Monita harus ikhlas hari Senin pertamanya di usia tujuh belas tahun akan menjadi salah satu hari terpanjang dalam hidupnya. Setelah pelajaran Penjas, Kana tidak kembali dari UKS. Kondisinya sepertinya lumayan serius sampai-sampai harus izin pulang. Sudah pasti itu bukan kabar bagus. Tanpa Kana, Monita tidak punya penengah jika-jika Delia merongrongnya dengan berbagai pertanyaan seputar kado Dirga.
Saat jam istirahat pertama, rasa penasaran Delia dan Priska bisa teralihkan karena mereka sibuk menemani Kana menunggu jemputan. Namun, untuk jam istirahat selanjutnya, dia tidak yakin bisa selamat.
Di penghujung pelajaran TIK, pikiran Monita semakin bercabang. Mereka baru saja selesai mengerjakan kuis singkat, kemudian guru mereka memberikan tugas untuk ujian praktik akhir semester.
"Bapak mau kalian liput kegiatan sekolah, boleh ekskul, klub baca di perpus, atau aktivitas apa aja, selama masih di lingkungan sekolah. Hasilnya dipresentasikan semenarik mungkin dalam format video. Satu kelompok ada lima atau enam orang. Kalian sendiri yang tentukan, ya. Nanti Bapak kasih contoh videonya ke Jhoni."
Kelas menjadi riuh rendah. Ada yang bertanya detail lebih lanjut, ada yang berdiskusi dengan teman sebelah, ada yang langsung cari-cari teman kelompok.
"Moni, lo sama Kana mau ikut kelompok kita, nggak?"
Monita mengangkat kepalanya untuk memastikan tawaran yang baru saja didengar memang datang dari meja di depannya. Fara, yang duduk di sebelah Risma, tampak memutar badannya untuk menghadap Monita.
Fara dan Risma, teman semeja yang karakternya bertolak belakang. Fara irit ngomong, sementara Risma ceplas-ceplos. Di antara mereka, jika ada diskusi atau pemungutan suara, biasanya Risma yang bakal jadi juru bicara Fara. Orang-orang tidak terlalu keberatan, soalnya Fara selalu bicara dengan nada pelan. Ditambah, setiap kali memandang lawan bicaranya, dia terlalu sering memperbaiki poni.
Karena situasinya sangat tepat, Monita mengangguk tanpa pikir panjang.
"Oke. Berarti udah pas, kita berenam," kata Risma begitu menerima persetujuan Monita.
"Berenam?" tanya Monita, bersamaan dengan bunyi bel istirahat. Matanya pun mulai aktif melirik-lirik ke arah pintu kelas, waspada akan kedatangan Delia dan Priska. Biasanya mereka akan mampir ke kelasnya beberapa menit setelah bel berbunyi.
"Iya, bareng Jhoni-Aceng juga."
Satu kelompok dengan Jhoni bukan masalah bagi Monita. Namun, beda jika bersama Aceng.
Di kelasnya, tidak banyak yang berani dekat-dekat dengan Aceng karena rumor baca pikiran itu. Apalagi perempuan. Dulu, saat awal-awal rumor itu menyebar, beberapa anak laki-laki suka bercanda dengan meminta Aceng menerawang siapa yang lagi ditaksir si A, atau apa nama akun alter si B. Terkadang ada juga yang menjadikan Aceng sebagai pendeteksi kebohongan. Mulai saat itu, orang-orang hanya berurusan dengan Aceng seperlunya saja. Termasuk Monita.
Saat dia tidak punya rahasia saja Monita masih agak ngeri berada dekat-dekat dengan Aceng. Apalagi sekarang, ketika dia tengah membohongi semua teman-temannya.
"Jhon, Jhon, Moni sama Kana masuk kelompok kita, ya," lapor Risma tanpa menyadari wajah bimbang Monita.
Jhoni yang duduk di baris paling depan, tepat di depan meja Risma dan Fara, mengacungkan satu jempolnya tanpa memalingkan wajah. "Bagus, bagus. Berarti kita punya kameramen pro."
Monita hanya menghela napas pasrah. Dia tidak punya waktu untuk mengganti kelompok. Dari balik jendela yang mengarah ke koridor, tampak di luar sudah ramai. Orang-orang mulai mengarah ke kantin, ada juga yang mengobrol di bangku depan kelas, atau sekadar lewat entah mau ke mana. Buru-buru Monita membereskan buku dan peralatan tulis. Saat berusaha keras memikirkan tempat untuk bersembunyi, terdengar seruan dari arah pintu kelas.
"Momon, ayo ke kantin, kita obrolin yang tadi pagi."
Delia dan Priska sudah tiba di kelasnya. Lebih cepat dari biasanya. Ini kejadian luar biasa. Tidak pernah Monita merasa jadi orang yang paling dicari-cari. Sayangnya Kana tidak ada di sampingnya. Tanpa penengah, obrolan mereka bakal jauh dari kesan damai.
Cari alasan. Cari alasan. Monita menatap sekeliling sebelum diseret paksa.
"Ayo, Mon, ntar keburu panas ntar di luar. Banyak yang mau kita tanya. Pokoknya lo harus jelasin sedetail-detailnya." Priska dengan gesit menghampiri Monita. Suaranya manis, tapi penuh desakan.
Monita berharap otaknya bisa memikirkan ide cemerlang untuk menolak, atau mungkin mengulur waktu.
"Gimana ya .... Gue masih harus .... Gue harus diskusi tugas kelompok!" Sayangnya, saat Monita memeriksa dua meja di depannya, Risma dan Fara sudah tidak ada di bangku mereka. Jhoni juga. Di barisan depan, hanya ada Aceng yang sibuk menekuni kertas-kertas yang tampak seperti formulir.
Spontan Monita mendekat ke meja Aceng.
Aceng yang sedang membereskan kertas-kertasnya menatap Monita dengan sorot bertanya.
Ada masalah? Jika Monita bisa membaca pikiran seperti Aceng, kira-kira itulah yang ditangkapnya.
"Ya elah, diskusinya mah belakangan aja." Priska berusaha menarik-narik lengan Monita. Adegan seret paksa pun dimulai.
Di belakang Priska, Delia mulai memberikan tampang curiga, seakan sedang menduga-duga: memangnya apa, sih, isi kado itu sampai Monita seolah sedang menyimpan rahasia negara?
Menyadari situasi semakin tidak kondusif, Monita mencoba realistis. Mungkin saatnya jujur, pikirnya. Namun, Dirga pasti akan kecewa besar dan harga dirinya di depan Delia akan jatuh ke titik terendah. Karena buntu, pemikiran yang tidak realistis pun mencuat di kepala Monita.
Mungkin gue bisa jujur ke satu orang dulu, pikirnya.
Cepat-cepat Monita melirik Aceng, lalu menarik napas panjang. Ini saatnya memanfaatkan kemampuan Aceng. Memang konyol, tapi ini solusi yang paling mudah dilaksanakan dan paling tidak berisiko, sekaligus menjadi kesempatannya untuk membuktikan apakah benar Aceng bisa membaca pikiran. Jadi, dengan niat teguh, Monita mengunci tatapan Aceng dan menceritakan semuanya. Di dalam hati.
Gue bohong. Kado Dirga hilang, dan belum gue buka. Gue harus menghindar dari Delia dan Priska. Please, lo bisa bantu?
Tidak ada tanggapan.
Tadinya Aceng sempat membalas tatapannya, tapi sekarang dia malah memeriksa ponselnya. Seharusnya Monita tidak mudah terkontaminasi dengan rumor itu. Atau mungkin dia harusnya sadar kalau Aceng tidak akan peduli dengan drama antar-remaja perempuan.
Karena tidak punya alasan lagi untuk menghindar. Monita pun menurut, mengikuti Delia dan Priska menuju kantin. Namun, sebelum mencapai pintu, Aceng memanggilnya.
"Eh, Moni, tunggu."
Mereka bertiga serempak berbalik. Tampak Aceng sedang mengangkat ponselnya. Layarnya tidak jelas entah menampilkan apa.
Di tengah kebingungan Monita, Aceng kembali berkata, "Tadi Jhoni minta gue antar ini ke ruang guru," Aceng menunjukkan kertas jawaban kuis yang tertumpuk rapi di mejanya, "tapi gue mau urus sesuatu. Lo bisa tolong antarin?"
Monita tercengang. Jadi Aceng memang bisa baca pikiran?
🕶️
Masalah Delia dan Priska berhasil teratasi untuk sementara. Namun, pertanyaan tidak masuk akal terus berputar-putar dan semakin beranak-pinak di kepala Monita.
Saat mengantarkan kertas kuis, ternyata Aceng juga ikut ke ruang guru. Monita sempat melihat Aceng meminta tanda tangan guru penjas dan berdiskusi singkat. Tidak jelas apa yang dibicarakan, tapi gambaran besarnya: Aceng akan mengikuti kejuaraan pencak silat.
Meski Aceng tidak sepenuhnya bohong—dia memang punya sesuatu yang mesti diurus—tetap saja Monita curiga. Harusnya Aceng bisa sekalian membawa kertas kuis ke ruang guru, tidak perlu meminta bantuannya. Apakah itu cuma alasan untuk membantu Monita?
Monita sibuk memikirkan cara yang tepat untuk bertanya. Masalahnya, atmosfer di antara mereka terlampau canggung.
Saat mereka melintas di koridor sekolah, beberapa Anak Raja menyapa Monita. Ada yang sekadar melambaikan tangan, ada juga yang menyinggung pesta ulang tahunnya. Yang membuatnya merasa tidak nyaman, ekspresi mereka berubah drastis saat melihat Aceng. Tidak sedikit yang cepat-cepat mengalihkan pandangan, seolah jika terlambat sedetik saja, semua data di kepala mereka akan diretas dan dijual ke situs gelap. Rasa tidak enak hati membuat Monita memperlambat langkahnya dan mengatur jarak di belakang Aceng.
Di belokan menuju kelas mereka, Aceng berhenti sejenak. "Duluan aja. Gue mau fotokopi dulu," katanya.
Monita melirik formulir kejuaraan pencak silat yang masih dipegang Aceng. Sejenak dia berpikir, jam istirahat masih ada beberapa menit lagi. Banyak hal yang bisa Delia dan Priska lakukan dalam waktu sesingkat itu.
"Gue ikut," putusnya.
Meskipun sempat memberi tampang tidak yakin, Aceng mengangguk kecil dan lanjut berjalan lurus menuju kios fotokopi yang ada di ujung koridor.
Kios itu tidak terlalu kecil, kira-kira luasnya setengah dari ruang kelas mereka. Tatanan ruangnya juga rapi dan bersih. Beberapa atribut sekolah, alat tulis, jajanan ringan, dan perlengkapan lainnya terpajang di etalase depan. Saat mereka tiba, dua murid baru saja selesai membeli beberapa keperluan.
"Bu, rangkap dua, ya." Aceng menyerahkan kertas-kertasnya untuk difotokopi.
Mereka menunggu sambil berdiri di depan etalase. Sebenarnya ada bangku kayu panjang tanpa sandaran di depan kios, tapi akan terasa lebih canggung lagi jika Monita memilih duduk di sana.
Untuk mencairkan suasana, Monita mencoba basa-basi, "Lo mau ikut lomba, ya?"
Aceng hanya mengangguk.
"Kapan acaranya?" tanya Monita lagi.
Mungkin sanking acaknya pertanyaan itu, Aceng menoleh dengan alis tertaut.
Monita langsung mengalihkan tatapannya ke lapangan sekolah. Dari situ mereka hanya bisa melihat setengah lapangan basket yang mulai sepi.
"Masih lama. Kenapa?" jawab Aceng pada akhirnya.
"Oh, nggak kenapa-kenapa, sih. Gue baru tau aja ada turnamen ... gituan." Monita berusaha semaksimal mungkin agar Aceng tidak bisa membaca raut wajah menyesalnya. Di dalam hati, dia mengerang frustrasi. Kenapa tidak pura-pura tertarik saja dan kasih ucapan "semoga sukses". Kan, jauh lebih bermutu. Namun, jika dia lakukan itu, Monita takut terkesan sok peduli.
"Dek, ini sudah selesai."
Ibu fotokopi memberikan beberapa lembar fotokopian. Aceng pun segera membayar.
Menyadari telah membuang-buang waktu, Monita mengambil napas panjang dan memberanikan diri untuk berterus terang, "Tadi, di kelas, maksudnya apa?"
Aceng yang memasukkan uang kembalian ke saku celana menoleh heran. "Maksudnya?"
"Di kelas tadi, waktu Delia ajak gue ke kantin, lo beneran bisa dengar gue?"
Aceng mengangguk sekali. "Dengar. Lo kan memang bicara."
"Bukan, bukan itu. Maksud gue, kenapa lo nyuruh gue ke ruang guru?"
Ada jeda mendebarkan setelah Monita bertanya. Jika tadi pagi tatapan Aceng terasa seperti ancaman, kali ini seolah menyimpan kesempatan. Monita merasa sedang bertaruh. Dia punya dua peluang: kebohongannya telah terkuak, atau semuanya hanyalah kebetulan. Monita harus memastikan mana yang benar. Dia pun memusatkan perhatiannya hanya ke dalam sepasang mata yang ternyata juga melakukan hal yang sama. Rasanya Aceng tengah meninjau isi pikirannya habis-habisan. Tadinya Monita pikir jarak mereka sudah cukup aman, tapi ternyata dia salah. Dipandangi sedekat ini terasa seperti terperosok ke terowongan yang tidak pernah terlihat ujungnya. Monita refleks mundur beberapa langkah dan cepat-cepat meninggalkan Aceng.
Namun, Aceng segera mencegahnya.
"Monita."
Saat namanya disebut dengan tiga suku kata lengkap, Monita tahu hal serius tengah menanti.
Perlahan dia berbalik, kali ini kepalanya agak berat untuk diangkat lebih tinggi. Dari tempatnya berdiri, Monita bisa melihat kaki Aceng melangkah ke arahnya, lalu berhenti tepat di hadapannya.
"Lo bohong, ya, soal kado Dirga?"
Seketika Monita mengangkat kepalanya. Aceng tahu? Aceng berhasil membaca pikirannya? Rahasianya terbongkar? Harusnya dia malu, menjauh, atau kabur. Namun, entah kenapa, detik itu juga pundaknya terasa ringan berkali-kali lipat.
🕶️