Bau kamper. Sedikit anyir sabun cuci. Lalu, entah dari mana, ada aroma yang rasanya seperti pelukan Ibu. Begitu aku membuka lemari kain tua di kamar belakang, semua itu menyeruak seperti tumpukan kenangan yang tak sabar disapa. Lemari itu berwarna cokelat tua dengan pegangan besi yang mulai berkarat—pernah jadi tempat Ibu menyimpan kain-kainnya. Batik kesayangannya yang selalu dipakai saat pengajian, daster-daster lusuh yang dulu kupeluk ketika beliau sedang tidur siang, dan kain panjang yang dipakai saat meninabobokan kami adik-beradik ketika kecil. Kain-kain itu kini diam, tergulung rapi dalam tumpukan, seolah tetap menjaga bentuk tubuh yang pernah membalutnya. Dan aku, aku hanya bisa memandanginya dengan hati yang pelan-pelan mulai tenggelam dalam kenangan.
Ada satu kain yang membuatku berhenti bernapas beberapa detik. Kain biru tua, bermotif bunga kenanga. Aku ingat betul, ini kain yang dipakai Ibu saat mengantarku pertama kali masuk sekolah dasar. Hari itu, aku menangis di depan gerbang. Takut ditinggal. Takut salah duduk. Takut nggak bisa baca. Tapi Ibu memelukku erat dengan kain ini, sambil berbisik, “Kamu kuat, Nak. Pelan-pelan saja. Semua orang juga belajar.”
Waktu itu aku tak tahu, bahwa kata-kata itu akan jadi mantra dalam hidupku bertahun-tahun ke depan.
Aku angkat kain itu, menempelkannya ke pipi. Masih harum. Tapi bukan wangi sabun, bukan juga kamper. Lebih seperti... aroma tenang. Mungkin ini yang orang sebut: doa yang menempel di serat kain. Karena dari sekian banyak hal di dunia, cinta Ibu sepertinya memang tidak pernah benar-benar pergi—ia tinggal dalam hal-hal kecil yang kita pikir sepele.
“Masih lengkap?” suara Dira, adikku, terdengar dari balik pintu.
Aku menoleh dan mengangguk pelan. “Iya. Masih di tempatnya semua. Bahkan kayaknya Ibu masih ingat urutan melipat kain yang dia suka. Yang batik di atas. Yang buat tidur di bawah.”
Dira masuk, duduk di pinggiran dipan yang sudah keropos.
“Aku kadang ngerasa bersalah, Mbak,” katanya pelan, sambil memandangi kain-kain itu. “Waktu Ibu masih ada, aku suka ngomel kalau disuruh bantuin nyetrika atau nyimpan kain di sini. Dulu mikirnya ribet. Tapi sekarang, lihat tempat ini aja rasanya kayak dighamparin rasa bersalah.”
Aku menatapnya, lalu tersenyum kecil.
“Aku juga gitu. Dulu sering nyuri-nyuri waktu buat kabur ke kamar, biar nggak disuruh bantu. Tapi sekarang malah nyari-nyari alasan buat lebih lama di kamar ini.”
Kami diam beberapa saat. Hanya suara jam dinding tua yang terdengar, berdetak pelan seolah ikut menghitung sisa waktu kami di rumah lama ini.
Lalu, aku menemukan satu lagi benda yang membuatku tersenyum. Sebuah kantong plastik kecil, berisi potongan kain perca dan benang warna-warni. Di ujungnya ada gulungan kain flanel merah muda yang dulu kupakai buat belajar menjahit waktu SD.
“Inget ini, nggak?” tanyaku sambil mengangkat kantong itu.
Dira tertawa kecil. “Iya! Itu kan yang dulu kamu pakai buat bikin bantal-bantal kecil. Yang bentuknya kayak tahu goreng gagal.”
Aku ikut tertawa. “Itu bukan gagal. Itu... unik.”
“Unik jelek,” tambah Dira, masih tertawa sambil mengelap matanya.
Tertawa itu cepat berubah jadi isak kecil. Entah kenapa, rumah ini memang bisa dengan mudah mencampur tawa dan tangis dalam satu napas. Dan entah kenapa juga, kami tidak pernah bisa benar-benar marah pada kenangan, walaupun kadang terasa perih.
“Aku kangen Ibu,” gumam Dira akhirnya. “Aku kangen banget.”
Aku mengangguk. “Aku juga. Tapi aku percaya... semua kain ini, semua yang dia tinggalkan, masih menyimpan doa-doa dia buat kita.”
Malamnya, aku membuka lagi lemari itu sendiri. Lampu kamar sudah diredupkan, hanya cahaya dari koridor yang masuk lewat celah pintu. Dan di tengah remang itulah, aku melihat sesuatu yang sebelumnya terlewat.
Sebuah amplop kecil, terselip di balik lipatan daster tua. Warnanya kuning kecokelatan, seperti sudah lama menunggu untuk ditemukan. Di bagian depan, hanya tertulis dua kata: “Untuk Anak-anakku.”
Tanganku gemetar saat membukanya.
Di dalamnya ada selembar kertas, bertulisan tangan dengan tinta biru yang sedikit pudar. Tulisan Ibu.
"Nak,
Suatu hari nanti, rumah ini akan terasa sepi.
Tapi bukan karena kenangan hilang karena kalian sudah tumbuh, dan waktu berjalan.
Aku tidak ingin kalian datang ke rumah ini hanya untuk bersedih.
Datanglah untuk mengingat, dan tertawa.
Kain-kain yang Ibu lipat itu, Ibu doakan satu-satu. Yang batik, semoga kalian tetap membumi. Yang flanel, semoga kalian tetap lembut. Yang tidur, semoga kalian selalu pulang dengan tenang. Rumah ini tidak sempurna. Tapi semoga cukup hangat untuk kalian ingat sebagai tempat pulang.
Ibu mencintai kalian, bahkan ketika kalian sudah lupa cara melipat daster dengan rapi."
Aku menangis. Tapi bukan tangis getir. Lebih seperti tangis yang pelan-pelan menghangatkan dada. Karena kadang, kehilangan bukan berarti ditinggalkan. Kadang, kehilangan cuma cara lain Tuhan menunjukkan bahwa cinta bisa tinggal dalam hal-hal yang tidak pernah kita duga.
Keesokan harinya, aku dan Dira memutuskan untuk tidak memindahkan kain-kain itu ke lemari baru. Kami hanya membersihkannya, melapisi raknya, dan memberi kamper baru yang baunya tidak terlalu menyengat. Biar tetap seperti dulu.
“Apa kita bisa nambahin kain sendiri nanti?” tanya Dira sambil menyelipkan saputangan kecil buatan tangannya.
Aku mengangguk. “Bisa. Rumah ini masih hidup, kok. Cuma diamnya lebih tenang aja.”
Dan entah kenapa, sejak hari itu, setiap aku mencium aroma kain yang sudah berumur, aku merasa seperti sedang dipeluk. Oleh waktu. Oleh kenangan. Oleh doa-doa yang tinggal di serat-serat sederhana. Dan oleh Ibu, tentu saja.