Di sudut lemari tua yang kuncinya sudah haus, ada sebuah album foto dengan sampul kulit yang warnanya mulai pudar. Di bagian depannya, terdapat label tempel yang tulisannya sudah mulai terkelupas, tetapi masih bisa dibaca samar: “Kenangan Keluarga”.
Album itu bukan sembarang album. Ia seperti pintu kecil menuju masa lalu yang tak bisa kita ulang, tapi masih bisa kita kenang. Dan setiap kali aku membuka lembaran plastiknya, suara-suara lama seperti ikut mengintip dari sela-sela halaman.
Hari itu hujan turun sejak pagi. Aroma tanah basah masuk dari jendela yang terbuka sedikit. Aku duduk di ruang tengah, membuka album itu perlahan, satu halaman demi satu halaman—seperti membuka lembaran dari hati yang diam-diam rindu.
Foto pertama adalah Ayah dan Ibu. Mereka sedang tersenyum lebar di depan gerbang rumah ini—masih baru saat itu, dengan cat kuning muda dan pagar kayu yang belum lapuk. Ayah mengenakan kemeja flanel kesukaannya, sementara Ibu memegang pot kecil berisi tanaman sirih gading.
Aku menyentuh foto itu dengan ujung jari. Rasanya seperti menyentuh suara tawa Ayah yang kini hanya tinggal gema dalam ingatan. Di halaman berikutnya, ada foto-foto kami waktu kecil. Aku memakai kaus dengan gambar dinosaurus yang sekarang mungkin sudah punah dari dunia per-mode-an. Dira berdiri di sebelahku, memegang es krim yang setengah mencair.
Wajah kami lucu. Penuh semangat. Matanya berbinar seperti dunia belum pernah menyakiti. Kami tersenyum dengan gigi ompong dan baju yang mungkin sudah diwariskan dari kakak sepupu.
Aku tertawa pelan. Tapi tawa itu segera diam saat aku sadar: ada halaman yang kosong.
Plastiknya tetap ada, tapi tak ada foto di dalamnya. Hanya ada kertas putih dengan bekas lem yang menguning.
Dan di bawahnya, tertulis dengan pulpen biru:
“Liburan ke pantai. Ayah berenang, Dira nangis karena pasir masuk mata.”
Tapi... tak ada foto itu.
Halaman berikutnya juga begitu. Ada catatan, tapi tidak ada gambar.
“Pentas seni TK. Kamu jadi matahari, Dira jadi angin.”
Aku mencoba mengingat. Aku memang ingat pentas itu. Aku berdiri dengan kostum warna kuning menyala, dan Dira dikelilingi pita-pita biru. Tapi kenapa fotonya hilang?
Mungkin pernah dipinjam seseorang. Mungkin rusak karena air. Atau... mungkin memang tidak pernah diambil dari studio cuci cetak karena lupa.
Apa pun alasannya, yang tersisa kini hanyalah jejak kosong—ruang hampa yang justru semakin terasa penuh oleh ingatan.
Ibu datang membawa teh manis dan duduk di sampingku.
“Kamu ketemu album itu lagi?” tanyanya sambil meniup uap dari cangkir.
Aku mengangguk. “Kenapa banyak fotonya yang hilang, Bu?”
Ibu menatap album itu lama. Wajahnya seperti membuka kenangan yang sudah lama dikunci.
“Dulu... waktu kamu SMP, album ini pernah kena air bocoran atap. Beberapa fotonya rusak. Ibu sempat keringkan, tapi ya... sebagian nggak bisa diselamatkan.”
Aku mengangguk pelan. “Tapi Ibu masih nulis catatan di bawahnya ya...”
Ibu tersenyum. “Iya. Biar kalau suatu hari kamu buka lagi, kamu masih ingat.”
Aku menatap tulisan itu—huruf-huruf miring Ibu yang khas, seperti tangan yang merawat waktu.
Dan aku benar-benar ingat.
Aku ingat Ayah mengangkatku tinggi-tinggi saat ombak datang. Ingat suara Dira merengek karena kulitnya gatal kena pasir. Ingat Ibu tertawa sambil menyeka muka Dira dengan sarung.
Foto itu tak ada. Tapi ingatannya lengkap.
Dira datang sore itu. Kami bertiga membuka album itu bersama.
“Wah ini lucu banget!” katanya saat melihat fotonya yang memakai bando kelinci. “Aku inget ini! Ini waktu aku ulang tahun ke-5!”
Kami tertawa. Mengingat makanan yang tumpah, kue yang bantat, dan tamu undangan yang isinya cuma tetangga yang satu gang.
Lalu Dira membuka halaman kosong itu.
“Lho, fotoku jadi angin ke mana?”
Aku tertawa. “Tanya Ibu.”
Ibu mengangkat bahu. “Tanya langit bocor waktu itu.”
Kami bertiga tertawa. Tapi sesekali, diam menyelinap di antara tawa kami—diam yang penuh rasa haru karena sadar: waktu tidak bisa diulang, tapi bisa dihidupkan lagi melalui cerita.
Malam itu, setelah semuanya tenang, aku duduk sendiri di ruang tengah. Album itu terbuka di pangkuanku. Jari-jariku menyentuh setiap catatan kecil Ibu yang dulu mungkin ia tulis sambil memegang teh dan mendengarkan radio.
Dan tiba-tiba, aku merasa ingin menambah sesuatu.
Aku mengambil pena. Di salah satu halaman kosong, aku menulis:
“Tahun 2025. Hari hujan. Kami duduk bertiga lagi di ruang tengah. Tertawa, mengenang, menyulam yang pernah hilang.”
Lalu aku menambahkan sesuatu yang tidak ada sebelumnya: foto selfie kami bertiga hari itu, cetakan instan dari printer kecil di ponsel Dira. Gambar kami tidak sempurna. Ibu setengah tertutup mug teh. Aku menyipit. Dira miring. Tapi kami tertawa.
Dan di bawahnya, aku tulis:
“Foto ini baru. Tapi ceritanya sudah lama.”
Album itu kini tidak lengkap secara gambar. Tapi penuh secara makna. Karena kadang, kehilangan itu tak selalu berarti hilang. Kadang, kehilangan justru membuat sesuatu menjadi lebih dihargai. Seperti halaman kosong yang dulu membuatku sedih, kini jadi ruang untuk menulis kembali cerita yang pernah ditinggalkan.
Dan sebelum aku menutup album malam itu, aku berkata pelan dalam hati:
“Terima kasih untuk yang pernah hilang. Karena tanpamu, aku tak akan tahu betapa berharganya yang masih tersisa.”