Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kacamata Monita
MENU
About Us  

Belum juga pulih dari drama terjedot pintu dan kepenatan pasca-upacara bendera, pelajaran Penjas menambah denyut di kepala Monita. Ada banyak hal yang harus diantisipasi. Hari ini ada praktik lompat jauh. Guru penjas memanggil mereka sesuai urutan daftar hadir dan sekarang giliran Monita yang diuji lompatannya.

Setelah namanya dipanggil, Monita segera mengambil posisi beberapa meter dari garis tolakan. Sebisa mungkin dia menjaga pandangannya hanya mengarah ke bak pasir. Matanya pun sengaja dibuat semakin menyipit, bukan karena sengatan matahari, tapi untuk menghindari Aceng yang sedari tadi berdiri di samping bak pasir.

Sejak awal guru menunjuk Aceng sebagai tukang ukur jarak lompatan. Cowok itu setia menunggu di dekat bak pasir sambil memegang meteran. Kehadiran Aceng yang seharusnya hal normal malah memperbesar gelembung kekhawatiran di kepala Monita. Bagaimana jika sejak tadi pagi Aceng sudah tahu kalau dia berbohong? Bagaimana jika Aceng berencana membongkar semuanya? Atau, bagaimana jika ternyata Aceng ingin menggunakan rahasia itu untuk mengancamnya?

Monita ingin segera berlari, melompat, dan pergi dari lapangan. Namun, entah kenapa bunyi peluit tidak kunjung terdengar. Atau jangan-jangan dia yang tidak mendengarnya?

"Moni!"

Monita menajamkan pendengarannya. Itu bukan suara guru Penjas. Nadanya nyaring, tapi tetap terdengar empuk, persis seperti suara yang dia dengar tadi pagi setelah menabrak pintu kelas. Mata Monita membulat. Untuk apa Aceng memanggilnya? Atau dia hanya berkhayal karena terlalu panik?

Tidak berselang lama, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Hingga sebuah tepukan ringan tiba-tiba mendarat di bahu kiri Monita.

"Moni, tali sepatu. Diikat dulu."

Kali ini Monita tidak bisa mengelak berpapasan pandang dengan Aceng. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar terperangkap dalam sorot mata kecil dan awas itu. Rasanya seperti tertangkap basah. Bagaimana ini? Monita telah mengembalikan kacamata Kana. Sekarang matanya tidak terlindungi apa pun. Apakah sekarang dia ketahuan?

Tali sepatu. Diikat dulu.

Kalimat itu bergema di kepalanya. Buru-buru Monita memeriksa ke bawah. Ternyata tali sepatunya terurai sebelah.

"Mon, lo sakit juga?" Tidak jauh dari sebelah kanannya, Jhoni bertanya dengan tampang khawatir bercampur bingung. Monita hanya membalas dengan gelengan cepat, lalu segera mengikat tali sepatunya.

Setelah semua terikat kencang, dia kembali mengambil ancang-ancang. Aceng juga kembali ke posisinya semula, tetapi sebelum berbalik, dia sempat mengucapkan hal yang Monita tidak mengerti. "Triknya: jangan jinjit waktu lompat."

Belum sempat Monita memahami tips kilat itu, guru penjas menyalakan peluit. Monita refleks mulai berlari. Tidak kencang, tidak pelan. Semampu yang dia bisa. Sebelum mencapai garis tolakan, dia bisa menangkap sosok Aceng meski agak kabur, lalu saran dadakan itu kembali terngiang.

Jangan jinjit waktu lompat.

Bukannya melompat harus jinjit? Perasaan tidak setuju mulai muncul tepat saat Monita menginjak garis tolakan, membuatnya gugup dan sibuk menimbang: harus jinjit atau tidak. Alhasil tawa lepas terdengar dari barisan penonton ketika dia melompat dan mendarat di pasir.

"Sembilan puluh lima senti," kata Aceng kepada guru penjas setelah mengukur.

Tidak terlalu buruk, pikir Monita. Dari tadi ada beberapa pelompat yang jarak lompatannya sama bahkan lebih pendek dari itu. Lantas, kenapa orang-orang tertawa?

"Monita, selanjutnya ingat dasar-dasar lompatan. Salah satunya: jangan lompat dengan dua kaki," ucap guru setelah menuliskan nilai di catatannya.

"Mon, Mon ..., tadi itu lompat jauh atau lompat kodok?"

Cibiran salah satu teman sekelasnya membuat penonton semakin berisik. Monita cuma membalas dengan lirikan sebal dan segera kembali ke tempat di mana dia bisa menenangkan diri.

Di sudut lapangan, dekat pohon tua yang membentuk bayangan teduh, beberapa murid menyambutnya dengan beragam ekspresi. Pada umumnya tersenyum iba bercampur terhibur. Monita tidak tersinggung. Olahraga memang bukan keahliannya. Dia hanya berpikir, kalau saja Aceng tidak memberinya saran, mungkin dia tidak akan kebingungan.

"Percuma tinggi, jaraknya cuma dapat segitu. Kana dong, kecil-kecil lompatnya jauh."

Monita tidak menghiraukan sindiran Risma, si ranking satu di kelasnya. Terserah mau komentar apa, selama tidak mengungkit-ungkit masalah "kodok", Monita tidak ambil pusing. Dia lantas mengambil tempat untuk duduk di sebelah Risma, bersandar pada batang pohon.

Saat merasa baikan, Monita menyadari ada yang kurang. Pandangannya berkeliling. "Kana mana?" tanyanya.

Jhoni yang duduk di sebelah kiri Risma menjawab, "Di UKS. Efek nggak sarapan kayaknya."

Ingin saja Monita menyusul Kana, tapi tidak sembarang orang bisa bebas masuk UKS. Apalagi ibu petugas UKS cukup rewel. Dia hanya bisa berharap Kana bisa cepat pulih dan kembali sebelum jam istirahat.

Kelas masih berlanjut. Satu per satu murid melompat dengan berbagai cara dan mendarat dengan berbagai gaya. Tidak jauh dari tepi bak pasir, Aceng masih sibuk memegang meteran dan mengukur jarak tiap kali pelompat mendarat.

Setelah beberapa nama, guru memanggil pelompat selanjutnya, "Remi."

Ketika nama itu disebut, suasana lapangan berubah menjadi lebih senyap. Semacam akan ada pertunjukan menegangkan yang harus mereka tonton. Aceng menyerahkan meteran kepada teman di sebelahnya sebelum menuju garis start untuk mengambil kuda-kuda.

"Wah, bakal sampe sepuluh meter ini." Terdengar satu teman berkomentar.

Dari tempat Monita berteduh, Monita bisa menyaksikan jelas gerak-gerik Aceng di garis start. Kakinya melompat-lompat kecil dan pandangannya lurus, benar-benar lurus ke satu titik, tapi entah fokus ke mana. Napasnya pun terlalu teratur, terlihat dari gerak bahunya.

"Aceng! Aceng! Aceng!" Beberapa murid laki-laki dan perempuan mulai berperan jadi pemandu sorak.

Aceng memang dikenal lihai di bidang olahraga. Sejak SMP, dia ikut ekskul Merpati Putih, salah satu seni bela diri tangan kosong. Meski begitu, badannya tidak terlalu atletis. Hanya tinggi dan ramping. Itu saja.

Saat peluit ditiup, Aceng mulai berlari kecil, lalu menambah kecepatan ketika mendekati garis tolakan. Dengan gerakan pasti dan seolah sudah terlatih, kaki kirinya menginjak garis tolakan, kemudian dia melayang dan mendarat hanya dalam satu-dua kedipan mata. Monita memperhatikan dengan saksama sampai mengerti apa yang dimaksud dengan "jangan jinjit waktu lompat". Ternyata Aceng tidak bermaksud mengecoh, dia memang benar-benar memberi saran. Sebelum melompat, sebelah kaki cowok itu hampir menapak penuh di garis tolakan, tidak menjinjit.

"Dua meter sepuluh senti." Seseorang yang menjadi juri ukur pengganti mengucapkan jarak lompatan Aceng.

"Sekalian sampe Bogor aja," canda seorang murid.

Kemudian kehebohan lama-kelamaan menyurut. Aceng kembali mengambil alih meteran, dan guru kembali memanggil pelompat selanjutnya. Namun, Monita masih diam-diam mengawasi Aceng. Dalam pikirannya, begitu banyak pertanyaan dan bantahan yang saling kejar-kejaran. Apa benar Aceng bisa baca pikiran? Bagaimana caranya? Kalau benar, tentu saja Aceng bisa jadi agen mata-mata internasional. Dia bisa tahu semua rahasia musuh hanya dengan menatapnya. Tapi, bukannya itu melanggar privasi?

Dia harus memastikan.

"Ris, lo tau kabar tentang Aceng yang bisa baca pikiran?" tanya Monita agak pelan, karena di telinganya sendiri pertanyaan itu terdengar konyol.

Monita sedikit sangsi Risma mau membahas masalah yang tidak punya penjelasan ilmiah seperti ini, mengingat Risma adalah orang terpintar di kelasnya—jika ranking kelas menjadi acuan kepintaran seseorang.

Tanpa disangka, Risma menanggapi dengan santai, "Oh, gue pernah dengar pas kelas satu. Memangnya kenapa?"

Segera Monita tertawa skeptis, menghapus kesan penasaran dari wajahnya. "Gue teringat aja, terus kepikiran: kok bisa, ya, orang-orang mikir itu benar. Kan nggak masuk akal banget."

"Dengar-dengar ada hubungannya sama Merpati Putih. Lo tau sendiri, kan, mereka sering mecah-mecahin beton sama nyari-nyari barang pake mata tertutup."

"Masa, sih ...?" Monita sama sekali tidak punya gambaran apa itu Merpati Putih. Dia tidak pernah melihat langsung apa yang mereka lakukan saat Hari Ekskul. Lagian, apa memang ada olahraga yang bisa membuat anggotanya bisa baca pikiran?

Risma mengangkat bahu. "Gue nggak tau, ya, valid atau enggak. Tapi, ada yang bilang udah terbukti." Kemudian dia menyenggol bahu Jhoni. "Ceritain, Jhon. Kalian kan udah temenan dari kelas satu," lanjutnya, seolah sedang menyerahkan tanggung jawab yang di luar ranahnya.

Jhoni pun menyahut, "Berita lama itu. Ingat, nggak, masalah hape hilang waktu kita kelas satu? Sempat geger juga itu. Soalnya nggak pernah kejadian."

"Ah, iya gue ingat," jawab Monita, masih berusaha menjaga nada suaranya senetral mungkin.

"Jadi, waktu kejadian itu, Aceng dipanggil wali kelas yang kehilangan hape itu. Kalau nggak salah, anak kelas 3 IPS-1."

"Apa hubungannya sama Aceng?"

"Waktu itu, Aceng disuruh lihat siapa pencurinya."

"Lihat?" tanya Monita.

"Iya. Katanya, satu kelas 3 IPS-1 dikumpulin di aula, Aceng disuruh ke sana juga. Katanya mereka ditanyain ini-itu, tapi nggak ada yang mau ngaku. Tapi, akhirnya pelakunya langsung ketahuan begitu ada Aceng," terang Jhoni.

Monita kembali melirik Aceng di seberang bak pasir. Wajah cowok itu memang terlihat serius, tapi tidak punya kesan mistis sama sekali.

"Masih ada bukti kedua, sih."

"Apa?" tanya Risma.

"Dia bisa nebak gue udah mandi atau belum."

Beberapa detik hening, tidak ada yang menanggapi. Setelah mencerna maksud Jhoni, Risma tanpa segan-segan melempar sehelai daun kering ke arah Jhoni. "Itu karena lo bau, kali ...."

"Eh, ini serius." Jhoni membela diri. "Sekarang coba kalian tebak, gue udah mandi atau belum?" ujinya.

Monita sebenarnya agak malas ikut tebak-tebakan kurang berfaedah itu, tapi karena penampilan Jhoni tampak rapi dan segar, dia refleks menjawab, "Udah." Berbarengan dengan Risma.

Jhoni diam sebentar, lalu tawanya pecah.

"Sialan. Dari tadi gue duduk di sebelah orang yang belum mandi?" gerutu Risma.

"Siapa yang belum mandi? Jhoni?"

Monita lumayan tersentak karena tanpa dia sadari, Aceng sudah berdiri di hadapan mereka dan sedang membuka botol minum seliter. Ternyata pelajaran olahraga sudah selesai. Kelas dibubarkan meskipun bel istirahat belum berbunyi. Beberapa murid mulai berbondong-bondong berjalan menuju kelas. Sebagian lagi belok ke arah kantin.

"Ini, Ceng, mereka penasaran soal baca pikiran," jelas Jhoni.

Aceng tidak langsung merespons karena tengah meneguk air minum dengan pelan dan teratur, masih sambil melirik ketiga teman di depannya. Setelah selesai, dia mengembuskan napas panjang seolah sedang melepas beban berkilo-kilogram. Tangannya menyeka keringat di kening. Monita tidak bisa melihat ekspresi Aceng terlalu jelas karena sinar matahari membatasi pandangannya.

"Jadi," Aceng menatap Risma dan Monita bergantian, "siapa yang mau dibaca pikirannya?"

🕶️

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
LOVE IN COMA
561      408     7     
Short Story
Cerita ini mengisahkan cinta yang tumbuh tanpa mengetahui asal usul siapa pasangannya namun dengan kesungguhan didalam hatinya cinta itu tumbuh begitu indah walaupun banyak liku yang datang pada akhirnya mereka akan bersatu kembali walau waktu belum menentukan takdir pertemuan mereka kembali
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
505      198     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Rasa Itu
728      534     0     
Short Story
TENTANG WAKTU
2072      884     6     
Romance
Elrama adalah bintang paling terang di jagat raya, yang selalu memancarkan sinarnya yang gemilang tanpa perlu susah payah berusaha. Elrama tidak pernah tahu betapa sulitnya bagi Rima untuk mengeluarkan cahayanya sendiri, untuk menjadi bintang yang sepadan dengan Elrama hingga bisa berpendar bersama-sama.
Sacred Sins
1565      678     8     
Fantasy
With fragmented dreams and a wounded faith, Aria Harper is enslaved. Living as a human mortal in the kingdom of Sevardoveth is no less than an indignation. All that is humane are tormented and exploited to their maximum capacities. This is especially the case for Aria, who is born one of the very few providers of a unique type of blood essential to sustain the immortality of the royal vampires of...
KUROTAKE [SEGERA TERBIT]
5882      2091     3     
Romance
Jadi pacar ketua ekskul tapi hanya purapura Hal itu dialami oleh Chihaya Hamada Ia terpaksa jadi pacar Mamoru Azai setelah foto mereka berdua muncul di akun gosip SMA Sakura dan menimbulkan kehebohan Mamoru adalah cowok populer yang menjadi ketua klub Kurotake klub khusus bagi para otaku di SMA Sakura Setelah pertemuan kembali dengan Chihaya menjadi kacau ia membuat kesepakatan dengan Chih...
Rindumu Terbalas, Aisha
539      374     0     
Short Story
Bulan menggantung pada malam yang tak pernah sama. Dihiasi tempelan gemerlap bintang. Harusnya Aisha terus melukis rindu untuk yang dirindunya. Tapi kenapa Aisha terdiam, menutup gerbang kelopak matanya. Air mata Aisha mengerahkan pasukan untuk mendobrak gerbang kelopak mata.
DarkLove 2
1299      619     5     
Romance
DarkLove 2 adalah lanjutan dari kisah cinta yang belum usai antara Clara Pamela, Rain Wijaya, dan Jaenn Wijaya. Kisah cinta yang semakin rumit, membuat para pembaca DarkLove 1 tidak sabar untuk menunggu kedatangan Novel DarkLove 2. Jika dalam DarkLove 1 Clara menjadi milik Rain, apakah pada DarkLove 2 akan tetap sama? atau akan berubah? Simak kelanjutannya disini!!!
Cinta Sebatas Doa
604      423     0     
Short Story
Fero sakit. Dia meminta Jeannita untuk tidak menemuinya lagi sejak itu. Sementara Jeannita justru menjadi pengecut untuk menemui laki-laki itu dan membiarkan seluruh sekolah mengisukan hubungan mereka tidak lagi sedekat dulu. Padahal tidak. Cukup tunggu saja apa yang mungkin dilakukan Jeannita untuk membuktikannya.
In Her Place
723      487     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...