Ramainya kafe depan sekolah hari ini sama seperti hari Rabu biasanya. Suhu ruang juga terasa wajar. Bahkan di luar tidak mendung maupun panas. Namun, sejak tadi Monita tidak bisa bersandar tenang di kursinya.
Semenjak tragedi hilangnya kado Dirga, kafe ini tiba-tiba terasa seperti lokasi rawan bahaya. Jika Rabu lalu dia menjadi target interogasi Delia dan Priska, Rabu ini dia malah bersekutu dengan keduanya. Rencana untuk mengorek informasi dari Mauren benar-benar akan dilaksanakan. Semalam mereka sudah berdiskusi lewat obrolan grup, merancang strategi agar Mauren terhasut membocorkan siapa penulis puisi anonim di mading.
Pokoknya nggak ada acara ngancam-ngancam. Kana sempat mewanti-wanti.
Mauren udah pasti mau datang, kan Del? Priska malah mengkhawatirkan hal lain.
Monita sendiri berharap bisa mendapatkan sedikit gambaran tentang Mauren dan Dirga. Apa yang mereka obrolkan Senin lalu di dekat ruang guru. Hanya saja dia khawatir momen ini bukan kesempatan yang tepat. Mengalihkan topik dari puisi ke Dirga pasti akan terdengar jomplang.
"Ikmal udah lama pacaran sama Mauren?" Akhirnya Monita mencoba basa-basi sejenak, sesaat setelah Kana membawakan es teh lemon titipannya. Mereka datang ke kafe lumayan buru-buru untuk mendapat tempat dekat dinding kaca. Kata Priska, biar bisa mengamati gerbang sekolah, jaga-jaga jika Mauren berubah pikiran atau kabur.
"Kayaknya sekitar akhir tahun kemarin," Priska tampak mencoba mengingat-ingat, "tapi, dengar-dengar mereka satu SMP. Kenapa, Mon?"
"Nggak kenapa-napa. Gue kira mereka udah lama pacaran, soalnya gue lihat Mauren nggak terlalu canggung ngumpul sama teman-temannya Ikmal. Tapi, pas sama gue, kesannya sungkan banget gitu. Kalian ngerasain juga, nggak sih?"
"Mungkin karena dia belum kenal banget sama lo, Momon. Nggak mungkin juga kan langsung sok akrab," komentar Kana.
Delia beralih dari ponselnya dan ikut menambahkan, "Pas awal-awal Mauren orangnya memang rada awkward. Tapi lama-lama santai-santai aja, kok. Iya kan, Pris?"
Priska mengangguk sambil mengunyah donat isi jeli dan sesekali melirik ke arah gerbang sekolah.
"Balas chat gue juga nggak formal-formal banget, tapi tetap pakai manner, ya," lanjut Delia.
Bisa jadi Monita hanya terlalu sensitif, sampai-sampai curiga yang berlebihan. Penjelasan teman-temannya lebih bisa diterima akal sehat. Dengan Delia yang cuma teman sekelas pacarnya saja Mauren tidak canggung, apalagi dengan Dirga yang jadi teman semeja Ikmal. Bisa jadi mereka hanya kebetulan bertemu di depan ruang guru, kemudian bertegur sapa sebentar. Monita jadi sedikit menyesal. Sekarang kesannya dia baru saja menjelek-jelekan Mauren. Untuk mengenyahkan rasa bersalah, Monita segera membelokkan topik.
"Ngomong-ngomong soal chat, lo udah pastiin lagi ke Mauren, Del?"
Delia kembali memeriksa ponselnya. "Tadi di kantin pas lunch, sih, dia bilang bakal usahain datang. Kalau nggak bisa, bakal dikabarin sebelum bel pulang. Barusan gue udah chat, tapi belum dibalas."
"Apa kita datangin ke kelasnya aja?"
Kana menggeleng cepat, menolak usul Priska. "Kesannya maksa."
"Coba telepon."
Delia mengikuti saran Monita. Namun kelihatannya tetap tidak mendapat respon.
Priska kembali mengamati jalanan di luar kafe, berharap bisa menemukan jejak Mauren. Kemudian tiba-tiba dia berucap kecil, "Lagi ngurusin adiknya, kali ya?"
"Adiknya?" Monita dan Kana serempak menoleh heran.
"Dengar-dengar adiknya sakit parah. Terus keluarganya rada complicated git—astaga!"
Priska mendadak berhenti dan membungkam mulutnya sendiri begitu mendapati Delia dengan sengaja menyenggol bahunya dan memberi tatapan penuh peringatan. Ada yang mereka sembunyikan. Monita bisa merasakannya dengan jelas.
"Kalian cek background Mauren?" Ternyata Kana lebih dahulu memahami situasi.
"No. Maksud gue, kita memang sempat cari info tentang Mauren, tapi nggak se-kriminal yang lo bayangin. Kita cuma mau tau aja gimana approachment yang tepat buat bujukin Mauren."
"Terus?"
"Ya nggak ada terusannya. Info itu cuma tiba-tiba ketemu. Lo kan juga udah setuju, Na." Delia memandang Priska geram karena sudah keceplosan. Priska hanya bisa mengucapkan "sorry" tanpa bersuara.
"Gue nggak ada bilang lo harus ngorek-ngorek info tentang keluarganya."
Monita memeriksa sekeliling. Ada segelintir Anak Raja yang melirik penasaran. "Tenang dulu, Na. Kita omongin baik-baik, dilihatin yang lain, nih," bujuknya.
Kana tampak mencoba mengambil napas dalam. Meski begitu, raut kecewa masih terpampang jelas. Monita sendiri tidak menyangka dia akan semarah itu. Dari sekian banyak hal nekat yang Delia pernah lakukan, baru kali ini Kana menentang keras.
"Jangan bilang lo mau ngancam Mauren dengan info itu." Kana masih lanjut mencoba membaca niat Delia. Namun kali ini suaranya sudah lebih terkendali.
Delia memberi tatapan tak percaya. "Lo kok jadi negative thinking, sih? Tujuan gue di sini buat bantuin lo."
"Tapi dari awal gue kan udah ingatin, nggak perlu ganggu Mauren. Dia nggak tau apa-apa. Gue rasa kita nggak perlu sejauh ini cuma demi puisi nggak penting itu."
"Oke. Oke. Sekarang gue nggak bakal ikut campur lagi. I'm out." Delia segera beranjak dan meninggalkan meja mereka dengan kesal. Priska pun segera membereskan tasnya dan menyusul. Sementara itu, Monita yang masih mencerna apa yang sedang terjadi tidak mampu berkata apa-apa. Dia dan Kana hanya duduk dalam diam dengan pikiran masing-masing selama beberapa menit. Sejujurnya Monita tidak punya petunjuk. Apakah dia harus memberi nasihat atau melontarkan kata-kata penghibur? Dia belum pernah berada di posisi ini. Biasanya dia yang paling sering termakan emosi jika berhadapan dengan Delia. Biasanya Kana yang selalu menenangkannya. Sekarang dunia mereka seperti jungkir balik.
Sampai akhirnya Monita mendapati Kana menyalakan ponselnya dan membuka aplikasi ojek online.
"Nggak mau bareng aja, Na? Nyokap gue bentar lagi jemput."
Kana menolak, "Gue mau ke tempat keluarga gue. Lumayan jauh."
Mendengar itu Monita cuma bisa mengangguk-angguk kecil. Tadinya dia ingin berpesan untuk memaklumi tindakan Delia. Namun, baru saja selesai memesan ojek online, Kana sudah buru-buru bangkit dari kursinya.
"Gue duluan, ya, Mon. Sorry, mood gue lagi jelek banget. Lo hati-hati, ya." Tanpa menunggu respons Monita, Kana langsung melangkah ke luar kafe. Monita hanya bisa mengikuti pergerakannya sampai dia berjalan melewati pintu kafe dan berbelok berlawanan dengan gerbang sekolah.
Ternyata gagal. Rencana mendekati Mauren hari ini harus dipendam dalam-dalam. Monita termangu di kursinya, menghadapi minuman teman-temannya yang masih penuh.
Mungkin hari ini dia tidak beruntung. Atau mungkin memang niat awal mereka yang kurang baik, jadinya tidak berjalan lancar. Atau bisa jadi Mauren memang tidak berniat menjumpai mereka. Atau seperti dugaan Priska, mungkin ada kepentingan mendadak.
Memikirkan itu, Monita jadi pusing sendiri. Dia segera mengabarkan ibunya bahwa urusannya hari ini sudah selesai.
Sembari menunggu, Monita tetap diam di dalam kafe sambil berselancar di media sosial, menemukan beberapa postingan dari teman-temannya, keluarga dekat, keluarga jauh, hingga 3 postingan terbaru dari Dirga. Ada video singkat latihan band yang diunggah kemarin malam. Dari caption, Monita menyimpulkan mereka sedang latihan persiapan J-Fest. Selain video, Dirga juga memosting ulang dua postingan yang menandainya. Yang pertama acara live streaming dari majalah musik. Dan terakhir acara amal yayasan kanker.
Kedua acara itu diadakan akhir pekan ini, bukan akhir bulan. Jadi, sudah pasti tidak berkaitan dengan kado. Monita memilih mengabaikannya.
Monita kembali menggulir layar, tak lama kemudian dia melihat postingan dari Ikmal, foto bersama anggota OSIS. Itu mengingatkannya pada info yang tidak sengaja dibocorkan Priska barusan. Mungkin benar selama ini penilaiannya pada Mauren terlalu mengedepankan sentimen pribadi. Dia pun mencari akun media sosial Mauren, sayangnya tergembok. Namun, dari profil Ikmal, Monita menemukan sebuah foto kue ulang tahun yang tampaknya diambil bersama Mauren dan keluarganya dua bulan lalu. Dia menandai beberapa akun, termasuk adiknya Mauren.
Di akun itu, tidak ada foto terbaru hampir setahun terakhir. Tidak perlu menyelam lebih dalam, Monita langsung menemukan foto yang diunggah tahun lalu, di mana adiknya Mauren menyaksikan langsung babak 20 besar ajang pencarian bakat yang diikuti Dirga dengan caption ajakan untuk mendukung Dirga. Selain itu, ada beberapa akun yang ditandai di postingan itu; akun Dirga dan beberapa akun fans official dari beberapa kota.
"Kak Moni?"
Monita terkesiap dan segera mengetuk tombol Home pada ponsel begitu mendapati Mauren berdiri di hadapannya. Dia sedikit panik, selayaknya penguntit yang sedang tertangkap basah.
"Mauren?" Monita berusaha memperbaiki gaya duduknya agar tidak terlalu tegak. "Mau ketemu Delia, ya?" lanjutnya.
Mauren mengangguk. "Mauren tadi harus beresin lab, jadi lama. Kak Delia udah balik?"
"Oh. Dia tiba-tiba ada urusan mendadak. Baru aja. Lupa ngabarin ke kamu mungkin."
Mauren mengangguk maklum, tetapi tidak kunjung pamit. Malahan kini kepalanya semakin menunduk.
"Nggak mau duduk dulu?" Monita akhirnya menawarkan.
Tak disangka Mauren menurut. Dia duduk di depan Monita. Kepalanya masih belum tegak sempurna, fokus memandangi permukaan meja yang penuh dengan pesanan yang ditinggalkan begitu saja.
"Sorry, ya, berantakan. Mau pesan minuman? Gue traktir, deh."
Mauren menggeleng cepat. Padahal Monita baru saja berbaik hati menawarkan traktiran, tetapi reaksi Mauren seolah sedang ditawarkan makanan terakhir menjelang eksekusi mati. Tangannya di atas meja saling menggenggam kencang. Tubuhnya terlalu kaku untuk berada di kafe dengan nuansa serba pastel.
"Lo nggak kenapa-napa, kan?" tanya Monita waswas. Jangan sampai pengunjung lain mengira dia sedang menghakimi adik kelas.
"Saya mau minta maaf, Kak," ucap Mauren lemah, tetapi tetap terdengar teguh.
Monita tertegun sesaat. "Minta maaf buat apa? Eh, tapi duduknya biasa aja, please. Gue takut dikira lagi nge-bully lo."
Akhirnya Mauren menurut. Dia sudah berani mencuri pandang ke arah Monita—meski hanya sekian detik, dan punggung kini tersandar di kursi.
Setelah menarik napas panjang, Mauren melanjutkan pengakuannya, "Soal rumor kado Kak Moni sama Kak Dirga. Semua itu salah saya."
"Hah?"
"Saya punya adik, kelas 2 SMP, namanya Eca. Dia udah sakit sejak kecil, tapi beberapa bulan belakangan makin parah, sampai harus sering rawat inap. Dia fans Kak Dirga. Waktu itu Kak Dirga belum sekolah di sini, saya juga baru lulus SMP, tapi dia udah ikutin Kak Dirga di medsos. Pas tau Kak Dirga ikut ajang pencarian bakat, dia kelihatan senang banget karena punya kesempatan nonton dan ketemu langsung. Waktu itu saya baru jadi murid baru di sini, dan ada info Kak Dirga bakal pindah ke sini. Saya senang banget ngelihan Eca antusias pas dengar kabar itu.
Tapi, belakangan penyakitnya makin parah. Saya suka rekamin Kak Dirga pas tampil untuk Eca, biar dia semangat lagi. Termasuk acara pembukaan cabang kafe minggu lalu. Rencananya saya mau video call biar Eca bisa nonton langsung. Sayangnya saya kejebak macet, nggak sempat lihat Kak Dirga. Karena saya nggak mau bikin Eca kecewa, jadi saya ceritain kalau Kak Dirga lagi dekat sama cewek yang pernah dinyanyiin pas ultah. Kebetulan waktu itu saya juga video call dengan Eca pas Kak Dirga nyanyi di ultah Kak Moni.
Eca senang banget, dia kelihatannya mau mendukung semua yang Kak Dirga suka. Mungkin sanking senangnya, dia ceritain itu ke salah satu teman sekolahnya yang juga penggemar Dirga. Masalahnya, temannya itu punya kakak anak kelas 3. Mungkin kakaknya baca pesan adiknya, dan dia cerita ke temannya yang lain, jadinya berita miring itu menyebar."
Penjelasan panjang Mauren membuat Monita terhenyak sesaat. Jadi semua memang ada sangkut pautnya dengan Mauren, tapi tidak sekeji yang ada di pikirannya. Tidak ada yang dapat disalahkan di sini, selain orang-orang yang menambahkan bumbu.
Di depannya, Mauren masih belum berani menatapnya lurus. Namun, napasnya tak lagi berantakan. Monita bisa membayangkan betapa leganya Mauren melepaskan semua perasaan bersalah yang dia pendam seminggu terakhir. Apakah dia juga akan merasakan hal yang sama jika mengaku pada Dirga tentang kado itu.
"Lo yang nulis artikel di website sekolah?"
Mauren mengangguk.
"Buat pengalihan?"
Mauren lagi-lagi mengangguk meski meringis malu.
"Untuk masalah gue sama Dirga, lo nggak perlu merasa bersalah. Itu bukan salah lo. Tapi, gue minta lo minta maaf ke Kana. Soalnya karena artikel itu, dia jadi bad mood banget belakangan."
Seketika Mauren mengangkat kepalanya dan mengernyit heran. "Kak Kana? Kenapa sama Kak Kana?"
Reaksi Mauren menimbulkan kecurigaan di kepala Monita. Tampaknya ada yang tidak sinkron. "Lo nggak tau puisi itu buat Kana?"
Mata Mauren melebar tak percaya. "Serius, Kak?"
"Memang masih belum pasti, sih. Tapi di akhir puisi itu kan ada inisial KY. Itu inisial Kana."
Mauren masih tampak terkesima, seolah menemukan fakta mencengangkan yang bisa mengubah orang-orang percaya dengan bumi datar.
"Wait, lo tau siapa yang nulis puisi itu?"
Pertanyaan Monita membuat Mauren gelagapan dan kembali menghindari tatapannya. Jelas sekali jawabannya "ya". Namun, jika benar Felix yang menulis puisi itu, harusnya Mauren tidak seterkejut itu. Cerita antara Felix dan Kana bukan hal baru bagi Anak Raja. Apa mungkin karena dia belum ada di Raya Jaya saat kejadian PDKT itu, Mauren—dan semua anak kelas 1—tidak kecipratan berita?
"Jangan-jangan Kak Felix, ya?" tanya Monita pura-pura menebak.
Mauren meringis sungkan, tidak mengangguk ataupun menggeleng. "Saya nggak bisa kasih tau, Kak. Udah ada peraturannya. Saya nggak mau salah langkah lagi sebarin masalah pribadi orang—walaupun saya yakin Kakak nggak punya niat buruk."
Monita mengangguk maklum. Jika dia memaksa, Kana pasti akan tambah kecewa. Mungkin lebih baik fokus pada tujuan awal mereka: menyelamatkan Kana, bukan sekadar kepo dengan wajah asli si Anonim.
"Gue paham dan nggak akan maksa. Tapi, kalau misalnya penulis itu ngirim puisi lagi pakai inisial atau bahkan nama lengkap—bukan hanya Kana, orang lain juga—please kalian pertimbangkan lagi, ya. Kita nggak tau mereka nyaman atau nggak identitas mereka dipampang gitu aja."
Mauren mengangguk berkali-kali. "Iya. Kakak benar. Saya nggak kepikiran awalnya. Nanti saya diskusikan ke anak Jurnalistik."
"Oke. Kalau gitu udah clear ya. Masalah gue, lupain aja. Gue nggak nyalahin lo atau adik lo. Masalah Kana, lo yang harus beresin ke dia langsung."
Mauren mengangguk. "Makasih banyak, Kak."
"Titip salam juga sama adek lo ya. Semoga dia bisa cepat baikan."
Mauren kembali berterima kasih dan sedikit menceritakan tentang kondisi adiknya yang ternyata mengidap kanker. Monita mendengar dengan perhatian sambil sesekali memperhatikan kondisi luar sekolah. Barangkali Aceng sudah selesai dengan pertemuan Merpati Putih. Banyak sekali yang ingin dia ceritakan padanya. Apalagi seharian ini Aceng kelihatan sibuk sekali. Katanya persiapan menjelang kejuaraan. Monita jadi tidak sempat menceritakan masalah puisi dan rencananya bertemu dengan Mauren hari ini.
Namun, gerbang sekolah tampak sepi. Hanya ada satu-dua murid yang keluar-masuk. Monita kembali menyimak Mauren yang menjelaskan kegiatan jurnalistik, sampai sebuah mobil biru gelap yang parkir di depan kafe mencuri perhatiannya. Pasalnya wanita yang keluar dari mobil itu tampak familier. Monita mencoba mengingat-ingat, hingga wanita itu masuk ke dalam kafe. Begitu melihat anting berwarna oranye yang dikenakan, matanya mengerjap berkali-kali, sampai-sampai Mauren ikut menoleh ke belakang.
"Itu tantenya Dirga, kan?" bisik Monita.
"Mirip, Kak. Mau jemput Kak Dirga, mungkin."
Monita menggeleng. "Seingat gue Dirga udah pulang."
Rasa penasaran mereka segera teralihkan begitu seorang cowok masuk melewati pintu kafe. Dia berseragam Raya Jaya, dan meski hanya melihat dari samping, Monita kenal betul dengan postur dan potongan rambutnya.
"Itu Kak Felix, kan Kak?"
Monita mengangguk, membenarkan tebakan Mauren. Bukan hanya mereka, beberapa pengunjung lain juga ikut menoleh dan berbisik-bisik. Monita penasaran, kira-kira apa yang membuat Felix tampak tidak ragu mendekatkan kepalanya ke menu yang dipegang tantenya Dirga di depan counter. Namun, tidak lama kemudian, saat tantenya Dirga mengarah ke kasir, Monita langsung mendapatkan jawaban. Karena jarak yang tidak terlalu jauh, telinganya bisa menangkap Felix mengucapkan, "Ma, punyaku esnya dikit aja, ya."
🕶️