Artikel yang ditunjukkan Risma bukanlah puisi yang sama dengan yang Monita temukan di mading tempo hari. Kali ini isinya lebih panjang sebait dan ditulis dengan bahasa Indonesia. Uniknya, setiap baris diawali dengan huruf K, dan yang paling mengejutkan, penulis tidak segan-segan mengalamatkan puisi itu. Di akhir tertulis "untuk K.Y." diikuti simbol ikan yang sama dengan yang sebelumnya. Dari bentuk tulisan tangan, jenis kertas, dan warna tintanya, Monita yakin kedua puisi itu ditulis oleh orang yang sama.
"Jelas ini memang buat lo, siapa lagi di Raya Jaya yang punya inisial K.Y. selain Kanaria Yasmin? Ikannya juga ciri khas lo banget," kata Priska setelah membandingkan puisi dalam artikel dengan foto puisi di ponsel Monita, yang diambil Jumat lalu.
Monita sesekali melirik Kana. Temannya itu sedari tadi tak henti menghela napas panjang dan memijit-mijit pelipis seperti sedang terserang migrain akut. Semoga bukan karena dia melanggar janji seenaknya. Waktu Monita menunjukkan puisi pertama, Kana meminta masalah itu tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi saat itu mereka belum punya banyak petunjuk. Karena itu, Monita berjanji tidak akan mengungkit bahkan menunjukkan puisi itu pada Delia dan Priska. Namun, karena situasinya sudah besar sendiri, Monita tidak tahan untuk tidak memperlihatkannya.
Risma ikut menimpali, "Gimana, Na? Ada kepikiran nggak siapa kira-kira yang nulis?"
Kana hanya menanggapi dengan mengangkat kedua bahu.
"Mungkin Kak Felix, kali ya?" tebak Priska.
"Yeah, gue juga tadinya mikir gitu. Walaupun agak ... aneh ...," komentar Delia.
"Aneh kenapa?"
"Selama ini Kak Felix terang-terangan deketin Kana. Ngapain coba tiba-tiba sok misterius gitu?"
"Masuk akal." Risma mengangguk setuju. Seketika Delia menaikkan kedua alis dan tiba-tiba saja sorot matanya jadi agak lebih bersahabat dari yang lalu-lalu.
"Udahlah, nggak usah dianggap serius." Kana melambaikan tangan, masih berusaha menampik. Hanya saja, inisial yang ditambahkan si penulis membuatnya kehabisan opsi untuk cari-cari alasan. Monita bahkan bisa melihat jelas keresahan Kana. Biasanya, menyeruput kuah mi instan hangat-hangat adalah bagian yang paling Kana nikmati, tetapi sekarang dia malah mengabaikan cup mi instan di hadapannya.
"Oke deh," Risma beranjak dari kursinya, "kita cuma mau nyampein itu aja. Jadi lo bisa siap-siap kalau-kalau nanti ada orang yang ngelirik kepo." Setelah itu, dia mengajak Fara kembali ke kelas. Sepertinya rumor tentang Monita-Dirga agak membuatnya jera terlibat lebih jauh.
Sebelum melangkah pergi, Fara sempat berucap, "Diambil sisi positifnya aja. Berarti selama ini Kana punya secret admirer. Sweet banget nggak sih ...."
Kana dan lainnya hanya dapat saling lirik, saling lempar tanggung jawab untuk memberi tanggapan yang layak, sampai akhirnya Risma tertawa hambar, "Sorry, dia keseringan baca novel," kemudian menarik Fara menjauh.
Sepeninggalan mereka berdua, Priska lantas memberi usul, "Kayaknya lo harus tanya ke Kak Felix, deh."
Delia dengan cepat menentang, "No, no, no. Bisa-bisa Kana dikira kepedean. Kita harus make sure dulu, benar nggak yang nulis puisi itu Kak Felix."
"Caranya?"
Delia sempat mempertimbangkan sesuatu sebelum menyampaikan idenya. "I think ... kita bisa korek informasi dari si penulis artikel. Mungkin aja dia bisa kasih hints."
"Kalau artikel mah palingan kerjaan anak jurnalistik."
Tebakan Priska sama sekali tidak keliru. Sebenarnya artikel sejenis itu bukan hal baru. Hampir tiap bulan anak jurnalistik memposting informasi non-akademis di website untuk menunjukkan ragam sisi menyenangkan Raya Jaya. Namun, kali ini seperti ada yang menjanggal.
Monita segera memeriksa halaman situs web yang menampilkan seluruh artikel, dan akhirnya menyadari ada pola yang melenceng. Sebelum-sebelumnya, artikel biasanya diposting pada minggu terakhir setiap bulan. Namun, artikel bulan ini baru saja diposting pagi tadi, yang berarti seminggu lebih awal dari jadwal normal.
Seketika Monita teringat akan pendapat Aceng saat lari pemanasan kemarin, ketika dia khawatir gosip tentangnya akan berputar lama di antara Anak Raja.
Kalau ada berita heboh lain yang muncul beberapa hari ke depan, mungkin bisa tenggelam.
Artikel ini terbit di saat yang tepat, dan jika perhatian Anak Raja berhasil teralihkan, jelas sekali Monita berada di posisi menguntungkan. Apakah ini hanya kebetulan? Atau jangan-jangan memang disengaja? Jika memang disengaja, siapa dalangnya? Apa mungkin Aceng punya andil?
Monita kembali memperhatikan puisi anonim itu, baik yang pertama maupun kedua. Dua-duanya sangat berbeda dengan tulisan tangan Aceng yang pernah dilihatnya di formulir pendaftaran kejuaraan pencak silat. Aceng juga tidak mungkin setega itu menulis artikel hanya untuk keuntungan pribadi, tepatnya keuntungan teman sendiri.
"Berarti kita tanya Ikmal aja. Kayaknya gue tadi lihat dia, deh." Delia mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantin.
"Duh, kayaknya nggak perlu sampe segitunya deh," protes Kana.
Priska mencebik gemas. "Lo memangnya nggak penasaran sedikit pun?"
"Bukannya gue nggak penasaran, tapi gue cuma nggak mau besar-besarin hal yang sebenarnya bisa diabaikan. Lagian bisa aja semua cuma kebetulan."
"Kana, nggak usah denial, deh. Semuanya terlalu banyak kebetulan." Delia ikut mencoba menyampaikan pendapat. "Maksud gue, kalau memang benar puisi itu ditulis buat lo, pertanyaannya: lo yakin dia bakal berhenti gitu aja? Awalnya gambar ikan, sekarang inisial, gimana kalau besok-besok dia berani nulis nama lo lengkap-lengkap? Semua Anak Raja tau identitas lo, sementara si penulis sembunyi di balik anonim. Lo oke-oke aja?"
Kali ini Monita berada di pihak Delia. Namun dia harus menahan diri untuk tidak ikut mengangguk setuju. Bagaimanapun dia harus terlihat netral agar Kana tidak merasa tersudutkan.
"Gue yang ngebayanginnya aja merinding," timpal Priska.
Kana akhirnya mengalah. "Oke. Kali ini gue ikut mau kalian. Tapi, kalau Ikmal nggak mau kasih info, please jangan dipaksa."
Delia mengacungkan kedua jempol dan kembali menyapu pandangan ke sekeliling kantin, tetapi dia tidak menemukan orang yang dicari.
"Kayaknya udah balik, deh," kata Priska.
Monita ikut memeriksa kantin. Jam istirahat memang semakin menipis, sehingga meja-meja sudah banyak yang kosong. Monita hampir menyerah dan percaya dengan tebakan Priska. Namun, matanya menangkap gerombolan siswi kelas X yang masih berusaha menghabiskan minuman masing-masing, tiga meja di depan mereka. Dan Mauren ada di antara gerombolan itu.
Mungkin hanya perasaannya atau mungkin memang kebetulan, Monita yakin, begitu mereka bersitatap, Mauren segera mengalihkan wajah dan tiba-tiba sibuk dengan ponselnya.
Perasaan curiga yang semakin berkembang membuat Monita memikirkan sebuah taktik. "Tapi, kemungkinan besar Ikmal nggak bakal mau bocorin siapa penulisnya," katanya.
Delia menaikkan satu alis, menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Gue pernah tanya ke Jhoni pas nemuin puisi pertama. Ya memang sih, dia bilang, yang ngumpulin materi untuk dipajang di mading itu tanggung jawab Ikmal sama Mauren," Monita sengaja menekankan nama terakhir, "tapi, anak jurnalistik punya semacam kode etik buat nggak bocorin identitas anonim. Lagian, Ikmal itu kan punya jabatan di Jurnalistik, ditambah dia wakil ketua OSIS, pasti nggak gampang buat dihasut."
Tampaknya Delia mulai terpancing. "Makes sense. Ikmal memang orangnya rada strict," katanya sambil kembali melipat kedua tangan dan bersandar di kursi, seakan sedang memikirkan rencana cadangan.
"Kalau gitu, kita tanya Mauren aja. Dia kan sering mampir ke kelas kita," usul Priska, tepat seperti yang Monita harapkan.
Namun, Delia menggeleng tidak setuju. "I don't think it's a good idea. Kita bakalan sulit negosiasi sama Mauren. Lo tau sendiri, kan, dia selalu nempel sama pacarnya."
"Kalau gitu, tinggal ajak dia ngobrol pas Ikmal nggak ada."
"Kayaknya nggak perlu libatin Mauren, deh, Girls. Nanti kesannya kayak lagi nge-bully junior, tau."
Delia membantah, "Kita nggak bakal maksa, kok."
Monita merasa harus berkontribusi supaya Kana tidak kembali protes. "Di kafe aja, gimana? Suasananya lebih santai. Rabu besok. Anak prom night biasanya ada rapat, kan?"
"Minggu ini diundur jadi Kamis karena ada rapat dadakan OSIS," sanggah Kana.
Awalnya Monita, Delia, dan Priska mengangguk paham mendengar penjelasan itu. Namun, kemudian mereka bertiga serempak menoleh heran.
"Lo kok tau jadwal rapat prom night?" tanya Priska.
"Lo jadi join panitia?" tambah Delia.
Monita ikut memberi tatapan penuh tanya. Seingatnya, terakhir kali saat Jhoni membujuk Kana di kelas Bahasa Inggris minggu lalu, dia masih menolak.
Kana meringis canggung. "Iya nih, gue udah okein ke Jhoni hari Minggu kemarin. Habisnya, kalo dipikir-pikir nggak ada salahnya dicoba. Tapi yah ... gue lihat dulu deh gimana ke depannya."
Seharusnya ini menjadi kabar gembira. Monita sejak dulu menyarankan Kana menerima tawaran itu. Sayangnya situasi runyam yang menerpa membuat Kana tampak tidak antusias. Monita pun segera menepuk pundaknya dan mencoba menyemangati, "Gue yakin ke depannya pasti bakalan seru. Enjoy aja, Na."
"Yep! Kita harus rayain bareng-bareng. Tapi, sekarang mesti beresin masalah puisi dulu. Fix Rabu ini di kafe. Selagi Ikmal rapat OSIS. Ntar gue yang undang Mauren."
Melihat senyum percaya diri yang dilontarkan Delia, Monita menyadari satu fakta mengejutkan: berada di sisi yang sama dengan Delia ternyata tidak seburuk yang dia duga, bahkan malah terasa sangat menjanjikan.
🕶️