Loading...
Logo TinLit
Read Story - Menyulam Kenangan Dirumah Lama
MENU
About Us  

Siang itu, matahari sedang santai. Tidak terlalu terik, tapi cukup terang untuk membuat bayangan rumah lama terlihat lebih jelas. Dina duduk di teras belakang sambil memandangi pintu kecil berwarna hijau pudar di pojok halaman. Itu adalah pintu gudang—ruang yang dulu dilarang keras untuk dimasuki sembarangan.

Gudang itu, di masa kecilnya, terasa seperti dunia paralel. Tempat segala sesuatu yang tak terpakai, tak dikenang, dan sering dilupakan—tapi sekaligus tempat harta karun yang tak pernah habis. Kardus misterius, koper tua, rak berdebu, dan—yang paling membuat penasaran—kotak mainan yang katanya menyimpan “barang rusak tapi masih disayang.”

Sore itu, entah kenapa Dina merasa ingin masuk ke sana.

Dengan kunci kecil yang digantung di belakang pintu dapur, ia berjalan pelan menuju gudang. Semak liar tumbuh di sekeliling pintunya, dan sarang laba-laba melambai santai di sudut dinding. Pintu itu agak seret saat dibuka. Berderit seperti suara orang tua yang baru bangun tidur.

Begitu pintu terbuka, aroma khas langsung menyergap hidung—bau kayu lembap, kertas tua, dan kenangan yang lama terkunci.

Dina berdiri sejenak. Matanya menyesuaikan gelap dan cahaya yang tipis. Udara dalam gudang itu seperti berhenti sejak bertahun-tahun lalu. Tidak dingin, tidak hangat, hanya… tua.

Langkah pertamanya di lantai kayu membuat bunyi krek. Ia tertawa kecil. “Halo, gudang. Aku balik,” bisiknya.

Di sisi kanan, ia menemukan koper merah tua. Masih dengan stiker kartun yang setengah mengelupas. Ia membukanya perlahan, dan menemukan beberapa buku pelajaran dari SD. Buku Matematika kelas 4 dengan coretan “DINA BOSAN” di sampulnya. Buku IPA yang diselipi bunga kering. Dan satu buku harian, lengkap dengan gembok kecil berkarat.

Ia tersenyum. Membuka halaman pertama, dan tertawa saat membaca tulisannya:

"Hari ini aku makan mie goreng 3 kali. Mama bilang aku akan tumbuh jadi mie instan."

– Dina, umur 9

Setiap lembar buku harian itu seperti anak tangga menuju masa lalu. Lucu, polos, dan jujur. Di halaman terakhir ada tulisan yang sedikit kusut, seperti ditulis sambil menangis:

"Aku dimarahin karena nyubit Dimas. Tapi dia duluan nyubit hatiku."

Dina tertawa keras. Entah siapa Dimas, tapi jelas waktu itu ia adalah cinta pertama sekaligus penyebab pertama Dina ingin pindah sekolah.

Di balik koper itu, ada kardus lain. Lebih berat, dan saat dibuka, ada sepasang sepatu sekolah.

Sepatu kain warna hitam dengan sol karet putih yang sekarang sudah menguning. Tali sepatunya lusuh. Di bagian dalamnya, Dina bisa melihat inisial kecil “D.N” yang ia tulis dengan spidol hitam. Sepatu itu terasa lebih kecil dari yang ia ingat.

Dina mengangkatnya pelan, menaruhnya di pangkuan. “Hei, kalian masih di sini,” ucapnya pelan.

Sepatu itu adalah saksi dari banyak hal. Hujan-hujanan di lapangan belakang sekolah. Lomba lari antar kelas. Hari pertama masuk sekolah menengah. Hari pertama patah hati.

Ia ingat suatu hari sepatu itu basah karena Dina nekat main bola di lapangan becek. Ibu marah besar. Tapi malamnya, diam-diam ibu mencuci sepatu itu dan menjemurnya dengan posisi menghadap matahari pagi.

“Biar semangat sekolahnya ikut kering bareng sepatunya,” kata ibu sambil mengelus rambutnya.

Dina terdiam. Matanya hangat. Ia tak tahu sepatu bisa punya ingatan. Tapi sepatu ini punya terlalu banyak.

Ia membersihkan sepatu itu pelan-pelan dengan kain kering yang ia temukan di dekat rak kayu. Meski sudah usang, solnya masih utuh. Tapi ukurannya jelas tak lagi pas. Seperti beberapa hal dalam hidup—masih ada, tapi sudah tak cocok lagi.

“Dulu, kita ke mana-mana bareng,” ucap Dina sambil memeluk sepatu itu. “Sekarang, bahkan kakiku terlalu besar buat kalian.”

Ia meletakkan sepatu itu di atas meja kecil di pojok gudang. Dan untuk beberapa detik, ia merasa seperti sedang berpamitan pada teman lama.

Di rak sebelah, Dina menemukan kotak kecil berbentuk hati. Warnanya sudah pudar. Di dalamnya ada berbagai surat kecil—lipatan segitiga yang ditulis tangan.

Surat dari teman SD. Teman yang entah sekarang di mana. Ada yang menulis:

"Kita temenan terus ya, sampai tua."

"Kalau kamu sedih, bayangin aja kita ketawa waktu pelajaran IPS."

Surat-surat itu seperti peluk dari masa lalu. Tertulis dengan ejaan yang kacau, tapi penuh ketulusan. Dina membaca satu persatu, kadang tertawa, kadang mengelus dada.

Hidup ternyata lucu ya—dulu kita takut ulangan matematika, sekarang takut kehilangan arah hidup.

Tiba-tiba, angin sore masuk dari sela pintu. Membawa bau daun kering dan debu yang berterbangan pelan. Di antara serpihan itu, Dina melihat satu kotak sepatu di bagian bawah rak. Ia mengambilnya.

Dan di dalamnya… bukan sepatu. Tapi foto-foto.

Foto Dina dengan seragam putih-merah. Foto ibu saat memotong kue ulang tahun Dina yang ke-10. Foto Dina yang cemberut karena rambutnya dipotong model mangkuk.

Ada satu foto yang membuatnya berhenti. Ia dan ibunya duduk di depan rumah, masing-masing memegang sepatu sekolah. Di belakang foto itu ada tulisan ibu:

"Kita tidak tahu ke mana kaki akan melangkah. Tapi pastikan sepatu yang kamu pakai punya kenangan yang kamu bawa dengan bangga."

Dina mendekap foto itu. Pelukannya lama. Karena ada kalimat-kalimat yang tak pernah dikatakan saat orang itu masih ada. Tapi selalu terasa setelah ia tiada. Setelah hampir dua jam di gudang, Dina keluar dengan debu di baju dan senyum di wajah. Ia membawa sepatu sekolah lamanya, foto-foto, dan satu surat dari teman yang berkata: “Kamu itu lucu walau suka marah-marah.”

Sore itu, ia meletakkan sepatu di ruang tamu, di bawah jendela. Bukan untuk dipakai. Tapi sebagai pengingat: bahwa sebelum ia menjadi dewasa yang sering bingung dan takut gagal, ia pernah jadi anak kecil yang berani berlari dengan sepatu basah. Malamnya, Dina membuat teh lagi. Kali ini di cangkir yang retak itu. Ia duduk di dekat sepatu sekolah lamanya, menyesap pelan, dan membiarkan kenangan menari-nari seperti uap teh di udara.

Ia tahu, hidup tidak selalu manis. Tapi ada momen-momen kecil yang bisa membuat segalanya terasa cukup—seperti sepatu lama yang masih tersimpan, meski tak pernah dipakai lagi. Dan rumah ini, pelan-pelan, mulai berbicara padanya. Lewat barang-barang lama. Lewat debu yang tidak dibersihkan. Lewat sepatu yang diam-diam menyimpan semua langkah pertama. Gudang itu ditutup kembali. Tapi kali ini bukan untuk dilupakan. Melainkan sebagai ruang kenangan yang bisa dikunjungi kapan saja—saat hidup terasa berat, atau saat ia ingin tahu siapa dirinya sebelum menjadi seperti sekarang.

Karena kadang, untuk tahu ke mana kita akan melangkah, kita perlu kembali ke tempat

di mana langkah pertama itu dimulai.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Let Me be a Star for You During the Day
1077      583     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Pasha
1291      579     3     
Romance
Akankah ada asa yang tersisa? Apakah semuanya akan membaik?
Transmigrasi ke raga bumil
307      198     2     
Fantasy
Azela Jovanka adalah seorang gadis SMA yang tiba-tiba mengalami kejadian di luar nalar yaitu mengalami perpindahan jiwa dan menempati tubuh seorang Wanita hamil.
Untitled
507      290     0     
Romance
This story has deleted.
Who are You?
1417      637     9     
Science Fiction
Menjadi mahasiswa di Fakultas Kesehatan? Terdengar keren, tapi bagaimana jadinya jika tiba-tiba tanpa proses, pengetahuan, dan pengalaman, orang awam menangani kasus-kasus medis?
Stuck In Memories
15982      3278     16     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
Kacamata Monita
1275      565     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Ada Apa Esok Hari
222      172     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Bisikan yang Hilang
71      64     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Yang Tertinggal dari Rika
2313      1102     11     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...