Tidak perlu waktu lama, Monita bisa merasakan sebagian besar pengunjung kantin memandang curiga ke arahnya. Acara musik itu masih berlanjut, tetapi Monita tidak lagi menyimak penuh karena terganggu bisik-bisik halus dari meja di dekat mereka.
"Jangan-jangan udah jadian."
"Kenapa nggak go public?"
"Mungkin biar fans-nya nggak patah hati."
"Kalau mau backstreet, ngapain nge-spill di YouTube? Malah bikin penggemarnya makin patah hati, tau!"
Kana segera memberi kode pada Delia untuk tidak lanjut menonton. Delia menurut saja karena pembawa acara sudah beralih ke penampilan bintang tamu kedua. Meski begitu, dia tetap berkomentar santai. "Actually, gue juga penasaran," katanya sembari menyimpan ponsel dan melirik penuh selidik ke arah Monita tanpa sembunyi-sembunyi.
Monita membalas tatapan itu dengan waspada.
"I mean, lagu yang tadi, kan, sama dengan yang di ultah lo, makes sense dong kalau banyak yang berasumsi: jangan-jangan first love-nya Dirga beneran lo."
Monita belum mampu memberikan tanggapan yang tepat saat Priska mengangguk setuju dan menambahkan, "Kita bukannya mau ngepoin urusan pribadi lo. Tapi, serius, sejak ultah lo, kalian berdua tuh kelihatan mencurigakan banget. Kayak ada yang lagi disembunyiin."
Mendengar itu, kedua mata Delia sedikit melebar, seperti baru saja menemukan siasat baru. Monita yakin, kali ini akan sulit baginya untuk menghindar.
"Dan kalau sebenarnya lo punya kabar baik, apa salahnya, sih, sharing ke kita? Bukan cuma gue, Priska sama Kana juga pasti ikut senang. Kita bisa ngerayain bareng-bareng."
Meski berhasil menjaga raut wajah untuk tetap tenang, isi kepala Monita benar-benar berkecamuk. Dia mencoba menimbang berbagai opsi untuk menghadapi situasi di hadapannya. Jika ingin menghindar, alasan apa lagi yang bisa digunakan? Jam istirahat masih terlalu lenggang untuk kembali ke kelas. Marah-marah ke Delia karena terlalu ikut campur malah akan membuat teman-temannya semakin curiga. Kalau sebenarnya lo punya kabar baik, apa salahnya, sih, sharing ke kita? Monita benar-benar terpojokkan.
Pada akhirnya Monita hanya mampu menjawab, "Gue nggak tau."
Delia dan Priska mengernyit tak paham.
"Gue nggak tau siapa cinta pertama yang Dirga maksud. Gue juga nggak pernah jadian sama dia," lanjut Monita. Setidaknya pengakuannya ini bukan rekayasa. Dia benar-benar tidak punya petunjuk.
"Berarti dia nggak pernah nembak lo langsung, gitu?" Priska menduga duga.
Monita menggeleng lemah.
"Mungkin belum." Delia kembali dengan asumsinya. "Okay, gue udah pernah janji nggak bakal nyinggung-nyinggung soal kado spesial itu, tapi, berhubung kita lagi ngebahas hubungan antara lo sama Dirga, gue jadi teringat. Kalau gue nggak salah tangkap, ya, Dirga ngundang lo ke suatu tempat kan? So, bisa aja di situ Dirga bakal ngungkapin perasaannya."
Sebelumnya Monita sempat mengharapkan hal yang serupa seperti yang baru saja Delia utarakan. Namun, kali ini teori itu terdengar terlalu mengada-ada. Seperti harapan palsu yang dibuat untuk menghibur diri sendiri. Terlalu ironi, sampai-sampai Monita ingin tertawa sendiri.
"Gue nggak mau terlalu percaya diri. Bisa jadi yang dimaksud Dirga itu orang lain." Monita berusaha menghentikan Delia, yang entah sengaja atau tidak, menggulir topik dari "Cinta Pertama" ke "Kado Ulang Tahun".
Priska memanyunkan bibirnya, "Jangan pesimis gitu, dong, Mon. Kalau bukan lo, kenapa lagunya sama? Lo juga, kan, yang ngaku kalau kado dari Dirga itu spesial? Nggak mungkin dong, Dirga nge-PHP-in lo."
Semakin lama, kesabaran Monita semakin tidak bisa dibendung. Jika dia masih berdiam di sini, selanjutnya dia hanya akan mempermalukan diri sendiri.
"Kita lihat nanti aja, deh. Gue lagi males mikir. Gue balik ke kelas duluan, ya." Tanpa menunggu lama, Monita segera pergi meninggalkan kantin. Dia melewati beberapa meja yang masih menonton acara musik itu. Beberapa juga tanpa segan menunjuk ke arahnya.
Monita segera mempercepat langkahnya. Dia tidak menyadari seseorang mengikutinya dari belakang.
"Mon, tungguin."
Ternyata Kana sejak tadi berusaha mengimbangi langkahnya. Monita menunggunya di koridor yang menghubungkan lapangan dan kantin.
"Lo nggak papa? Sorry ya Delia sama Priska kadang-kadang keponya kelewatan."
Monita mengangguk kecil sambil berpikir, seharusnya Kana tidak perlu minta maaf atas nama orang lain. Dia tidak perlu terlalu khawatir dengan suasana hatinya. Maka, dia berusaha menunjukkan wajah normal.
Sayangnya usaha itu tidak berhasil. Kana masih menatapnya cemas.
"Mon, gue masih anggap gue sahabat, kan?"
Monita menyipit tidak mengerti. "Ya masih, dong."
"Berarti, kalau lo ada masalah, jangan disimpan sendiri, ya. Bagi-bagi ke gue juga. Gue pasti bakal bantu."
Tawaran Kana sedikit menggerakkan Monita. Mungkin ini kesempatannya untuk mengakhiri sandiwara. Dia memejamkan mata sejenak dan menghela napas panjang, meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Tadi pagi dia sudah mengaku pada Kevin, mengaku sekali lagi mungkin tidak terlalu sulit. Saat dia membuka matanya, sisa keberanian yang tertinggal pada dirinya seolah menemukan kekuatan.
"Sebenarnya ...." Kebenaran hendak mengalir di ujung lidah Monita. Ini kesempatan terakhirnya untuk memilih, tetap memainkan peran menyedihkan atau menyelesaikan permainan.
Di sebelahnya, Kana masih menunggu tanpa berniat untuk mendesak.
"Gue bohong soal kado yang dikasih Dirga." Akhirnya kalimat itu meluncur dengan lugas. Selanjutnya, Monita menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi secara singkat, tanpa melibatkan Aceng dan investigasi kecil-kecilan mereka. Dia sudah siap mental jika Kana menghujaninya dengan tatapan kasihan. Namun, sepertinya kenyataan akan lebih parah dari itu. Kana tidak memberi reaksi apa pun selain tertegun lama.
"Gue curang banget, ya?" tanya Monita hampir kepada diri sendiri.
"No no no ...." Kana buru-buru membantah. "Lo cuma lagi kebingungan, ditambah Delia-Priska sering desak lo. Kalau gue di posisi lo, gue juga pasti susah mikir dengan jernih."
Monita tidak memberi respons apa-apa. Meski begitu, dadanya sedikit terasa lega. Udara yang dihirup tidak lagi menyesakkan. Entah karena mendengar kata-kata penghibur dari Kana, atau mungkin karena dia berhasil mengakui kesalahannya. Hari ini sudah dua orang, dan reaksi keduanya tidak semenakutkan yang dia bayangkan. Semestinya Dirga juga begitu. Selagi Monita sendiri yang menyampaikan kebenarannya, Dirga mungkin akan lebih mudah menerima dan memaafkannya. Jika tidak pun, Monita merasa berhak mendapatkannya. Paling tidak, dia tidak perlu berpura-pura lagi.
Di tengah upayanya meyakinkan diri, Kana kembali bersuara, "Tapi, perasaan lo sendiri gimana?"
Monita memberinya tatapan tidak mengerti.
"Lo berharap, nggak, jadi cinta pertamanya Dirga?"
Pertanyaan itu membuat Monita terdiam cukup lama. Jangankan cinta pertama, untuk menjadi cinta kesekian Dirga pun pasti banyak yang akan mengantri. Munafik jika Monita menggelengkan kepalanya. Namun, mengangguk pun rasanya bukan jawaban yang tepat.
"Entah. Gue juga nggak yakin." Hanya itu yang bisa dia berikan.
"Ya udah," Kana menepuk-nepuk bahu Monita, "lo tenang aja. Sekarang lo nggak sendirian. Gue bakal temani lo mikirin jalan keluarnya."
Monita tersenyum lega. "Thanks, Na. Lo baik banget. Sebenarnya gue udah mutusin untuk ngaku ke Dirga soal kado itu. Tapi, buat sekarang, gue kayaknya butuh sendirian dulu. Nggak papa, kan?"
Untungnya Kana memahami suasana hatinya saat ini, dia mengangguk paham. Tanpa menunggu lama, Monita kembali melangkah menuju kelas.
Di sepanjang koridor, beberapa orang yang dia lalui melirik penuh spekulasi. Namun Monita tidak terlalu peduli. Keputusannya sudah bulat. Semua sandiwara dan teka-teki kado harus segera berakhir. Dia harus menyelesaikannya sendiri. Mengaku ke Dirga, meminta kejelasan, dan ... semua akan kembali seperti semula. Entah apa isi kado itu, entah itu mimpi indah atau mimpi buruk, entah dia akan mendapatkannya kembali atau malah akan menjadi misteri tanpa akhir, Monita tidak lagi peduli. Dia ingin kehidupannya kembali berjalan normal.
Namun, 'normal' seperti apa yang akan dia dapatkan nanti? Apakah seperti sebelum huru-hara pesta ulang tahun? Saat dia masih berusaha mendapatkan perhatian Dirga. Saat dia dan Delia masih saling berlomba menjadi yang terbaik. Saat dia dan Aceng masih menjadi teman sekelas yang jarang berinteraksi?
Semua itu memang terkesan normal, tetapi sulit untuk dibayangkan. Monita tidak yakin apakah dia masih bisa berhadapan dengan Dirga tanpa rasa bersalah. Kepercayaan dirinya juga semakin menciut jika harus bersaing dengan Delia. Dan yang paling mengkhawatirkan, dia tidak rela harus berpura-pura menjadi orang asing di hadapan Aceng.
Selagi memikirkan itu, tanpa terasa Monita sudah semakin dekat dengan kelasnya. Jam istirahat sudah hampir berakhir. Koridor yang dia lewati agak sibuk karena banyak Anak Raja yang bergegas kembali ke kelas. Namun sebaliknya, di ujung koridor Dirga tampak menjauh dari kelasnya dan berjalan ke arah Monita.
Monita memang berencana mengaku, tetapi tidak sekilat ini. Dia ingin mengambil langkah seribu masuk ke kelas, tetapi kakinya bergerak lebih lama daripada pikirannya. Dia tidak bisa lagi menghindar karena kini mereka berdua sudah berpapasan.
"Moni, kebetulan banget. Ada yang mau gue bicarain."
"Soal?" Monita mewanti-wanti dalam hati. Segenting apa hal yang ingin Dirga sampaikan sampai-sampai harus dibahas di waktu yang mepet dan di tengah-tengah koridor sekolah seperti ini. Dia melirik sekelilingnya, beberapa orang yang juga kebetulan lewat terlihat memelankan langkah mereka.
"Soal kado."
Seketika Monita tercekat. Hampir saja dia ingin menyuruh Dirga mengulang sekali lagi untuk memastikan dia tidak salah dengar.
"Lo udah tau?" tanyanya ragu-ragu. Dia juga tidak berani bertanya siapa informannya.
Dirga hanya mengangguk tanpa penjelasan lebih lanjut. Sudah jelas. Satu-satunya orang yang perlu memberi penjelasan di sini adalah Monita. Meski situasinya tidak sesuai harapan, dia tidak bisa mundur lagi.
Monita pun mengajak Dirga ke kios fotokopi agar suasananya lebih tenang. Jam istirahat hampir berakhir, dan hari Sabtu bukan hari yang sibuk, jadi kios fotokopi saat mereka tiba sama sekali sepi pengunjung. Langkah Monita berhenti sebelum memasuki area kios. Di depannya, Dirga masih tersenyum, tetapi tidak sehangat biasanya. Senyum itu lebih terkesan seperti sebuah protokol yang mutlak harus dia lakukan. Seperti gerakan hormat pada bendera merah putih setiap kali upacara bendera. Monita semakin didera rasa menyesal.
"Dir, gue minta maaf karena nggak jujur soal kado itu. Sebenarnya kadonya hilang, dan gue belum tau isinya apa," ucapnya pelan sambil menunduk dalam. "Waktu pertama lo tanya tentang kado itu, gue bohong karena gue terlalu mikirin harga diri gue di depan Delia. Gue kira kado itu masih bisa dicari, tapi ternyata sampai sekarang nggak ketemu,"
"Oke. Nggak papa. Paling nggak sekarang gue tau situasi yang sebenarnya," balas Dirga tenang. Meski begitu, suaranya terdengar lebih dingin. Menyadari itu, bukannya merasa lega, Monita malah semakin merasa bersalah. Jadi, dia hanya bisa kembali meminta maaf.
"Gue benar-benar minta maaf."
Dirga tidak lagi bersuara. Karena Monita masih menunduk, dia tidak dapat melihat bagaimana ekspresi Dirga sekarang. Mungkin muak, mungkin jenuh, mungkin kasihan, mungkin marah, mungkin tidak peduli. Yang berputar-putar di kepala Monita hanyalah hal-hal negatif yang semakin membuatnya berkecil hati. Tidak bisa menahan rasa malu, Monita memutuskan angkat kaki. Dia sudah mengakui kesalahannya. Sandiwaranya sudah berakhir. Jika Dirga enggan berteman dengannya lagi, Monita memakluminya. Itu risiko yang harus dia terima.
Ketika Monita berbalik dan hendak kembali ke kelas dengan langkah secepat mungkin, Dirga segera mencegah. Katanya, "Moni, lo nggak mau tau isi kado itu?"
Tubuh Monita mendadak kaku. Pertanyaan itu hanya memiliki satu jawaban pasti. YA! Akan tetapi, jika ingin bertanya langsung, otomatis Monita harus memasang muka tembok.
Monita kembali membalikkan badannya. Kali ini dia memberanikan diri menatap wajah Dirga. Tidak ada lagi senyum protokol di sana. Meski masih melengkung ke atas, bibir Dirga mengatup erat. Sinar matanya terlihat lebih tajam. Keningnya juga sedikit berkerut. Monita tidak pernah melihat Dirga marah. Dia juga tidak yakin itu adalah wajah gusar Dirga. Namun dia teringat ketika malam terakhir Dirga di ajang pencarian bakat, saat detik-detik pembawa acara hendak menyebutkan nama kontestan yang akan tereliminasi. Ekspresi serupa juga tergambar dari layar televisi yang ditontonnya. Saat itu Monita menganggap Dirga lagi berusaha memberanikan diri sendiri menghadapi kemungkinan terburuk. Namun, sekarang, dia tidak yakin apakah anggapan itu masih berlaku.
Agak lama Monita berusaha mencari jawaban yang tepat, hingga akhirnya dia memberanikan diri untuk balik bertanya, "Sebelumnya, gue mau pastikan satu hal. Kado itu sebenarnya dari lo atau dari Aceng?"
Dirga sempat terperangah. Monita berharap Dirga bereaksi seperti itu karena pertanyaannya tepat sasaran, bukan karena terlalu di luar konteks. Dan sepertinya harapannya terkabul, karena selanjutnya Dirga akhirnya bisa memberikan senyuman tulus, meski hanya tipis-tipis.
"Gue harap lo nggak keberatan kalau kado itu sebenarnya dari Aceng."
Meski sudah memperkirakannya, mendengar langsung dari Dirga tetap saja membuat jantung Monita berdebar tak keruan. Dia mengangguk sekali dan berkata, "Kalau gitu, dia yang berhak kasih tau isi kado itu."
Monita mendapati Dirga semakin tersentak. Dia menatap Monita bimbang, seolah sedang memeriksa apakah yang didengarnya nyata, seolah sedang menelisik apa Monita yakin dengan apa yang baru saja dia ucapkan, seolah Dirga ingin memastikan sesuatu, tetapi enggan menyampaikannya. Seketika Monita menemukan segalanya menjadi sangat jelas. Dia tersenyum kecil penuh ironi.
"Harusnya lo nggak perlu maksain diri datang ke ultah gue," ucapnya.
Sekarang giliran Dirga yang memberi tatapan menyesal.
"Kalau lo mau nyanyiin lagu buat seseorang, jangan di pesta orang lain, apalagi di pesta orang yang jelas-jelas lagi berharap bisa dekat sama lo."
"Moni, sorry. Gue pikir setelah lo terima kado itu, lo bakal ngerti."
"Berarti kita impas."
Mendengar itu, senyum Dirga semakin mengembang. Dia mengangguk setelah menghela napas panjang. Monita ikut tersenyum lega. Tak berselang lama, bel berbunyi, menandakan istirahat telah berakhir. Mereka berjalan ke kelas berdua dengan langkah ringan. Monita bahkan tidak menyangka masih bisa tersenyum setelah ditolak cowok idaman satu sekolah. Tanpa sadar dia terkekeh kecil menertawakan kekonyolan yang dia lakukan selama hampir dua minggu ini. Jika kado itu tidak hilang, seharusnya dia tidak perlu melewati banyak kerumitan. Dia juga tidak perlu berbohong pada Dirga. Semua bisa selesai dengan saling jujur. Namun, apakah akan lebih baik? Jika dia mengetahui ternyata perasaannya bertepuk sebelah tangan di hari ulang tahunnya, apa mungkin dia masih bisa tersenyum lebar seperti ini? Jika pada malam ulang tahunnya dia menemui kado itu ternyata dari Aceng, apa mungkin dia masih ingin membukanya seperti saat ini?
"Kenapa ketawa?" Di sebelahnya, Dirga menoleh heran sebelum masuk ke kelasnya.
Monita hanya menggeleng, tetapi sesuatu tiba-tiba terlintas di kepalanya
"Dir," katanya, meski enggan, tetapi tetap diutarakan. "Gimana kalau kita bikin janji? Begitu gue tau isi kado itu, lo ceritain ke gue tentang orang yang selama ini lo suka."
Tanpa disangka, cahaya di wajah Dirga perlahan meredup. Dia menimbang ragu.
"Tapi, kalau lo keberatan, nggak papa kok. Itu cuma ide random aja." Monita berusaha tidak memaksa.
"Sebenarnya hubungan gue sama dia juga lumayan rumit." Dirga menggaruk-garuk tengkuknya sejenak sebelum menawarkan opsi lain, "Gini aja, begitu semua jelas, lo bakal jadi orang pertama yang gue kabarin. Gimana?"
Mendengar itu, tentu saja Monita langsung mengangguk setuju.
🕶️