Agni melangkah masuk melewati gerbang SMA-nya dengan percaya diri. Di tangan kanannya, ia menenteng sebuah kotak makan besar. Tangan kirinya sibuk membetulkan posisi tas ransel kesayangannya yang sudah mulai usang—tas yang telah setia menemaninya sejak masa SMP.
Begitu memasuki ruang kelas XI IPA 2, Agni langsung mengangkat kotak makan itu tinggi-tinggi sambil tersenyum lebar.
“Gue bawa brownies lagi hari ini!” serunya penuh semangat.
Seruan itu langsung mengundang reaksi heboh dari teman-teman sekelasnya. Mereka berhamburan mendekati bangku tengah tempat Agni sudah duduk.
“Gue mau, Ni!”
“Gue juga!”
“Gue nggak bawa duit, bisa pakai QRIS nggak?”
Agni terkekeh. “Mau QRIS, e-wallet, transfer bank—semuanya aman. Asal jangan ngutang, ya.”
Ia membuka kotak makan di pangkuannya. Aroma manis dari brownies cokelat panggang segera menyeruak, menggoda penciuman bahkan sebelum sempat disentuh lidah. Satu per satu teman-temannya mengambil potongan dan membayar, hingga hanya tersisa beberapa potong dalam kotak.
Tak lama kemudian, Kinsha—teman sebangkunya—masuk ke kelas bersama Aliya dan Remi yang duduk di bangku belakang Agni. Mereka bertiga memang baru saling kenal sejak awal tahun ajaran kelas XI, tapi entah bagaimana, Agni merasa sudah klop dengan mereka. Tanpa direncanakan, mereka berempat menjadi sahabat dekat dalam waktu singkat.
“Wuihh, bawa brownies lagi? Gue mau dong,” ujar Kinsha sambil duduk di sebelah Agni.
“Tenang… gue udah pisahin buat kalian,” jawab Agni, lalu mengeluarkan kotak makan lain dari dalam ranselnya.
Mata Kinsha, Aliya, dan Remi langsung berbinar. Mereka segera mengambil potongan brownies dan mencicipinya.
“Resep baru ya? Kayaknya beda sama yang kemarin… Tapi ini lebih enak sih,” komentar Aliya. Indra perasanya memang lebih sensitif dibanding kebanyakan orang.
“Kok enggak lo post, sih? Biasanya kalau nyoba resep baru lo upload,” tanya Remi sambil mengunyah. Ia satu-satunya cowok dalam geng mereka dan terkenal aktif di media sosial. Follower-nya sudah tembus puluhan ribu. Ia juga kerap membantu Agni memberi ide untuk konten seputar baking di Instagram.
Agni menghela napas panjang. “Enggak sempet… Bisa nyoba resep ini aja udah syukur.”
Sejak dulu, baking adalah kesenangan pribadi Agni. Meracik adonan, bermain dengan rasa, menghias hasil akhirnya—semua memberi ruang bagi sisi kreatifnya untuk berkembang. Apalagi, kegiatan itu tak hanya menenangkan, tapi juga menghasilkan. Ia sering menerima pesanan dari teman-teman dan tetangga karena kue buatannya terkenal pas di lidah dan ramah di kantong.
Sayangnya, sebagai anak perempuan satu-satunya di rumah, waktu luangnya kerap tersita oleh urusan domestik. Tak jarang setelah selesai baking, ia sudah terlalu lelah untuk sekadar memotret hasilnya dan membuat unggahan.
“Ngomong-ngomong nanti pulang sekolah jadi enggak?” tanya Kinsha.
Agni mengernyit. “Jadi apa?”
“Masa lo lupa? Katanya mau ke rumah lo hari ini,” kata Aliya.
Agni terlihat menimbang-nimbang. “Hari ini ya….”
Remi menyadari kebimbangannya. “Kenapa? Lo ada acara?”
Agni menarik napas pelan. Bukan ada acara. Tapi lebih tepatnya, ada orang-orang di rumah yang membuatnya malas mengajak teman datang. Tapi Agni sudah terlanjur mengatakan rumahnya hanya tinggal jalan kaki dari sekolah, dan mereka bertiga jadi penasaran ingin datang.
“Bisa sih… tapi… begitu bel pulang bunyi kita langsung cabut ya,” kata Agni akhirnya.
Aliya mengernyit. “Kenapa emangnya?”
Agni menyipitkan matanya tajam. “Supaya kita enggak ketemu monyet itu di rumah.”
Mereka bertiga serempak mengerutkan kening.