berjalan keluar kamar, meninggalkan Kinsha dan Aliya berdua di kamarnya.
Mereka berdua sibuk bermain dengan ponsel mereka sambil sesekali mengobrol ringan, sampai kemudian terdengar suara Agni memanggil.
“Kinshaa!! Aliyaaa!! Makan yukk!!”
Kinsha dan Aliya bertukar pandang. “Wah cepet juga chef kita masak,” kata Kinsha sambil menyeringai lebar. Aliya ikut tertawa kecil.
Mereka berdiri dan berjalan menuju pintu. Tapi baru saja mereka melewati ambang pintu kamar, sesuatu membuat langkah mereka terhenti.
Seorang cowok bertubuh tinggi tegap melintas di depan mereka. Bertelanjang dada, hanya mengenakan celana olahraga panjang dengan handuk tersampir di bahunya. Rambutnya masih basah, meneteskan sisa air dari mandi. Aromanya—campuran sabun dan cologne maskulin—menyeruak, menyergap indera penciuman mereka.
Otot-otot di lengannya terlihat kokoh. Otot dada dan perutnya terbentuk sempurna, hasil dari dedikasi latihan bertahun-tahun. Dan tatapan matanya… tajam. Dingin. Tak ramah.
Cowok itu berjalan melewati mereka, menoleh sekilas. Hanya sekilas. Tapi cukup untuk membuat jantung keduanya seolah berhenti berdetak.
Ia tak berkata apa pun. Langsung masuk ke kamar di sebelah kamar Agni dan menutup pintunya.
Kinsha mengembuskan napas keras. “Gila… gue enggak bisa napas,” gumamnya.
Aliya masih terpaku, mulutnya terbuka sedikit. Ia hanya bisa mengangguk.
“Oi, ayo,” kata Agni yang kini sudah menghampiri untuk mengajak mereka makan. Kinsha dan Aliya mengangguk pelan, meskipun belum sepenuhnya sadar dari keterkejutan mereka.
Lalu saat mereka sampai di ruang makan. Seorang cowok duduk di sana. Wajahnya terlihat tenang dan serius, sebuah buku tebal terbuka di depannya. Saat menyadari langkah mereka, cowok itu mengangkat wajahnya dari buku. Lalu tersenyum. Sebuah senyum lembut, hangat, dan teduh yang sontak membuat Kinsha dan Aliya tersipu.
“Temennya Agni ya?” tanya cowok itu ramah.
Kinsha dan Aliya hanya bisa mengangguk serempak tanpa bisa berkata apa-apa. Jantung mereka berdegup keras di bawah tatapan lembut itu.
Cowok itu tersenyum lagi, lalu kembali menunduk ke bukunya.
Tak lama Agni datang menaruh sepiring ayam goreng bawang, piring dan nasi.
“Yuk makan,” Agni duduk di meja makan. Namun belum sempat mereka berdua duduk. Sebuah suara nyaring memanggil.
“Nii… lo lagi masak? Bikinin gue mie sekalian dong.”
Seorang cowok bertubuh gempal dengan rambut panjang berantakan, kaos kumal dan celana boxer belel terlihat muncul dari teras samping. Tampilannya seperti orang yang sudah lama tidak menyentuh air mandi, membuat Kinsha dan Aliya mengernyit jijik.
Wajah Agni terlihat gondok.
“Buntung tangan lo? Bikin sendiri!” tukasnya.
Cowok itu mengerucutkan bibirnya. “Idihh.. pelit amat lu…” Ia menoleh ke Kinsha dan Aliya, “Kok kalian mau sih temenan sama cewek judes ini?” katanya sambil terkekeh.
Kinsha dan Aliya hanya bisa tersenyum kikuk.
Agni menggertakan gigi dan melempar bantalan tissue ke cowok itu. “Berisik! Pergi lo sana! Anak babi!”
Cowok itu hanya tertawa ringan sambil menepis bantalan tissue itu dengan mudah. Tidak peduli sama sekali dengan ekspresi kesal Agni, lalu berjalan ke dapur dan mulai membuat mie.
Kinsha dan Aliya mengamati cowok dengan senyum teduh itu yang masih duduk di ujung meja makan. Seolah dunia di sekitarnya tidak dapat mengusiknya.
Kinsha dan Aliya bertukar pandang, lalu mereka menyeringai kecil.
“Kapan-kapan main ke sini lagi yuk,” bisik Kinsha.
Aliya mengangguk sambil berusaha menahan senyum.