"Pinjam sebelah." Aceng bergumam pelan setelah berpindah tempat ke sebelah Monita. Tangan kirinya terulur, menantikan diberi sesuatu. Monita berpikir keras mencerna apa maksudnya, sampai akhirnya Aceng berhenti menatap layar laptop di depan mereka dan beralih memandang earphone yang digenggam Monita.
"Oh." Monita segera menyambungkan kembali kabel earphone ke laptop dan memberikan satu cabang untuk Aceng. Satunya lagi, ragu-ragu Monita pasangkan ke telinga kanannya. Karena Aceng telah tenggelam memilih-milih musik yang tepat, tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain ikut mendengar.
Aceng mencoba-coba beberapa musik. Kadang, tidak sampai tiga detik, langsung diganti. Atau, sudah setengah jalan baru dieliminasi. Beberapa didengar sampai habis, ada juga yang diputar berkali-kali. Apa yang terdengar di telinga kanan Monita, cocok sekali menjadi soundtrack pikirannya. Lompat-lompat tak beraturan, ada yang keras ada yang lemah, dan harus ditinjau satu per satu.
Hari ini dia sudah dibelikan minuman (walau karena promo) dan dibantu pilih-pilih musik (meski atas usulan Jhoni). Ekspresi Aceng juga santai-santai saja, tidak ada kerutan di antara alis atau tanda-tanda terpaksa lainnya. Itu semua pertanda baik. Aceng tidak menghindar darinya, bahkan tampak suportif. Nasib selanjutnya tinggal tergantung pada Monita. Jika terus diam, kebekuan di antara mereka hanya mencair di satu sisi. Dia juga harus ikut berpartisipasi.
Mungkin bisa dimulai dengan ngobrolin musik yang mereka dengar.
"Yang ini kayaknya cocok, deh, untuk penutup."
"Terlalu rame, nggak sih?"
"Ini mungkin bisa jadi cadangan."
Entah karena terlalu fokus atau merasa ucapan Monita terlalu retoris, Aceng hanya merespons singkat-singkat. Paling sering dengan anggukan kepala. Selebihnya terus menyalin tautan dan judul musik yang kedengarannya oke ke Notepad. Ujung-ujungnya Monita merasa seperti menjadi komentator tak diundang. Dia harus cari cara lain. Apa ini saatnya cerita tentang pengakuannya ke Dirga semalam? Monita hampir menggeleng tidak setuju. Situasinya kurang tepat. Terlalu banyak mata dan telinga. Tidak mungkin dia dan Aceng melipir ke ruang makan. Andai saja kemampuan membaca pikiran memang ada.
"Satu lagi yang ini aja?"
Monita tersentak dari renungannya, kemudian tersadar Aceng baru saja menanyakan pendapat tentang musik yang telah selesai diputar, yang sayangnya tidak sempat dia dengar dengan saksama. "Coba gue dengar lagi," pintanya.
Aceng memutar kembali musik tersebut, dan Monita mencoba fokus mendengar sambil menepis pemikiran, ini mungkin akan jadi lagu terakhir yang mereka berdua dengar hari ini. Dan perkiraan itu semakin kuat setelah musik berhenti.
"Cocok banget buat adegan mecahin beton—eh maksudnya pematahan benda keras. Agak bikin deg-degan gitu." Monita mencoba memberikan komentar terakhir semenyenangkan mungkin.
Meski tidak sempat memastikan, telinga satunya yang tidak disumbat sempat menangkap gelak kecil Aceng. Sayangnya momen itu terlalu singkat. Aceng sudah kembali serius merampingkan daftar tautan, menutup tab browser yang tidak diperlukan, dan menyisakan halaman yang memuat musik pilihan mereka.
"Masih ada yang lain?"
Jika yang dimaksud Aceng adalah usulan musik, Monita akan segera menggeleng. Namun, jika lebih luas dari itu, jelas jawabanya: ada.
Masih banyak hal lain yang ingin dia sampaikan. Masih banyak yang ingin dia tanyakan. Entah itu tentang kado ulang tahun, tentang apa yang Amel sampaikan padanya di depan gerbang sekolah, tentang lip-sync di pelajaran Bahasa Inggris. Monita juga ingin memastikan apakah mereka masih bisa ngobrol-ngobrol di depan kios fotokopi, atau jika ada kesempatan lagi untuk santai-santai di kafe tantenya Dirga, apakah Aceng masih mau bercanda soal warna baju.
Namun, di samping semua itu, Monita menyadari ada satu hal yang paling ingin dia utarakan. Sesuatu yang seharusnya sudah lama dia lakukan.
Tanpa pikir panjang, Monita mengambil alih laptop di hadapan mereka, membuka Notepad, dan menambahkan beberapa kata di bawah daftar tautan yang Aceng buat.
gue minta maaf ya karena marah-marah kamis lalu
Aceng tidak langsung bereaksi. Sejenak dia memandangi kalimat yang tertera di layar, membuat Monita menanti dengan harap-harap cemas. Namun, akhirnya Aceng menekan tombol "Enter" dan menambahkan:
berarti udah selesai marahnya?
Monita menahan senyum, kemudian membalas:
serius nih.... lo mau maafin gue kan?
Aceng mengambil giliran mengetik.
nggak usah terlalu dipikirin
Monita berdecak pelan dan menghela napas lega. Bertukar pesan lewat aplikasi text editor yang tadinya terasa konyol pun jadi mengalir begitu saja.
berarti lo masih mau temenin gue ngantri nasi goreng?
Aceng menjawab:
besok selesai olahraga?
Monita ingin menerima ajakan dadakan itu, tapi seruan Delia tiba-tiba menginterupsi.
"Yay! Akhirnya ... lumpia time!"
Dia beralih dari layar laptop. Ternyata ibunya datang membawa lumpia yang tadi dipesan. Lumpia terlaris sekomplek. Lumpia pembawa keajaiban—setidaknya sampai saat ini.
"Tante memang paling ngerti kesukaan kita." Priska ikut bersorak riang sambil mengacungkan kedua jempolnya.
"Makanya, sering-sering dong main ke sini." Ibu Monita meletakkan nampan berisi sepiring penuh lumpia ke atas meja. Fara dan Priska mencoba memberi ruang dengan menyingkirkan bungkus-bungkus makanan dan minuman ringan yang telah kosong ke dalam plastik minimarket.
"Mon, ini punya lo, kan?" Risma menggeser botol minuman yoghurt yang belum terbuka ke sisi meja.
"Oh iya. Ntar aja gue minum."
Di sebelahnya, ibunya berceloteh ringan, "Dia memang lagi hobi ngumpulin minuman itu. Di kamarnya aja, ada satu yang nggak diminum-minum. Udah seminggu deh perasaan."
"Mami ...." Monita menggerutu kecil, sambil berharap Aceng tidak terlalu menyimak. Untung saja ibunya tidak lanjut membahasnya.
"Ayo ayo, dimakan, mumpung masih panas," ucap ibu Monita, masih ikut duduk bersama mereka, memperhatikan satu per satu wajah-wajah di sekitar, terutama Aceng, Jhoni, Kevin, dan Fara.
"Mana aja yang teman sekelas Moni?" tanya ibunya. Tiba-tiba Monita punya firasat buruk. Tadi siang, saat teman-temannya baru tiba, ibunya hanya menyambut sebentar. Sekarang tampaknya dia sudah punya waktu luang untuk melakukan sambutan yang pantas.
"Maaf, ya, waktu acara ultah Moni, Tante nggak sempat kenalan satu-satu," lanjut ibunya.
Acara makan lumpia pun jadi diselingi dengan sesi kenalan, yang dipandu oleh Jhoni.
"Saya Jhoni, Tante. Ketua kelasnya Moni," katanya sambil menunjuk diri sendiri dan mengangguk sopan.
"Saya Risma, Tante." Risma mengekor, diikuti Fara yang juga memperkenalkan namanya.
"Kalau ini Kevin," Jhoni menepuk-nepuk bahu Kevin, yang duduk di sebelahnya. "Teman sekelas Delia. Paling rajin dan baik hati, Tan," lanjutnya lagi. Tepukannya semakin kencang, bagaikan seorang sahabat yang tak sanggup lagi menahan luapan bangga. Sementara itu, Kevin hanya berusaha menahan tubuh kurusnya agar tetap stabil sambil tersenyum segan ke ibu Monita.
Saat Aceng menyebut namanya, "Remi", kedua alis ibu Monita terangkat.
"Kamu yang pernah bawain payung di depan sekolah pas hujan-hujan, kan?"
Monita syok mendengar pertanyaan itu. Memorinya kejadian Kamis lalu seketika muncul kembali di ingatannya. Pagi yang penuh hujan, diikuti drama putusnya kerja sama antara dia dan Aceng. Kalau dipikir-pikir, aneh juga ibunya bisa menangkap jelas wajah Aceng. Bukankah dia langsung putar balik setelah Monita turun dari mobil?
Aceng tampak tidak kebingungan memahami maksud ibunya. Tanpa pikir lama, dia mengangguk dan menjawab santun, "Waktu itu kebetulan lewat, Tante."
"Makasih, loh, karena ada kamu, Moni jadi nggak kehujanan. Apalagi antriannya waktu itu panjang banget. Kalau nunggu sampai depan gerbang, bisa terlambat."
Yang lain menyipit heran Delia dan Priska memicing penuh selidik ke arah Monita dan Aceng.
Sebelum topik obrolan semakin aneh, Monita mengusir halus ibunya, "Mi ... masih banyak yang perlu disiapin, nih .... Ngobrolnya kapan-kapan lagi aja." Kemudian dia pura-pura kembali sibuk meletakkan kedua tangan di papan ketik laptop.
"Santai lah, Mon. Ini udah mau selesai kok." Jhoni mencoba bijaksana.
Risma mengangguk setuju. "Lo aja tuh dari tadi sama Aceng nggak selesai-selesai milih musik," katanya sambil memasukkan gigitan terakhir lumpia ke dalam mulut.
"Aceng?" Kening ibu Monita berkerut.
Priska segera menjelaskan. "Maksudnya Remi, Tan. Dia lebih sering dipanggil Aceng."
Aceng masih tersenyum dan mengangguk sopan. Monita tidak punya pilihan lain selain memberi tatapan berkode kepada ibunya. Jangan tanya-tanya lagi. Dia berharap pesannya terlihat jelas. Cara itu untungnya berhasil. Tak menunggu lama, ibunya pamit undur diri.
"Eh, gue masih nggak ngerti sama payung-payung yang tadi. Maksudnya gimana, sih Ceng?" Delia ternyata masih penasaran.
Meski yang ditanya Aceng, Monita buru-buru menjelaskan, membuat fakta itu terdengar sepele. "Udah lama."—lama dan baru itu subjektif, pikir Monita,—"Waktu itu hujan. Kebetulan Aceng lewat. Jadi gue nebeng payung sampe gerbang."
"Oh ...."
Akhirnya semua orang mengangguk paham, kemudian teralihkan oleh pertanyaan acak Risma. "Lumpianya jual di mana, sih?"
Ketegangan pun mereda. Delia dan Priska sibuk menunjukkan lokasi toko lumpia di Google Map pada Risma dan Fara. Kana, Kevin, dan Jhoni kembali larut merampungkan video. Monita kembali ke layar laptop.
Notepad masih terbuka. Saat memeriksa sampai di mana obrolan mereka tadi, Monita menyadari balasan dari Aceng semakin bertambah panjang.
besok selesai olahraga?
sekalian kita beli minuman yoghurt lagi buat nambah koleksi
Monita berdecak kecil dan memikirkan omelan apa yang harus dia berikan nanti pada ibunya. Namun, dia juga tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lebar dan mengangguk setuju. Di sebelahnya, Aceng juga tidak berusaha menyembunyikan simpul tipis yang terukir di wajahnya.
"Lah, kalian kenapa senyum-senyum?"
Teguran Risma menyadarkan Monita. Dia mengerjap dan spontan menjawab, "Ini ada video lucu," sembari dengan cepat membuka kembali halaman musik di browser, menyembunyikan pesan-pesan di Notepad.
Tentu saja alasan itu terdengar janggal di telinga lainnya dan menghasilkan protes keras.
"Jadi dari tadi kalian sibuk nonton video?!"
🕶️